Mereka berdua berjalan ke arah kantin kantor yang berada di lantai 5. Tidak banyak orang yang datang, karena memang jam masih terlalu dini. Kartika mengambil tempat duduk di ujung ruangan bersama Crystal. Kartika meletakkan kotak makannya yang sebelumnya sudah disiapkan oleh bi Sumi, asisten rumah tangga yang biasa datang dan membuatkan bekal atas suruhan Leo untuknya. Crystal langsung melesat untuk berburu makanan setelah menentukan tempat duduknya meninggalkan Kartika di tempatnya yang sedang membuka satu persatu kotak makannya yang bertumpuk tiga.
"Itu… orangnya…" Suara bisikan terdengar di balik punggung Kartika. Ia pun membalikan kepalanya dan mendapati dua karyawati yang menatapnya, namun langsung berbalik pergi. Sudah dua hari ini keberadannya selalu jadi omongan setiap karyawan, sejak ia dipindah tugaskan menjadi sekertaris pribadi sang Leonardo Kandou, pemilik perusahan nan kaya raya.
Semua tidak pernah menyangka sang atasan yang paling anti bekerja sama dengan wanita kecuali untuk berkencan, sekarang memiliki seorang sekertaris pribadi. Berita miring mulai terdengar sedikit demi sedikit di telinga Kartika, dimana ia merayu atasan untuk dapat bekerja di sisinya atau yang paling parah mereka mengatai Kartika main ilmu gelap, karena jika dilihat dari penampilan fisik Kartika tidak ada apa-apanya dengan teman kencan atasan yang kecantikannya sama seperti bintang papan atas maupun super model dengan tubuh aduhai.
"Ada apa?" tanya Crystal yang berdiri di depan meja dengan membawa nampan berisi makanan. Ia memperhatikan Kartika yang menunduk menatap tangannya yang ada di pangkuan di balik meja dan membiarkan makanan di depannya begitu saja.
"Tidak ada apa-apa." Kartika mendongakan kepala, menatap Crystal dengan mengumbar senyumnya.
"Jangan berbohong denganku. Mereka melakukannya lagi? Mengataimu?" Crystal menarik kursi di depan Kartika, menaruh nampannya dan duduk disana sambil menatap Kartika khawatir.
"Tidak… Mereka tidak mengatakan apa-apa."
"Ha… Sudah jangan didengarkan ucapan mereka. Mereka hanya iri denganmu. Jangan pikirkan apapun yah." Kartika mengangguk masih dengan seulas senyum di wajahnya. Mereka berdua pun menikmati makanan di depannya yang sudah dengan sabar menanti untuk masuk ke dalam perut.
"Besok kamu baik-baik saja bekerja sendiri?" tanya Crystal setelah menelan udang gorengnya.
"Memang besok kenapa?"
"Besok Rekka cuti, bukan?"
"Ah… ya, tentu saja. Rekka sudah memberitahukan semua tugasku selama dia tidak masuk. Aku pasti bisa. Ini sudah tugasku." Kartika menjawab sambil meminum jus stroberi yang tadi dibelikan Crystal.
"Sebenarnya aku mau membatalkan liburan ini, tapi kita sudah terlanjur memesan tiket."
"Tidak perlu membatalkan rencana kalian. Kalian sudah lama tidak pergi berdua, bahkan aku jarang melihat kalian kencan. Jangan membuatku merasa tidak enak, kamu sudah terlalu banyak berkorban untukku, Crys," ucap Kartika dengan menggengam tangan Crystal yang ada di atas meja. Crystal menyunggingkan senyuman kepada Kartika yang begitu pengertian dengan dirinya.
"Dia baik-baik denganmu bukan?" tanya Crystal penasaran, karena Kartika tidak pernah mengatakan apapun padanya. Kartika hanya mengangguk dan melayangkan senyum terbaiknya.
Tanpa banyak berkata, Kartika kembali melahap makanannya, tapi pikirannya melayang untuk mencari jawaban atas pertanyaan Crystal. Apa dia baik? Kartika sendiri tidak bisa menjawabnya dengan gamplang. Kemarin saat pulang kerja ia begitu terkejut saat mendapati semua piyama panjangnya menghilang dari lemari besar dan bergantikan dengan babydoll super mini yang terdiri dari kain satin tipis, renda atau bahan sutra. Pakaian yang biasa ia lihat di majalah wanita modern milik Crystal. Seperti biasa dengan keras Ia menolak untuk menggenakana pakaian macam itu di depan Leo, tapi ancaman Leo yang akan menelanjanginya jika tidak mau memakainya berhasil membuat Kartika memakainya. Belum lagi kebiasan Leo yang selalu mendekap erat dirinya ke dalam pelukannya sehingga membuat pikiran Kartika selalu kosong setiap malam dan berhasil membuatnya terlelap tanpa mimpi buruk yang selalu datang menghampiri.
Walau seperti itu, Leo belum pernah menyentuhnya sampai saat ini. Bukan berarti tidak menyentuh sama sekali, ia tidak pernah memaksa Kartika untuk melakukan sesuatu yang selama ini Kartika takutkan. Entah Kartika merasa lega atau bahagia akan hal itu, tapi jauh di dalam hatinya ada kekosongan saat Leo memperlakukannya seperti itu.
"Sudah kenyang? Kenapa tidak dihabisakan?" tanya Crystal yang melihat Kartika hanya diam menatap makanannya. Kartika menggelengkan kepalanya dan melanjutkan makan siangnya.
ᴓ
Piip ... piip, suara alaram berhasil membangunkan Kartika dari tidurnya. Dengan mata setengah terbuka, ia mencoba meraih jam di atas nakas yang masih berbunyi dan berpijar. Ia mengulurkan tangannya, namun tersendat karena tubuhnya saat ini terasa berat. Ia menyibakkan selimutnya dan mendapati kedua lengan Leo melingkar di perutnya dan wajah tidurnya menempel di belakang punggung Kartika. Secara perlahan, Kartika melonggarkan rangkulan Leo di perutnya dan segera mematikan suara alaram agar tidak membangunkan Leo.
Kartika memutar tubuhnya setelah mematikan alaram dan kembali ke ranjang, sehingga ia dapat melihat jelas Leo di depan perutnya saat ini. Secara hati-hati, ia menurunkan tubuhnya sehingga dengan posisi sejajar, ia bisa melihat wajah tidur Leo yang ada di hadapannya saat ini tanpa mengenakan atasan hanya celana boxer sehingga Kartika dapat melihat dengan jelas dada dan perutnya yang terbentuk area otot dibalik kulit bersihnya. Kartika mengamati dengan seksama garis wajah Leo; dahinya, matanya, hidungnya, dagunya dan juga mulutnya yang sedikit terbuka. Ia sadar satu hal akan orang di depannya saat ini, bahwa dulu maupun sekarang, ia tidak pernah bosan melihat wajah tidurnya yang terlihat begitu damai, walaupun terkadang Leo suka mengerutkan dahinya saat tertidur.
"Jika kamu ingin menciumku, cepat lakukan. Mau membuatku menunggu berapa lama?" Senyuman mulai nampak dari wajah Leo. Matanya yang terpejam pun mulai terbuka dan menatap langsung iris mata hitam Kartika yang ada di depannya.
Merasa malu karena ketahuan mengamati wajah tidurnya, Kartika lagi-lagi menampar wajah Leo dan bangkit dari tempatnya. Leo hanya meng-aduh singkat, tapi dengan sigap ia menarik tubuh Kartika ke atas ranjang dan mengunci kedua tangannya di atas kepala dengan satu tangannya yang besar.
"Sayang, Aku tidak tahu kalau kamu suka sekali bermain kasar?" Leo menampakan seringaiannya sambil menatap intens Kartika yang saat ini ada di bawahnya dan mengelus pipinya yang terkena tamparan dengan tangan bebasnya. Merasa ketakutan, Kartika mulai memejamkan matanya. Wajah Leo saat ini terlihat sedikit menakutkan. Ia terlihat seakan ingin membalas tamparan Kartika.
Kartika hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu. Hening, tidak ada gerakan sama sekali. Ia mulai membuka kembali matanya pelan-pelan. Mata Kartika melebar ketika mendapati wajah Leo ada tepat di hadapannya dengan senyuman lembut, bukan seriangan yang ia tunjukan tadi. Bibir mereka mulai bertemu dan menyentuh satu sama lain. Tanpa penolakan, Kartika memejamkan kembali matanya untuk menikmati setiap sentuhan hangat Leo di bibirnya. Leo melumat pelan bibir Kartika, turun ke dagu dan lehernya. Kartika memiringkan kepalanya seakan memberikan akses kepada Leo untuk tenggelam dalam lekukan lehernya.
"Ahh…", suara desahan mulai terdengar dari mulut Kartika seketika Leo menemukan titik kenikmatannya disana. Senyuman kembali tampak dari wajah Leo dan Kartika bisa merasakannya. Leo melepas sentuhannya untuk melihat Kartika yang masih memejamkan mata. Ia mencium kening Kartika dan menempelkan dahinya disana tanpa berbuat apapun. Kartika mencoba membuka matanya, dengan mednapati Leo sedang menatap lekat dirinya.
"Kamu ingin mandi sendiri atau aku memandikanmu, Chika?" Pertanyaan Leo berhasil mengembalikan kesadaran Kartika. Ia pun menarik tangannya yang sudah tak terkunci dan mendorong tubuh Leo untuk menjauh darinya. Leo menampilkan senyum lembutnya, mundur dan turun dari ranjang. Ia kemudian berjalan keluar kamar masih dengan boxer abu-abunya tanpa atasan meninggalkan Kartika sendirian.
Dengan wajah merah Kartika menenggelamkan wajahnya kepada kedua telapak tangan. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam sembari menstabilkan debaran jantungnya yang berdetak begitu cepat saat ini. Lagi-lagi, hanya dengan sentuhannya, ia berhasil membuat Kartika tidak karuan, namun jauh didalam hati Kartika ada rasa kekecewaan muncul. Kartika melesat ke kamar mandi dan melupakan perasaan sesaatnya itu.
ᴓ
Ia memandang jam pada layar komputernya, tiga menit waktu istirahat siang tiba. Pikirannya mulai melayang, apa yang hendak ia lakukan saat makan siang ini? hari ini Crystal mengambil cuti sehingga dipastikan ia tidak akan menginjakkan kakinya di kantin yang notabennya banyak karyawan yang selalu memandangnya dan berbisik di belakang. Hari ini Kartika juga tidak membawa makanan, karena bi Sumi tidak datang. Tadi pagi, ia sudah terlanjur malu yang dengan gampangnya menerima ciuman Leo. Ia juga melahap habis sarapannya, sarapan sederhana dan mudah yang dapat dilakukan sang raja. Sebagai catatan Leo melarang keras Kartika memasuki dapur. Ia hanya bisa menghela napas panjang pertengkaran mereka saat itu.
=Flashback On=
Kartika membuka kulkas yang ada di dapur dan mengambil dua buah telur untuk di goreng. Suara berisik yang ditimbulkan karena sulitnya mengambil teflon yang ada di atas penyimpanan atas membuat Leo bergegas menghampirinya.
"Apa yang kamu lakukan?" teriak Leo yang setengah berlari menghampirinya dengan kemeja biru mudanya tanpa dasi terpasang di lehernya.
"Aku hanya ingin membuat makanan. Aku lapar," jawab Kartika dengan terus terang, pagi itu. Leo langsung merebut teflon hijau yang ada di tangan Kartika dan menyuruhnya keluar dari dapur.
"Jangan pernah masuk ke dapur, apapun yang terjadi, Chika. Aku tidak ingin membuat gedung ini terbakar begitu saja?!" ucap Leo yang sudah menarik tubuh Kartika ke meja makan.
"Memang kamu pikir aku mau ngapain? Aku hanya ingin memasak bukan membakar gedung?!" jawab Kartika tidak terima karena Leo menuduhnya membakar gedung hanya karena ia memasak.
"Jangan membodohiku. Kamu kira aku lupa waktu kamu hampir membakar dapur kakek?"
Perkataan Leo berhasil membawa Kartika kemasa lalu dimana ia hampir membuat kebakaran rumah yang ia tinggali bersama kakek. Saat itu, ia hanya ingin membuat makan siang spesial untuk kak Surya, karena selama ini ia hanya membawakan makanan yang dimasak bibi sebelah atau kakek. Sekali-kali ia ingin melihat senyuman kak Surya saat memakan masakannya. Bukan salahnya jika ia tidak mematikan kompor minyak yang ada saat itu, bukan salahnya jika ia meninggalkan masakannya karena kakek memanggilnya untuk mengambil jala di rumah pak kades. Ya itu semua bukan salahnya, hanya ketidak sengajaan.
"Aku tidak lupa dan aku tidak membodohimu. Itu sudah terjadi lama sekali dan aku sudah biasa masak bersama Crys saat aku tinggal bersamanya."
"Tapi, kamu tidak pernah memasak sendiri bukan?" tanya Leo yang meragukan ucapan Kartika, karena wanita di depannya ini sangat tidak bisa menyentuh peralatan dapur. Ia bisa menghancurkan semuanya.
Kartika hanya bisa diam tanpa menjawab pertanyaan Leo. Benar, ia tidak pernah memasak sendirian, selalu ada Crystal yang membantunya, atau lebih tepatnya dia yang membantu Crystal. Melihat wajah diam Kartika, Leo sudah bisa menebak jawabannya. Ia mendekatkan tubuhnya ke Kartika dan mengusap lembut kepala Kartika. Tidak suka akan hal itu Kartika menempis tangan Leo karena ia mulai marah. Leo hanya bisa mendengus dan memberikan senyumannya.
"Duduklah, biar aku saja yang membuatkanmu makan pagi." Leo kembali ke arah dapur dan mulai memasak makanan untuk Kartika. Kartika hanya bisa berdiri diam menyaksikan pertunjukan sang Raja yang begitu lihai memasak. Ia sempat tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Lelaki yang terlihat arogan diluar ternyata memiliki sisi feminism dengan memasak di dapurnya.
"Aku tahu, aku terlihat seksi, jadi aku sarankan kamu untuk menikmati dengan duduk disana, sayang." Leo menunjuk kursi di meja makan dengan sudip kayu yang ia gunakan untuk menggoreng telur mata sapi. Kartika membuang mukanya dari Leo tapi menurut apa ucapannya dengan duduk di kursi meja makan.
Kartika memukul kepalanya dengan kedua tangannya.
Lupakan … Lupakan, kamu sudah terlalu memalukan, batinnya memperingatinya setiap kali bayangan dirinya yang hanya menerima segalanya dari Leo tanpa bisa memberi apapun.
"Nona, jika kamu terus memukul kepalamu seperti itu, kamu bisa bodoh!" Seorang pria asing membungkukkan tubuhnya ke meja Kartika, sehingga tatapannya lurus ke arah Kartika. Merasa terlalu dekat, Kartika memundurkan kursinya sampai tembok belakangnya dan segera bangkit dari tempatnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kartika tanpa memandang ke arah pria itu, dimana ia menggenakan kaos putih polos di balik jaket kulitnya berwarna coklat dan celana skinny jeans. Pria asing itu menampakkan giginya, berdiri tegap sembari membetulkan jambulnya yang berwarna kecoklatan.
"Leo ada? Leonardo Kandou?" tanya pria itu dengan mengedipkan sebelah matanya kepada Kartika. Merasa tidak suka, Kartika mengalihkan pandangannya kepada wanita di sampingnya yang berdiri dengan pakaiannya yang super mini, sehingga menampakan kaki jenjangnya, seakan hendak pergi ke pesta.
"Apa anda sudah ada janji sebelumnya?" tanya Kartika hati-hati, karena seingatnya Leo tidak memiliki janji dengan siapapun saat jam makan siang.
"Nope. Tapi kamu bisa memberitahukannya bahwa Gading datang menemuinya." Pria itu, Gading menampakkan senyum genitnya. Kartika hanya menyerengitkan dahinya sambil meraih telepon di mejanya untuk menghubungi Leo.
"Ada apa, Chika?" Leo langsung menjawab panggilan Kartika hanya dalam satu deringan.
"Maaf pak, ada bapak Gading ingin menemui, bapak."
"Sayang, kamu jangan memanggilku bapak. Apa aku terlihat seperti bapak-bapak?" canda Leo yang hanya mendapat keheningan dari Kartika. Saat ini, Kartika tidak bisa membalas candaannya karena ia terlalu waspada dengan orang di depannya yang menatapnya seakan meneliti penampilannya.
"Hah … suruh dia masuk," lanjut Leo pasrah karena tidak mendapat respon dari Kartika. Tidak ingin berlama-lama, Kartika mempersilahkan Gading masuk dengan membukakan pintu ruangan Leo. Gading pun masuk ke dalam dan menyuruh wanita yang bersama untuk menunggu dulu di luar.
"Hei Bro, What's up?" sapa Gading tetiba di dalam ruangan Leo.
"Ada apa?" jawab Leo ketus karena ia sedang kesal karena Kartika tidak merespon candannya tadi.
"Kau terlihat sibuk sekali?" Gading menuangkan whiski yang ada di ujung meja untuk tamu sendiri utnuk dirinya sebelum berjalan menghampiri Leo, "sepertinya kamu sibuk sekali, sampai aku jarang melihatmu main seperti biasa."
"Cukup basa basinya, apa tujuanmu kemari?" Leo berdiri dari kursinya, mengaitkan kancing jasnya, berjalan memutari meja kerja dan duduk disana.
"Aku dengar, Alex membuatmu kesal dengan wanita yang ia bawa."
"Lalu?"
"Aku membawakanmu wanita spesial kali ini." Gading menaikan sebelah mulutnya dengan tatapan penuh keyakinan.
"Kenapa aku tidak pernah sadar kedua temanku sekarang beralih profesi menjadi mucikari handal." Leo merespon sambil kembali ke tempat duduknya.
"Jadi bagaimana?"
"Terserah," jawab Leo yang mulai malas. Suasana hatinya tidak baik pagi ini. apa salahnya jika mendapat hiburan yang datang sendiri tanpa diundang.
Di luar ruangan, wanita yang datang bersama Gading, menilik Kartika yang sedang duduk di mejanya dengan berpura-pura sibuk. Merasa di perhatikan dan tidak nyaman, Kartika menatap balik kea rah wanita tersebut.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" tanya wanita itu.
"Ya?"
"Bagaimana sikap bosmu?" tanyanya lagi secara terang-terangan membuat Kartika tidak menyukainya dalam sekejap.
"Chika, Masuklah!" sapaan Gading yang keluar secara tiba-tiba berhasil membuat Kartika beserta wanita tadi menoleh ke arahnya. Wanita itu langsung berdiri dan masuk kedalam, dimana ia sempat melayangkan senyum mengejek ke arah Kartika. Kartika hanya diam di tempatnya dengan mulut agak terbuka karena bingung dengan situasinya. Wanita itu memiliki sapaan yang sama dengannya. Chika.
"Kalau dilihat dari dekat, kamu terliha cantik meski bengong dengan mulut terbuka," kata Gading yang kembali mencodongkan tubuhnya di meja Kartika. Lagi-lagi, Kartika memundurkan kursinya kembali sampai tembok belakangnya.
"Tidak perlu menjauh seperti itu. Aku bukan orang jahat dan aku tidak akan memakanmu cantik," goda Gading yang tidak ikut masuk kedalam ruangan kembali.
"Kenapa anda masih disini? tidak ikut masuk?" tanya Kartika penasaran.
"Aku kemari untuk menemanimu."
"Saya tidak perlu ditemani," jawab Kartika tegas tanpa menatap wajahnya dan mengalihkan pandangnnya pada vas bunga di belakang Gading.
"Jangan ketus seperti itu." Gading menampakan senyuman genitnya dan berhasil membuat tubuh Kartika merinding jijik.
Tahan Kartika, jangan histeris. sabar. Suara di pikirannya mencoba menenanngkannya.
"Aku tidak bisa menganggu bosmu bersenang-senang bukan? Jadi aku menunggu disini bersamamu, cantik," lanjut Gading yang berhasil membuat Kartika memandangnya walau sekilas.
"Apa maksud anda dengan bersenang-senang?" tanya Kartika tidak paham apa maksud Gading.
"Ya bersenang-senang, seperti yang…" sebelum menyelesaikan kalimatnya, seorang wanita lain muncul dengan ekspresi wajah marah. Wanita yang muncul memiliki perawakan tubuh kecil namun lumayan tinggin dengan rambut indahnya yang bergelombang ia biarkan terurai, alisnya tebal dan dandanan yangterlihat natural terlihat pas di wajah mungilnya.
"Apa yang kamu lakukan disini, Gading? Mana Leo?" tanya wanita itu dengan nada tinggi.
"Muncul lah sang Chika Gendut!" ejek Gading saat melihat wanita itu.
Chika? Kartika mulai bingung.
"Jangan panggil aku seperti itu! Leo ada di dalam? Aku ingin menemuinya."
"Tenanglah Jess!" Gading mencegah wanita itu yang tak lain Jessica Windler yang hendak masuk ke dalam ruangan Leo.
"Jangan cegah aku, jelek!" Jessica memberikan tatapan kesal kepada Gading. Gading hanya bisa mengangkat bahunya tidak peduli dengan masih mencegah Jessica masuk.
"Maaf sebelumnya, mohon tidak membuat keributan." Kartika bangkit dari tempatnya, "jika anda ada perlu bisa saya sampaikan kepada pak Leo."
"Aku ada perlu dengan Leo tidak perlu melaluimu. Memang siapa kamu?" Jessica mulai mengamati Kartika dari atas sampai bawah, setelahnya ia memberi senyuman mengejek kepada Kartika.
"Saya…"
"Tentu saja dia sekertarisnya, Jess," jawab Gading terlebih dahulu sebelum Kartika bisa menjawab.
"Cih … baru sekertaris sudah sok mau mencegahku. Asal kamu tahu, aku tunangannya Leo. Jadi aku berhak masuk kedalam tanpa izin siapapun." Jessica menatap marah ke arah Kartika yang hanya bisa menunduk, kali ini ia benar-benar menciut dengan tatapan kedua orang di depannya. Jika diizinkan ia benar-benar ingin keluar dari ruangan saat ini juga.
Disaat Kartika dan Gading lengah, Jessica segera mendorong pintu ruangan Leo dan masuk ke dalam. Merasa kecolongan Kartika dan Gading ikut masuk ke dalam hendak meraih Jessica agar tidak masuk terlalu dalam. Gerakan Kartika segera terhenti saat mendapati Leo yang bersandar pada kursi hitamnya dengan wanita tadi sedang duduk di pangkuannya dan sepertinya sedang sibuk memegang tubuh Leo dan menciumi lehernya.
Sadar dengan kedatangan orang asing, Leo segera mendorong kuat wanita di pankuannya sehingga terjatuh kesampingnya. Ia menatap dingin ketiga orang yang masuk kedalam ruangannya.
"Apa yang sedang kalian lakukan disini?" teriak Leo yang berhasil membuat Kartika berdiri beku di tempatnya.
"Harusnya itu pertanyaanku, apa yang sedang kamu lakukan?" Jessica ikut berteriak dan berjalan mendekat ke arah Leo. Dengan tatapan dingin, Leo memperhatikan Kartika yang hanya berdiri diam di tempatnya seakan ketakutan dengan tangan sedikit gemetar, tanpa memperdulikan Jessica ataupun Gading yang berbicara dengan nada tinggi di hadapannya.
"Kartika!" sapaan Leo berhasil membuat Kartika menatap lurus ke manik matanya. "Keluarlah dan tutup pintunya dari luar," ucap Leo dengan begitu lembut membuat Jessica hanya diam menatap Leo tidak percaya dengan ucapan lembutnya kepada sang sekertaris.
Kartika segera meninggalkan ruangan tanpa banyak berkata dan tanpa melihat ke belakang. Langkahnya semakin cepat saat ia sudah berada di luar ruangan dan menuju ruangan lainnya. Tidak cukup, udara yang ia hirup masih terasa menyesakkan, Kartika mulai berlari keluar menuju balkon tertinggi di lantai tersebut. Awan yang sedikit mendung membawa hembusan angin yang berhasil menerbangkan helaian rambut Kartika yang tidak ia ikat. Kartika memukul dadanya yang terasa begitu sesak, ia berusaha menghirup udara sebanyak yang ia bisa. Air mata mulai jatuh ke pipinya tanpa di sadarinya. Tangannya mengusap pipinya dan melihat jarinya yang basah karena air mata.
"Ada apa denganku?" grutunya masih dengan air mata yang mengalir tanpa ia kehendaki. Ia harusnya sudah menebak apa yang dapat di lakukan Leo, tapi satu yang membuatnya terasa sakit. 'Kartika' Namanya yang tidak pernah keluar dari mulut Leo, tarasa begitu menusuk hatinya saat Leo mengucapkannya.
Kartika mulai berjongkok dan menenggelamkan wajahnya kepada kedua pahanya, dengan air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia kontrol. Tidak suka. Dia sungguh tidak suka panggilan Leo padanya menggunakan namanya dan tatapan kosong kepadanya.
ᴓ
"Jika ingin mengatakan sesuatu cepat katakan jangan diam saja," ucap Leo di dalam mobil bersama Kartika yang saat ini duduk di sampingnya dan agak merapat ke pintu sehingga memberi jarak di antara mereka. Sejak siang tadi, Kartika hanya diam dan tidak merespon ucapan Leo sedikit pun sehingga membuatnya bingung.
Sebenarnya, Leo tahu pasti alasan dibalik diamnya Kartika padanya. Karena kejadian siang tadi yang memang sengaja ia lakukan untuk membuatnya merasa cemburu. Namun apa yang ia kehendaki bertolak belakang dari yang ia harapkan. Kartika malah menjahuinya dan tidak berkata sepatah kata pun sejak siang itu. bahkan saat ia mengajaknya ke pesta ulang tahu yang di kafe milik Reno, ia hanya menurut tanpa penolakan yang biasa ia ucapkan.
"Nanti jangan jauh-jauh dari pandanganku." Leo memperingatkan Kartika sebelum ia keluar mobil, dimana sudah terparkir tepat di depan kafe yang penuh gemerlap lampu dan orang-orang yang mulai memadati.
Leo berdiri di depan pintu menunggu kehadiran Kartika yang sekarang sudah berada di sampingnya. Tanpa meminta izinnya, Leo menarik tangan Kartika dan mengaitkannya pada lengannya. Mereka masuk ke dalam kafe dan langsung menghampiri meja bar dimana Reno sedang asik merayu wanita dan Kenar sedang menikmati kudapan sambil menyesap minumannya.
Kartika menarik pelan lengan Leo sehingga membuatnya berhenti dan menghadap ke arahnya sebelum mereka sampai ke hadapan teman Leo.
"Aku ingin ke kamar kecil," izinnya lirih.
"Mau aku antar?" Kartika segera menggelengkan kepalanya, "jika sudah selesai cepat kembali, jangan jauh-jauh dariku." Kartika mengangguk mengerti peringatan Leo. Ia pun melepas kaitannya dan segera pergi ke kamar kecil.
Kartika berusaha melewati kerumunan dan menjauhkan tubuhnya sebisa mungkin dari sentuhan orang lain. Setelah berhasil melewati dan masuk ke kamar kecil, ia berusaha mengatur napasnya yang tidak beraturan karena ia sempat menahan napas saat ada pria menyenggol bahunya. Di depan kaca, sudah antri para wanita yang sibuk merapikan atau menambah riasan di wajah mereka, Kartika langsung melesat ke dalam bilik kamar kecil, menutup rapat pintu dan duduk di atas dudukan toilet yang telah ia tutup.
"Aku ingin pulang," desahnya lelah menghadapi keramaian di sekitarnya. Ia duduk diam disana selama mungkin sampai wanita yang sedang sibuk berdandan keluar dari sana.
Keheningan mulai menyelimuti dirinya, Kartika pun keluar dan mendapati kekosongan. Ia melangkah ke depan kaca dan menatap pantulan dirinya yang menggenakan gaun satin black tiered pilihan Leo dengan tataan rambut yang ia gelung ke belakang dan menyisakan beberapa helaian rambut depan. Wanita di depannya terlihat berbeda dengan dirinya yang biasa, cara berpakaiannya bukan Kartika sekali. Wanita itu terlihat begitu anggun, namun tampak luarnya saja, dalamnya ia tidak lebih dari Kartika penyediri dan penakut. Kartika menghela napas panjang seakan ia mempersiapkan diri untuk berperang di medan tempur yang penuh sesak dan hingar bingar.
Dia keluar dari kamar kecil dengan kemantapan diri dan berjalan mencari keberadaan Leo yang tadi ia tingalkan di dekat meja bar. Leo masih ada disana bersama temannya tadi, tapi ada orang lain, Gading dan lelaki asing yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia memperlambat langkahnya dan berhenti seketika saat mendapati Jessica, yang mengaku sebagai tunangannya, muncul dan mengaitkan lengannya kepada Leo secara natural. Rasa takut mulai menghampiri Kartika, ketika ia membayangkan kembali tatapan Jessica yang begitu menindas dan marah yang ditunjukannya tadi siang.
Lagi-lagi, dadanya terasa sesak. Ia juga mulai kehabisan napas. Kartika segera keluar dari kerumunan dan melesat keluar kafe. Tanpa memperdulikan apapun lagi, Kartika berlari ke jalan besar dan mencegat taksi lewat. Ia tidak peduli lagi, ia ingin pulang. Ia ingin menjauh dari keramaian. Secara tidak sadar, ia meminta supir untuk mengantarkannya di kontrakannya. Namun ia baru sadar saat supir taksi pergi meninggalkannya di depan kontrakannya yang gelap, Crystal saat ini tidak ada disana, ia sedang liburan mengunjungi keluarganya bersama dengan Rekka dan lebih bodohnya lagi ia tidak membawa kunci kontrakan miliknya. Ia mulai tertawa getir mendapati kebodohannya dengan air mata yang kembali mengalir. Pikirannya kembali ke Jessica yang begitu natural menggandeng lengan Leo. Ia menatap tangannya yang tadi mengait lengan itu.
"Kenapa aku tidak bisa seperti dia?" bisik Kartika. Ia cemburu. Benar ia merasa cemburu dengan semua wanita yang ada di dekat Leo, dimana mereka dengan mudahnya menyentuhnya. Menyentuh miliknya.
Tidak ingin berlama-lama berdiri di depan pagar dengan tangisan bodoh, ia pun kembali ke jalanan untuk mencegat taksi kembali untuk mengantarkannya ke tempat tinggalnya yang baru. Tempat tinggalnya bersama Leo. Ia lelah, dia ingin segera kembali dan tidur, sambil berharap melupakan semua yang ia alami hari ini.
Kartika masih tidak terbiasa dengan tempat tinggalnya dengan Leo yang begitu mewah, ia mendesah pelan memasuki penthouse Leo dan tanpa segan menyalakan lampu, ia berjalan menuju kamar mereka. Kartika segera melepas gaun hitamnya dan berganti pakaian dengan babydoll. Di depan kaca kamar mandi, ia menatap pantulaan dirinya kembali setelah melepas cepolannya dan membersihkan riasannya. Wajahnya terlihat begitu berantakan, matanya terlihat sembab karena terlalu banyak menangis dengan ujung hidung yang memerah. Kartika mulai membasuh wajahnya dengan air segar dan menatap kembali wajahnya yang masih berantakan namun tidak separah tadi. Setelahnya ia pergi ke tempat tidur dan hendak naik ke atas ranjang. Langkahnya terhenti saat mendapati Leo yang tiba-tiba masuk ke dalam dan segera memeluk tubuhnya dengan erat.
"Kemana saja kamu, Chika? Apa kamu tahu betapa khawatirnya diriku saat kau tiba-tiba menghilang?" ucap Leo dengan cepat, masih memeluk Kartika dan sesekali mencium puncak kepalanya yang masih dalam dekapannya.
"Le ... lepaskan aku!" ucap Kartika yang mulai mendorong tubuh Leo yang masih mendekapnya agar terlepas. Leo pun melepas pelukannya dan menatap lekat wajah Kartika yang terlihat sembab.
"Apa kamu habis menangis?" tanya Leo khawatir dengan mengulurkan tangannya hendak mengusap wajah Kartika. Kartika pun segera menempis tangan Leo dari hadapannya.
"Jangan sentuh aku!" balas Kartika dengan nada tinggi sambil menatap tajam ke arah Leo. Tanpa ia sadari air mata mulai jatuh kembali, membasahi pipinya. Ia pun segera menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Kenapa ... Kenapa kamu menikahiku?" isaknya masih menutup wajah.
"Chika..." Leo mencoba kembali menyentuh tangan Kartika. Kartika kembali menghempaskan tangannya, menghapus air matanya dan mulai menatap ke arah Leo kembali yang hanya bisa melihat dirinya tanpa bisa berbuat apapun, karena Kartika menolaknya.
"Kenapa kamu membeliku? Kenapa kamu menjadikanku istrimu?"
Leo diam membiarkannya berbicara.
"Apa karena janji? Apa karena janjimu padaku kamu menikahiku? Kamu terpaksa menikahiku?"
"Aku tidak pernah terpaksa menikahimu, Chika. Aku tulus menikahimu."
"Pembohong. Kamu pembohong. Kamu tidak pernah sekalipun tulus denganku, kamu hanya terikat dengan janjimu sendiri. Kamu tidak benar-benar menginginkanku, kamu tidak pernah benar-benar menganggap keberadaanku." Kartika memberi jeda sedikit, sebelum Leo mulai berkomentar ia kembali mengeluarkan apa yang ada dipikirannya, "kenapa kamu menikahiku dan membuat hidupku berubah? Kenapa kamu hadir kembali dalam hidupku setelah menghilang dan mengacaukan semua kehidupanku? Jika akan seperti ini jadinya, lebih baik aku menerima lamaran kak Nathan tanpa menunggu, menunggu orang yang tidak pernah ada."
"CUKUP!" Leo mulai berteriak kencang sehingga menghentikan semua ucapan Kartika yang masih ingin ia sampaikan. Leo mencangkup wajah Kartika dan mendekatkan Kartika pada dirinya, sehingga Kartika sedikit mendongak untuk menatapnya.
"Jangan pernah sekali lagi bilang kamu lebih baik menerima lamaran lelaki berengsek itu. Asal kau tahu, aku menikahimu bukan karena janjiku padamu. Aku tulus denganmu, aku menginginkanmu dan aku selalu menganggap keberadaanmu adalah anugerah bagiku, walaupun aku harus memilikimu dengan membelimu dari wanita rubah itu."
"Pembohong. Kamu pembohong. Kamu tidak ada bedanya. Kamu sama-sama lelaki berengsek yang diam-diam menyakitiku dengan bermain dengan wanita lain. Kamu tak pernah menginginkanku, kamu tidak pernah menyentuhku seperti kamu menyentuh mereka." Pengakuan Kartika kali ini berhasil membuat jantung Leo memompa dengan cepat. Senyuman mulai merekah di wajahnya.
"Kamu cemburu? Kamu menginginkanku menyentuhmu, Chika?" tanya Leo pelan sembari menatap lekat mata Kartika dengan lembut.
"Si … siapa yang cemburu denganmu?" Kartika mengalihkan matanya ke arah lain, "aku membencimu."
"Aku mencintaimu Chika." Pengakauan Leo berhasil membuat mata Kartika kembali tertuju padanya, "aku menyukaimu delapan tahun lalu dan aku begitu mencintaimu saat ini."
"Pe … pembohong," balas Kartika terbata.
"Aku mencintaimu. Aku menyukai rambut hitammu yang terkadang berantakan." Leo mengelus lembut rambut Kartika, "aku menyukai kedua matamu sejak pertama kali kamu menatapku penuh khawatir saat menemukanku di bibir pantai." Leo mengecup pelan kedua mata Kartika yang tertutup seketika saat ia cium, "dan aku tidak pernah melupakan aroma tubuhmu yang segar seperti perpaduan jeruk dan stroberi," lanjutnya yang kini mencium lembut bibir Kartika.
"Aku selalu menginginkanmu sejak dulu."
"Kamu tidak pernah menyentuhku sama sekali," bisik Kartika pelan dengan suara sedikit bergetar.
"Kamu menolakku, Chika. Kamu selalu menolakku dan tubuhmu bergetar ketakutan saat aku ingin menyentuhmu lebih dalam." Leo menatap lekat manik mata Kartika dengan wajah sedih.
"Aku tidak pernah takut dengan sentuhanmu," jawab Kartika yang saat ini menatap lurus mata Leo, "aku hanya bingung dengan diriku sendiri karena kamu satu-satunya orang yang menbuatku seperti wanita normal, dimana aku tidak histeris dan takut saat bersamamu."
"Jadi kamu menginginkanku?"
"Dan kamu tidak menginginkanku," jawab Kartika, "aku sadar bahwa penampilanku begitu buruk jika dibandingkam dengan wanita di sekelilingmu. Aku paham itu, aku mencoba memahaminya tapi dadaku selalu terasa sesak saat aku mencobanya."
"JANGAN! Jangan pernah mencoba memahami hal bodoh itu. Dirimu sempurna, Chika. Keberadaanmu selalu aku inginkan. Jika kamu mengizinkanku untuk memilikimu seutuhnya aku tidak akan pernah mau mendekati wanita seperti mereka. Kamu satu-satunya untukku."
"Sejak kapan kamu perlu meminta izin? Bukankah kamu bilang kamu berhak akan diriku?" ucap Kartika pelan tanpa melihat mata Leo. Ia yakin wajahnya saat ini memerah karena ucapannya yang tak tahu malu, dimana ia dengan jelas memberi tahu bahwa dirinya menginginkan pria ini, lelaki di depannya.
"Jadi, kamu mengizinkanku untuk menyentuhmu, Chika?" tanya Leo ragu, karena jika Kartika benar-benar mengizinkannya, ia tidak yakin dapat berhenti untuk memiliki setiap jengkal diri Kartika.
Tak memberikan respon jelas, Kartika mengalungkan kedua tangannya ke leher Leo dan mendekatkan kepalanya sehingga ia dapat mencium bibir Leo walau harus menjinjit. Leo sedikit tersikap dengan perbuatan Kartika yang tiba-tiba. Sama seperti dulu, dimana Kartika bertindak cepat tanpa ia kira.
"Kamu tahu, aku tidak akan pernah berhenti walaupun kamu memohon untuk berhenti, Chika!" ancam Leo yang membuat Kartika terdiam sejenak di tempatnya setelah melepas kecupannya dengan mengumpulkan semua keberaniannya.
"Aku tidak akan memohon untuk berhenti."
Lampu hijau sudah dinyalakan oleh Kartika. Leo pun langsung mendekatkan tubuh Kartika padanya dan menciumi setiap inci tubuh Kartika yang selalu didambanya.
Seperti kembang api yang melesat indah di langit gelap, lembaran baru kehidupan Leo dan Kartika dimulai dengan perasaan mereka yang sama satu sama lain.