Shitty Monday mungkin itu kata yang tepat untuk hari ini. Rapat mingguan sebelum akhir tahun selalu penuh dengan masalah. Belum lagi bagian marketing dengan laporan berantakan. Rasanya ingin sekali aku memecat semua orang bodoh itu.
Aku mendesah sambil menutupkan mataku. Sebatang rokok yang masih menyala di tangan, kuhisap dalam-dalam dan kusemburkan bebas begitu saja membentuk lingkaran. Ini adalah salah satu kesukaanku dalam merokok, aku bisa bermain dengan asapnya, setidaknya bisa membuatku tersenyum konyol.
"Aku merindukan rasa manisnya,"gumamku sembari mematikan rokokku yang mulai membuatku bosan dan pikiranku melayanag pada bibir manis itu. Aku pun bersandar pada sandaran sofa putih panjang dengan kaki panjangku di atas meja. Hari yang melelahkan.
"Aku senang akhirnya kamu kembali, tapi setidaknya jangan penuhi rumahku dengan bau asap rokokmu." Tante Rima dengan penampilannya yang sombong berjalan mendekatiku. Ia menggenakan sebuah gaun panjang berwarna orange, yang membuatku menatap tak suka. Yang benar saja, dia memakai gaun didalam rumah.
"Perlu tante ingat, secara hukum legal, rumah ini adalah milikku bukan milik tante. Tante disini tidak lebih sebagai penjaga rumah karena aku merasa kasihan dengan tante yang diceraikan om Bryan tanpa diberi tempat tinggal." Tante Rima mulai menatap tajam ke arahku, tanpa mau kalah aku menatapnya balik dengan posisiku yang tak berubah.
"Secara hukum, aku adalah walimu."
"Tidak, setelah aku menginjak umur 21 tahun. Apa perlu aku sebutkan isi warisan itu kembali ke tante? Sebagai informasi, aku mengingatnya diluar kepala" balasku dengan menaikan sebelah mulutku sehingga terlihat menyeringai di hadapannya.
"Siapa sangka mulutmu sama tajamnya dengan perempuan murahan itu," balasnya sambil lalu. Perkataannya kali ini berhasil membuatku geram. Perempuan ular itu selalu saja mengucapkan kata itu, kata-kata yang selalu menjelekkan ibuku setiap kali kalah berbicara. Lihat saja, aku akan menghancurkan secara diam-diam dan mengusirmu dari sini saat aku memiliki kuasa penuh.
"Jika kakak sering menggeratakan gigi seperti itu, lama-lama gigi rata yang kakak banggakan akan hilang semua seperti kakek-kakek." Seorang gadis bersandar di pinggiran anak tangga dengan menggenakan kaos putih polos dan celana sangat pendek dengan melipat tangannya, menatap ke arahku, "kalian berdua tidak capek apa saling melotot setiap ketemu? Aku yang melihatnya saja ngeri," sindirnya lagi.
"Kenapa kamu disini? kabur lagi dari rumah?"tanyaku pada gadis itu, yang tak lain Alice, anak ketiga tante Rima dari pernikahan ketiganya pula yang lagi-lagi kandas begitu saja tanpa sebab jelas kali ini. Sebelumnya, pada pernikahan pertama dimulai karena sebuah perjodohan yang menghasilkan dua anak laki-laki yang salah satunya adalah Dimas dan berakhir dengan perusahaan yang bangkrut, pernikahan kedua sama-sama perjodohan bodoh kakek yang berakhir karena suaminya meninggal, namun yan terakhir aku dengar karena cinta dan berbuah gadis di depanku, Alice, tapi akhirnya kandas juga tanpa sebab jelas sampai sekarang.
"Enak saja. Aku tidak pernah kabur. Ayah sedang tugas ke Sydney dan aku sedang libur. Apa salahnya mengunjungi mama sendiri."Alice duduk didepanku sambil mengunyah apel yang ternyata ia bawa sedari tadi.
"Libur apa bolos? Kamu tidak bisa menipuku. Ini belum waktunya liburan."
"Aku sedang libur, kakak bodoh. Libur minggu tenang, minggu depan aku ada ujian." Ia menatapku kesal sembari mencibir. Aku hanya bisa tersenyum melihat wajah jeleknya yang melotot kearahku. Tak bisa dipungkiri ia mirip dengan tante Rima jika sedang melotot, namun bedanya dia tidak suka mencampuri urusan orang lain, lebih acuh dari pada saudaranya yang lain.
"Omong-omong ngapain kakak kesini? Mau makan malam bersama?"
"Tidak juga, hanya mau mengecek rumah sekali-kali, takut ibumu membakarnya diam-diam tanpa sepengetahuanku."
"Tenang saja, kalau ada kebakaran pun semua pekerja disini pasti tanggap memadamkannya. Aku dengar para pekerja disini mendapat pendidikan dasar pramuka ya."ia menatapku dengan penuh penasaran. Aku hanya tertawa kecil mendengar pernyataan bodohnya. Aku pun mengulurkan tanganku di atas kepalanya dan mengacak-acak rambut lurusnya yang sebahu. "Apaan sih… jangan acak-acak rambut Alice, bisa tidak! Kak Leo dan kak Dimas sama saja suka acak-acak rambut orang,"omelnya sambil menampilkan wajah cemberutnya.
"Celanamu itu tidak kurang pendek? Aku hampir bisa melihat dalamanmu,"usilku sambil melirik pahanya yang ia tampilkan begitu saja. Ia pun melotot kepadaku dan melempar bantal duduk yang ada di punggungnya tepat ke wajahku.
"Dasar Mesum! Ini sedang tren kakak bodoh!"
"yah, Tren untuk pemuas lelaki. Di mataku kamu terlihat seperti memakai dalaman bukan celana pendek. Ganti celanamu atau aku sobek sekarang juga."meski aku suka bermain dengan perempuan, bukan berarti aku suka melihat keluargaku sendiri berpakain seperti wanita murahan meski di rumah sendiri. Dengan cibiran yang terdengar dari mulutnya, Alice pun beranjak dari tempatnya dan menaiki tangga tanpa melihatku. Aku tahu, meski dia kesal seperti itu, namun dia gadis yang penurut. Bisa aku tebak dia pasti mengganti celananya.
Merasa bosan dengan kesunyian di ruang tengah dan perutku mulai berbunyi, aku pun beranjak dari tempatku dan berjalan menuju ruang makan keluarga dimana tante Rima dengan angkuhnya duduk di kursi kakek. Aku hanya menatap kesal dan duduk tepat di hadapannya di ujung meja tanpa suara. Para asisten rumah tangga mulai sibuk menata peralatan makan dan masakan yang sudah matang dari dapur. Dimas, dengan wajah kusutnya berjalan masuk ke ruang makan.
"Tumben kamu pulang?"tanyanya ketika sadar aku sudah duduk tenang di kursiku. Ia menarik kursi disampingku begitu saja.
"Kalian semua tidak bosan selalu menanyaiku hal yang sama setiap kali aku ada disini? Tentu saja aku pulang, ini rumahku sendiri."Aku menjawabnya dengan nada bosan dan dingin. Dimas mengangkat kedua tangannya seakan menyerah dengan jawabanku.
"Wow...makan malam hari ini terlihat nikmat." Alice muncul sambil menutup matanya seakan menikmati bau harum dari masakan di atas meja. Dengan mulut yang terbuka ia segera menarik kursi di samping Dimas dan menunggu piringnya yang sedang diambilkan.
"Gak usah dibuka lebar seperti itu," kata Dimas yang langsung meraih dagu adik perempuannya dan segera menutupnya. Seketika, Alice menyipitkan matanya setajam pisau menatap lurus ke arah Dimas yang sedang memperhatikan adiknya dari atas sampai bawah. Ia menaruh punggung tangannya di dahi Alice, "Kamu sakit atau habis mimpi buruk? Mana celana tren kebanggaanmu itu?"
"Jangan bicarakan hal itu."
"Kenapa? Apa mami membuangnya lagi." Tanpa menjawab pertanyaan Dimas, Alice sekaranag menatap tajam kearahku. Aku hanya tersenyum senang karena dia menurutiku sambil memakan sup hangat di depanku. "Kamu yang membuatnya melepas celana jeleknya?"tanya Dimas yanag saat ini ikut menatapku.
"Sepertinya," jawabku sambil memasukan sesendok nasi dan ikan goreng cripsy ke mulutku.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya masih penasaran.
"Aku tak melakukan apapun. Aku hanya bilang kalau aku lihat dia pakai celana itu di rumah ini, aku akan langsung menyobeknya dari tubuh datarnya yang seperti papan selancar,"jawabku yang agak aku lebih-lebihkan yang berhasil membuat tatapan tajam Alice mengarah padaku, begitu juga tante Rima yang ada dihadapanku.
"DIAM, dasar cowok mesum!"ucap Alice sambil menunjuk langsung muka ku.
"BISA KALIAN TENANG?! Kita sedang makan." Perempuan ular itu sepertinya mulai tak tahan, bahkan ia meletakan sendoknya dengan kasar di atas meja sambil melotot ke arahku. Menarik.
"Siapa juga yang bilang kita bermain," celetukku yang berhasil membuat Alice menahan tawa dan mendapat plototan dari perempuan ular itu. Suasana menjadi tenang seketika seperti kuburan. Begitu canggung, membuatku gerah. Aku pun segera melepas dasi hitamku dan membuka satu kancing kemejaku. Tanpa mau berlama-lama aku segera mengisi perutku yang masih lapar.
"Lusa sisihkan waktumu, kita akan makan malam dengan keluarga Windler."Tante Rima memecah keheningan setelah ia mengelap mulutnya dengan serbet putih yang tadi ia taruh di pahanya di balik meja. Aku hanya diam tidak menggubris ucapannya. "Kita akan membicarakan perjodohanmu dengan anak perempuannya, Leo." Cobanya sekali lagi dengan mempertegas namaku.
Aku menatap tidak suka dengan nada bicaranya. Sesaat aku menatap ke arah Dimas yang sekarang hanya menunduk menatap makanannya dengan memaksa mengunyah makanan di mulutnya. Aku mendesah pelan ketika mengingat kejadian pesta malam itu. apa perjodohan ini yang dibicarakannya saat mabuk?
"Yang benar saja, memang kita hidup di zaman apa? Kenapa masih ada perjodohan pula?"
"Ini tradisi keluarga."
"Bullshit, tradisi keluarga yang pada akhirnya berujung perceraian seperti nasib tante?" tantangku mengingatkan apa yang terjadi dengan pernikahan yang di alami perempuan ular di depanku. Merasa tidak terima, Dimas menendang kakiku yang berhasil membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya yang melotot padaku. Semua orang di rumah ini lama-lama membuatku kesal. Aku pun mengambil serbet dari pangkuanku, mengelap mulutku dan meminum habis air mineral di hadapanku.
"Akan kupertimbangkan. Jangan berharap banyak, apalagi lusa adalah malam natal, kurasa pesta lebih menarik daripada perjodohan membosankan itu."
"Kakak tidak merayakan natal, bukan?" tanya Alice dengan wajah polosnya.
"Aku merayakan apapun, asalkan ada pesta, wanita dan minuman."Aku berdiri dari tempatku dan melangkah meninggalkan ruang makan tanpa menggubris perkataan si perempuan ular itu yang sepertinya mulai berceramah panjang lebar tentang tradisi kuno.
Fajri yang sedang asik membaca koran langsung sigap ketika melihatku berjalan ke pintu depan. Ia pun membukakan pintu dan mengantarku ke penthouse tanpa banyak pertanyaan. Ini salah satu alasan kenapa aku lebih suka ditemani Fajri dari pada Rekka. Fajri tidak terlalu banyak bicara dan lebih penurut, berbeda dengan adiknya yang selalu mengaturku dan dengan bodohnya aku kadang menurutinya.
Malam yang melelahkan.
ᴓ
"Kita sampai," kata Fajri yang berhasil membangunkanku yang tertidur sesaat karena mendengarkan musik klasik yang selalu di pasang. Aku bukan orang kaku yang melarang supirku atau siapapun mendengarkan musik, malah aku menyuruh mereka amenyalakan musik apapun asal tidak membuatku merasa sepi di dalam mobil. Jujur, aku paling benci keheningan, kecuali aku tidur tentunya. Aku merasa ada sesuatu yang mengerogoti tubuhku yang membuatku merasa tak nyaman jika tidak ada suara di sekitarku.
"Pulanglah, malam ini aku tidak kemana-mana."Aku memberitahunya dengan tegas jadwalku, karena jika tidak dia pasti akan menunggu dengan setia sampai jam dua belas malam. Aku bukan atasan yang kejam, sehingga membiarkan pegawaiku terjaga sampai tengah malam dan melayaniku pagi-pagi buta. Malah aku terkadang sedikit terkekang dengan perlakuan seperti ini awalnya, saat kakek meninggal dan begitu saja melimpahkan tanggung jawab kepadaku.
Bayangkan saja, aku hanya cowok 19 tahun waktu itu, dimana semua seumuranku masih suka bersenang-senang dan kebebasan. Aku malah harus sibuk kuliah dan bekerja secara bersamaan. Belajar mulai awal mengenai perusahan, tanggung jawab dan menjadi bijaksana dalam mengambil keputusan di usia muda tanpa memihak apapun dan siapapun. Semua orang hanya bisa memandang kagum karena mereka anggap aku hebat, jenius dan semacamnya. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya aku sangat tersiksa, bahkan aku sempat melupakannya sesaat melupakan jati diriku dan Chikaku. Ketika aku sadar apa yang kulupakan, semua sudah menghilang begitu saja jati dirik dan Chikaku. Jadi jangan pernah salahkan diriku yang semakin tersesat dalam pergaulan bebas di kota metropolitan.
Aku pun melangkahkan kakiku memasuki gedung dan bergegas menuju lift, aku ingin cepat tidur di kasurku. Aku terlalu lelah malam ini.
"Pak Leo." Panggilan seseorang berhasil membuatku membalikan badan dan menghadap orang itu yang tak lain penjaga gedung,
"Ada apa?"
"Ada yang ingin bertemu, tapi namanya tidak ada dalam daftar tamu yang di perbolehkan berkunjung jadi saya memintanya menunggu di luar."
"Siapa?"
"Ibu Kartika Aldila." Dua kata nama yang keluar dari mulut penjaga gedung berhasil membuat jantungku berdetak dengan cepat. Tanpa perlu arahannya akau berjalan keluar gedung dan mendapati seorang wanita duduk di bangku panjang yang dingin di samping gedung dengan kepalanya yang naik turun. Bisa kutebak ia tertidur sembari duduk. Mengingatkanku saat ia menungguku ketika bekerja di perkebunan kelapa sawit saat itu. ia menungguku dan tertidur sambil duduk seperti ini.
Tanpa bersuara aku berjalan mendekat kearahnya dan duduk tepat di sampingnya. Ia masih tidak sadar. Aku melepas jas abu-abuku dan menggenakannya pada tubuh mungilnya yang terlihat kedinginan. Kepalanya mulai bergerak ke kanan dan kiri, membuatku geli melihatnya. Waktu seakan berhenti seketika, aku kembali ke masa itu, dimana ia selalu berada di sampingku seperti yang ia katakan padaku yang selalu menemaniku kemana pun. Bahkan aku sempat mengatainya penguntit yang mengikutiku bahkan saat aku buang air, dia mulai berdalih dengan mengataiku penakut jika ia tidak menemaniku nanti. Yang benar saja, ia mengingat saat pertama kali aku buang air di tempat gelap dan asing dan menjadikan ejekan untukku. Sampai aku pasrah membiarkannya mengikutiku yang akhirnya menjadi kebiasaan bagiku.
Pluk... kepalanya mulai jatuh ke pundakku, aku terdiam menatapnya tanpa berkedip. Alisnya, bulu matanya, hidungnya dan mulutnya yang selalu menggodaku. Ia mulai mendengkur pelan. Tanpa izin dan membangunkannya, tangan kananku mulai merengkuh pundaknya dan tangan kiriku meraih kedua kakinya yang bebas. Secara hati-hati aku mulai menggendongnya kepada kedua lenganku. Penjaga gedung yang melihatku dengan tanggap membantuku membawakaan barang Chika yang ia letakan di dekat kakinya sedangkan tas kecilnya masih menggantung di tubuhnya yang ia selempangkan di pundak. Dengan bantuan penjaga itu aku sampai di ruang tengah penthouseku dan memintanya segera meninggalkan kami berdua.
Setelah kepergiannya aku memopong tubuh mungil pada lenganku dan meletakannya secara hati-hati di atas kasur pada kamarku di atas. Aku merapikan letak tidurnya, rambutnya yang menutupi wajahnya, mengambil jasku dan menggantinya dengan selimutku yang sudah kutarik ke atas sampai menutupi setengah tubuhnya. Masih duduk di tepian kasur, aku menatap sejenak wajah tidurnya yang selalu terlihat menawan dan mengecup pelan bibirnya yang berwarna merah saat ini. Manis. Rasa manis bibirnya tidak pernah membuatku bosan. Lebih nikmat dari pada rokok yang aku hisap, anggur merah dan permen sekalipun.
Puas memandangi wajah damainya, aku berdiri dan berjalan keluar meninggalkannya yang tertidur di kamarku. Sunyi. Tempatku terasa begitu sunyi. Aku berjalan menuju dapur dan membuka sekaleng bir dari kulkas. Kupandangi langit gelap melalui jendela besar ruangan tengah, tampak binary cahaya dari gedung-gedung tinggi di sekitaran. Kubuka pintu geser pada balkon, menatap lurus binaran cahaya yang tampak jelas. Aku menyalakan sebatang rokok yang aku ambil dari meja dapur tadi, kuhisap dalam ujungnya dan membuang asapnya membentuk lingkaran seperti yang selalu aku mainkan. Masam. Putung rokok ini yang biasanya meninggalkan rasa manis sekarang hanya terasa hambar. Aku meminum birku sampai habis dan mematikan putung rokokku yang masih panjang di atas kaleng. Perlahan rintik hujan mulai turun, angin berhembus lembut membawa sedikit air yang mengenai kulit wahaku. Dingin. Aku pun masuk kedalam dan membuang kalengku begitu saja ke tong sampah.
Aku segera menutup kembali pintu geser balkon, tapi mataku menangkap piano putih yang berdiri tegak di tengah ruangan. Sejak tinggal ditempat ini, sekali pun aku belum pernah memainkan piano ini yang setia menunggu di tempatnya untuk kumainkan. Aku menggulung lengan kemeja hitamku sampai ke siku dan duduk di kursi depan piano yang bersih tak berdebu. Aku tebak, bi Sumi pasti selalu membersihkannya.
Ting… teng… suaranya masih lembut seperti biasa. Dengan lincah jariku mulai menari di atas tut putih dan hitam memainkan satu sheet musik fur elise, seketika keheningan disekitarku menghilang. Suara yang dihasilkan dari piano putih ini terdengar indah. Aku mengikuti ketukan dalam pikiranku sebagai tempo permainanku. Aku memejamkan mataku untuk lebih focus dengan suara yang kuhasilkan. Tap… tap… suara lain terdengar mendekat, tunggu itu suara langkah kaki.
Aku menghentikan permainanku dan membuka mataku. Kutatap wanita yang selalu terliat menawan di mataku sekarang berdiri diam pada anak tangga terbawah. Mata hitamnya yang bulat bertemu dengan mataku. Aku menaikan kedua sudut bibirku sehingga membentuk sebuah senyuman. Entah mengapa jika ada didepannya aku lebih sering tersenyum, bukan menyeringai.
"Permainan yang indah," ujarnya pelan. aku berdiri dari tempatku dan berjalan menghampirinya. Seketika kakinya mundur satu langkah dan diam kaku di tempat. Menyadari keengganannya untuk didekati aku menghentikan langkahku.
"Terima kasih." Aku menatap lembut matanya. Ia menundukkan kepala sambil meremas pinggiran rok hitamnya. Aku memasukan satu tanganku ke kantong celana dan duduk di pinggir meja yang ada disampingku, "Ada yang bisa saya bantu nona Kartika?" ia menatap lurus ke arahku saat ini masih dalam diamnya. "Atau mungkin ada keperluan yang mengharuskanmu datang lagi kemari?"
"Kenapa aku bisa tidur diatas?"tanyanya ragu.
"Karena aku tidak akan membiarkan seorang wanita tertidur di luar gedung dengan mulut terbuka begitu saja."
"Mulutku tidak terbuka saat tidur,"jawabnya cepat sehingga manik matanya bertemu dengan milikku. Aku pun tersenyum melihat ekspresinya yang terlihat lucu.Menyadari hal itu ia menundukkan kepalanya kembali dan terdiam.
"Gaun." Aku menaikan sebelah alisku, tidak mengerti apa maksudnya yang tiba-tiba memecah keheningan. "Aku kemari ingin mengambil gaunku, tapi tadi aku mendapat telpon dari Crystal bahwa Rekka sudah membawanya di rumah," jelasnya aku pun mengangguk.
Tentu saja, Rekka yang tanggap pasti langsung mengantarkan gaun itu tanpa perlu bertanya kepadaku, yang selalu tidak peduli dengan semua gaun yang aku buang begitu saja. Kami terdiam kembali dalama keheningan, hanya terdengar detik jam dan rintikan hujan di luar yang sepertinya tambah deras. Mata Chika seketika menyala ketika mendapati kantong yang dibawakan penjaga tadi di dekat pintu. Ia mengambil kantong cokelat itu dan berjalan mendekat namun menyisakan jarak saat dia berhenti.
"Aku juga mau mengembalikan ini." Ia membuka lebar kantong cokelat ditangannya dan menampkan kemeja dan handuk putih yang ia kenakan sebelumnya.
"Kau tidak perlu mengembalikannya, kau bisa mengambilnya." Ia menundukan kembali kepalanya setelah mendengarkan jawabanku yang, jujur terdengar kejam. Aku menghela napas pendek karena merasa keterlaluan. "Terima kasih telah membawakannya." Aku berjalan mendekat dan menerima kantong cokelat itu dari tangannya.
Masih memegang tangannya, ia mendongakan kepalanya untuk menatapku yang sekarang berada tepat di hadapannya. Ia memberikanku senyuman hangatnya. Senyuman yang berhasil membuat jantungku berdebar.
Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan? Pulang? Kembali ke tempatmu dan meninggalkanku sendiri? Aku masih menginginkanmu disini. Disisiku. Bersamaku.
"Teh. Apa kamu mau minum teh bersamaku? Atau mungkin kopi? Aku belum menawariku tamuku saat ini," tanyaku setelah ia melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Aku harus kembali, sudah malam."
"Aku memaksa, lagipula diluar sedang hujan."
"Aku bisa naik taksi."
"Aku tidak akan membiarkan wanita naik taksi sendirian pada malam hari dan hujan seperti ini,"kataku dengan nada yang agak mengintimidasi sehingga membuatnya ketakutan. "Aku akan mengantarmu."
Ia pun mendongakkan kepalanya menatapku kembali dengan tatapan tak percaya. Setidaknya itu bukan tatapan ketakutan yang ia pancarkan tadi.
"Setelah aku menyajikan minuman kepada tamuku," tambahku yang masih memaksanya. Sebisa mungkin aku ingin berdua dengannya, walaupun hanya duduk sambil minum secangkir teh atau kopi yang bukan diriku.
"Teh."
"Baiklah, dua cangkir teh," jelasku. Aku pun mempersilahkannya duduk dan berjalan menuju dapur. Aku mengambil dua cangkir dan piring kecil dari kabinet atas, menaruhnya di meja dapur pemisah dapur dan meja makan, mencari teh di sudut meja dan menaruhnya di cangkir. Aku pun menyeduh air panas dari dispenser ke dalam cangkir yang sudah kusiapkan tadi.
"Maaf," ucapan Chika berhasil membuatku berhenti sesaat untuk menatapnya sejenak yang mulai meremas kemeja biru tuanya. "Maaf karena mendorong dan membuatmu terbentur dinding," katanya setengah berbisik tapi masih bisa terdengar olehku yang diam tak menjawab, "Maaf karena menodorongmu kemarin."
"Tidak perlu minta maaf. Jika diingat kembali itu semua salahku," jawabku kemudian sembari menyerahkan secangkir teh padanya ketika aku berjalan mendekatinya. Ia mendongakkan kepalanya dan menerima cangkir yang aku sodorkan padanya. "Aku yang harusnya minta maaf,"lanjutku sembari duduk di sampingnya. Dengan pelan ia menggeserkan sedikit duduknya sehingga memberi jarak antaraku dan dirinya.
"Memang yang pertama karena salahmu." Bagus, jawabannya tepat sasaran, "tapi, yang kedua murni kesalahanku. Aku yang memulainya terlebih dulu. Aku memelukmu terlebih dulu waktu dipesta. Aku menciummu lebih dulu dan aku…" ucapannya berhenti seketika, ketika menyadari diriku yang menyangga kepalaku miring pada tanganku yang bersandar pada sandaran sofa putih. Aku menatap intens ekspresinya saat ini yang terlihat begitu cantik dengan rona merah yang mulai muncul di pipinya.
"Kamu kenapa?" tanyaku yang sedikit menggodanya. Ia menatapku sambil menelan ludahnya dan mengigit pelan bibir bawahnya. Gigitan pada bibir bawahnya berhasil menyulut hasrat di dalam tubuhku. Aku mendekatkan tubuhku padanya yang saat ini duduk memiring menghadapku sehingga lutut kami bersentuhan. Aku menaikan kepalaku, tidak bersangga pada apapun sehingga wajah kami sejajar saling menatap. "Kamu kenapa, nona Kartika?"tanyaku kembali yang kini menatap bibirnya yang sudah tidak ia gigit namun terbuka sedikit.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Kenapa kamu memanggil nama kecilku Chika?" tanyanya seketika seakan ia mencoba mengalihkan pembicaraan. Sayang sekali Chika, kamu tidak berhasil.
"Entahlah. Kenapa kau tidak mencoba mengingatnya sendiri?" Aku tersenyum jail tanpa memberi jawaban jelas padanya.
"Jika aku mengingatnya, aku tidak akan bertanya denganmu." Ia mulai memasang wajah kesalnya. Ah, aku menyukai wajah itu.
"Jika kamu mengingatnya, apa yang akan kamu lakukan?" Ia terdiam kembali sambil menatap rok hitamnya yang agak kusut karena sering ia remas sebelumnya. "Sebelum kamu menjawab, kenapa kamu tidak jawab pertanyaan pertamaku, kamu kenapa tadi?"cegahku saat ia hendak membuka mulut.
"Aku ingin minta maaf." Chika menatap lurus ke arahku kali ini sekan mulai marah karena aku menggodanya.
"Baiklah. Aku terima permintaan maafmu." Mendengar perkataanku, ia menghela napas lega. Oh, Chika jangan merasa lega dulu. Aku masih ingin bersamamu, sayang. "Dengan satu syarat, kamu mengulangi perbuatanmu itu kepadaku sekarang. Memeluk dan menciumku,"lanjutku dengan cengiran di wajahku.
Ia menatapku tak percaya. Sesaat tatapannya kosong, namun kembali seketika. Ia pun melihat langsung manik mataku seakan memintaku berkata bohong. Aku hanya tersenyum melihat wajahnya saat ini. Wajahmu ketika aku goda tidak pernah berubah, Chika.
"Jika kamu tidak mengingatnya, aku bisa membantu mengingat bagaimana caramu memelukku." Aku pun segera mendekap erat tubuh mungilnya. Ia terdiam tak bergerak dan tidak tegang. Aku pun menghirup dalam aroma tubuhnya yang sangat kusukai. Aku tenggelamkan wajahku di lekukan lehernya sesaat dan melepasnya.
Ia menatapku dengan mengedipkan matanya berulang kali.
"Dan bagaimana caramu menciumku," bisikku yang saat ini sudah ada tepat di hadapannya. Mata kita saling bertemu, tidak ada pancaran ketakutan dan penolakan dari sorotnya. Secara pelan aku mendekatkan wajahku dan mengecup pelan bibirnya. Aku menatapnya kembali setelah melepas ciuman singkatku padanya. Aku menempelkan kembali bibir kami. Tidak ada penolakan darinya. Aku sedikit menekan bibirku dan mendapat respon darinya. Kucoba melihat wajahnya. Matanya terpejam. Ada rasa bahagia muncul di hatiku.
Aku ikut memejamkan mataku dan mencium lembut bibir manisnya. Astaga, bibirnya membuatku ketagihan. Aku memperdalam ciumanku dan mulai melumat pelan bibirnya. Ia membalasnya agak ragu. Aku mulai menuntunnya, karena aku yakin ia jarang melakukannya, atau tidak pernah mungkin. Aku meraih tubuhnya, melingkarkan kedua lenganku padanya sehingga tubuh kami bersentuhan. Tangannya bergerak keatas dan mengalungkannya ke leherku. Aku bisa merasakan sentuhannya pada leherku yang mulai menjalar ke kepalaku. Jarinya mulai masuk kedalam rambut belakangku dan mengacaknya.
Tak lama, ia melepaskan tautan kami yang mulai kehabisan napas. Suara napasnya terdengar begitu seksi di telingaku saat ini. Tanpa memberinya waktu lama aku menempelkan kembali bibirnya pada bibirku, sungguh aku masih tidak ingin melepasnya. Aku melumat bibir bawahnya sehingga membuatnya membuka sedikit mulut seksinya. Aku segera memaskukan lidahku kedalam rongga mulutnya, aku ingin lebih merasakan rasa manis dari bibirnya. Ia tidak menolaknya. Aku mulai memperdalam ciumanku, lengan kiriku yang ada di tubuhnya kali ini meraih kakinya dan memopongnya kembali ke kamarku.
Aku melepas ciumanku sesaat aku membaringkan tubuhnya di atas kasurku dan berada tepat di bawahku. Aku menyingkarkan anak rambut dari wajahnya. Ia membuka matanya perlahan untuk menatapku dengan napas yang tersenggal. Dadanya mulai naik turun. Aku tersenyum, mengelus lembut dahinya, pipinya dan bibirnya yang masih terbuka sedikit sehingga menampakan gigi kelincinya yang imut. Aku meraih dagunya dan mengecup pelan bibirnya singkat. Aku menatap mata hitamnya yang terlihat begitu lembut saat ini. aku mengecup kedua kelopak matanya singkat yang membuatnya menutup dan membuka kembali setelahnya.
Tangannya yang tadi ada di leherku sekarang menyentuh kedua telingaku, dahiku dan berhenti di kedua alisku. Aku tersenyum melihatnya yang terlalu fokus kepada kedua alisku.
"Kamu tidak berubah," tatapannya sekarang beralih ke kedua mataku, "kamu selalu menyukai alis tebalku, Chika."
Gerakan tangannya sesaat berhenti. Aku tersenyum melihat wajah bingungnya. Aku mencium pipinya yang masih merona. Aku bisa mendengar deru napasnya.
"Menginaplah, Chika," bisikku tepat di depan telinganya. Aku mengecup lehernya dan mempertegas tandaku kemarin disana.
"Ahhh…"desahannya mulai terdengar.
"Jangan pergi dariku lagi, Chika." Aku berbisik tepat di depan bibirnya kali ini sebelum mengecup pelan. Ia menatap dalam ke mataku, membuatku menjadi gila.
Aku mengecup kembali bibirnya lebih dalam dan terhanyut dalam rasa manisnya, yang membuatku rela menghentikan kebiasaan merokokku ataupun kebiasaan minumku. Hanya untuk merasakan bibir itu lagi, lagi dan lagi.