Suara dentuman musik terdengar begitu keras, para tamu bersorak merayakan natal dengan tarian mereka. Aku berdiri di dekat meja bar menunggu pesanan minumanku selesai dibuat. Dari samping seseorang menepuk pundakku, sehingga aku menoleh dan melihat wajah bodohnya yang tersenyum.
"Who's that girl? Tumben sekali kamu membawa pasangan." Alex langsung duduk di sampingku dan menunjuk seorang wanita yang datang bersamaku yang tak lain Jessica Windler, orang yang hendak dijodohkan denganku sedang berdansa di lantai dansa bersama Reno. Aku mendesah menjawab pertanyannya.
"Jessica Windler, gebetan Dimas."
"Cewek yang dijodohkan denganmu."
"Tidak juga. Aku menolaknya. Harusnya seperti itu, tapi wanita itu seperti parasit mengikutiku sampai kemari," jelasku dengan malas. Aku mengalihkan pandanganku dari lantai dansa ke minumkanku yang baru saja di sajikan bartender.
"Aku juga mau diikuti dengan wanita cantik seperti dia." Alex tersenyum licik, seperti pria hidung belang. Well, semua pria memang hidung belang.
"Apa kamu mau diikuti oleh si chika gendut? Kamu masih ingat?"
"Chika gendut? Maksudmu cewek gendut yang mengaku menjadi kekasihmu hanya karena kamu mengajaknya ke prom night? Tentu saja aku ingat. Semua wanita geram saat melihatmu datang denganya."
Aku tertawa geli ketika mengingat kejadian itu. Hanya karena ia memiliki nama yang sama dengan Chika ku, aku mengajaknya ke acara prom night karena aku sedang malas berurusan dengan para wanita rubah yang selalu ada disekitarku. Inginnya menjauh dari rubah betina malah aku mendapatkan parasit gendut.
"Dia si parasit gendut." Aku menunjuk ke arah Jessica Windler yang sedang berdansa mengikuti irama di lantai dansa, meliukan tubuh kurusnya dengan pakaian minim di tubuhnya.
"WHATT?! YOU GOTTA BE KIDDING IN ME!!" Alex berteriak dengan mata terbelalak seakan biji matanya hendak keluar, aku menaikan sebelah mulutku, menggelengkan kepala dan jari telunjukku.
"That's her?!" Aku mengangguk.
���Gara-gara kalian mempermalukannya ia merombak tubuhnya habis-habisan. Sekarang ia merayu ayahnya untuk minta dijodohkan denganku." Aku mendesis ketika mengingat penjelasannya kemarin saat makan malam bersama. Aku benar-benar tidak habis pikir, bisa-bisanya ada orang bodoh seperti dia untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin ia capai.
"Serius? Dia pasti cinta mati padamu. Udah ambil aja, lagipula badannya gak jelek sepeti dulu."
"Cokelat," jawabku sambil menyesap minumanku.
"Apanya?"
"Aromanya cokelat. Parfumnya bau cokelat, lotionnya bau cokelat, mungkin sHamponya, ia pakai cokelat. Aku benci cokelat." Aku menjelaskan dengan memasang wajah jijikku ketika ingat dia berdiri di dekatku dengan bau cokelat semerbak disekitarnya dan berhasil membuatku menahan nafas karena rasa mual di perutku.
"Sayang sekali. Kalau saja aku masih kosong pasti sudah aku embat."
"Sejak kapan kamu isi?"
"Tak akan pernah," jawabnya dnegan memasang senyum lebar. "tapi tidak kali ini, tuh aku baru menemukan incaran." Alex menunjuk kearah delapan, dimana ada seorang wanita sedang berbicara dengan temannya, sesekali melirik kearah Alex dan dibalas dengan senyuman.
Aku hanya bisa ikut tersenyum bangga akan prestasinya yang sudah mendapatkan wanita hanya dalam waktu tiga puluh menit acara dimulai. Merasa bosan, aku pun mengeluarkan ponselku dan memotret si chika gendut, meski sekarang kurus seperti cacing, yang masih menari di lantai dansa. Aku langsung mengirimkannya ke seseorang sambil menunjukkan senyuman jailku. Aku ingin membuat orang kesal hari ini.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Memanggil si anak mami, Dimas. Sebentar lagi ia pasti datang." Aku memasukan ponselku dan menghabiskan minumanku. Aku jadi tidak sabar menunggu kedatangannya dengan muka marah. Malam ini pasti akan menyenangkan. Aku membalik badanku menatap ke seluruh ruangan dengan badanku yang bergerak di tempat mengikuti irama musik.
"Mana Rekka? Kencan dengan kekasihnya?" tanya Alex setengah berteriak karena besarnya dentuman musik. Aku pun menunjukkan tanganku dan menggerakannya ke kanan-kiri diikuti dengan kepalaku.
"Aku mengirimnya ke Makassar."
"Dasar sinting! Kamu selalu menganggu percintaan Rekka."
"Aku tidak pernah menganggu percintaannya, jangan sembarangan bicara. Aku mengirimnya ke Makassar karena besok aku ada rapat penting disana. Harusnya kita berangkat bersama malam ini, tapi aku tidak bisa meninggalkan pesta undangan dari Kenar. Jadi aku memintanya berangkat dulu untuk menyiapkan semua keperluanku," jelasku panjang lebar, "Jadi aku tidak menganggu percintaan Rekka."
"Oh ya, apa perlu aku ingatkan? Kamu mengencani Tiffany saat SMA, padahal kamu tahu kalau Rekka suka curi pandang dengannya."
"Aku tidak tahu.��� Aku menatapnya dengan serius. Aku tidak tahu siapa cewek yang disukai Rekka saat SMA. Dia tidak pernah memberitahuku. Bukan itu saja, siapa itu Tiffany, aku bahkan tidak ingat seperti apa orangnya.
"Fine. Bagaimana dengan Renata? Wanita berhijab itu? bukannya dia dekat dengan Rekka saat kuliah? Gara-gara kamu mendekatinya Rekka menghindari wanita itu bukan?"
"Hell no!" Aku menatapnya kesal laki ini, "Aku tidak pernah mendekati Renata. Aku hanya meminta dia mengerjakaan tugasku, itu saja tidak lebih. Lagipula Rekka menjauh dengannya bukan karenaku. Itu karena Renata sudah memiliki calon suami dan Rekka tahu diri. Mereka hanya berteman bodoh," lanjutku sambil mengangkat tanganku seakan memukulnya tetapi tidak aku lakukan. Ia hanya bisa tertawa mendengar penjelasanku.
Sialan, apa ia kira aku seberengsek itu hingga mengkhianati teman sendiri. Aku memiliki kode etik. Apapun yang terjadi aku tidak akan melirik pasangan teman sendiri, juga aku tidak akan pernah mengencani mantan temanku sendiri. Lagipula masih banyak wanita berkeliaran yang dengan suka rela menyerahkan tubuhnya kepadaku. Untuk apa aku mencuri punya orang lain. Aku tidak semengenaskan itu. Lagipula yang kuinginkan saat ini hanya Chika. Chika ku.
Memikirkannya membuatku sedikit sesak napas. Sejak pagi itu aku tidak pernah menemuinya lagi. Dia bahkan tidak masuk kerja selama dua hari ini. Saat aku meminta Rekka menanyakan keadannya, Crystal hanya menjawab Chika baik-baik saja dan ada keperluan sehingga tidak masuk kerja. Sepertinya ia menghindariku. Apa dia takut padaku? Apa ia tidak suka aku memeluk dan menciumnya kemarin? Tapi ia tidak menolakku sama sekali. Aku juga sudah menahan diri untuk tidak menyentuhnya lebih dari itu.
"Sialan!" makiku kesal. Tanpa memperdulikan apapun, aku bangkit dari tempatku dan pergi dari pesta yang mulai terdengar berisik. Jika mengingat ia tidak mengingatku membuat hatiku kesal dan sakit bukan main.
"Mau kemana kita?" tanya Fajri yang muncul entah dari mana, berjalan di sampingku.
"Kembali ke kantor." Aku perlu pengalihan. Aku akan ke kantor, menyiapkan persentasiku besok dan memanggil wanita jalang manapun untuk menemaniku malam ini. Aku tidak ingin kembali ke penthouseku, ketika aroma Chika masih terasa disana terutama dalam kamarku.
Bukk... Seorang wanita tiba-tiba menyerudukku sesaat pintu lift terbuka. Dengan sigap aku memegangi tubuhnya yang hampir tersungkur ke sampingku. Aku pun membantunya untuk berdiri.
"Hati-hati nona,"ucapku saat ia mulai menyeimbangkan tubuhnya kembali, "Crystal?!" Aku terbelalak tak percaya ketika melihat wajah wanita yang menyeruduk perutku, yang tak lain Crystal.
"Kenapa ka-" sebelum aku selesai bicara, ia meremas keras kedua lenganku dan matanya melihat lurus kepadaku.
"Tolong aku! Hentikan pernikahannya." Aku hanya bisa menatapnya bingung dengan ucapannya yang terdengar panik dan secepat kilat. Pertama, kenapa ia harus meminta tolong kepadaku? Memang aku dewa penyelamatnya. Kedua, memang siapa yang menikah? Apa urusannya denganku sampai aku harus menghentikannya?
"Tenang dulu." Aku mencoba menenangkannya dan menuntunya ke tempat duduk di sekitar sana, "ambil napas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan. Jika sudah tenang cobalah berbicara denagn pelan," perintahku yang langsung ia lakukan.
Ia melakukannya berulang kali. Aku pun melihat Fajri yang berdiri di belakangku tanpa berbuat sesuatu. Aku hanya bisa menghela napas dengan sikap cueknya.
"Bisa ulangi ucapanmu tadi dengan perlahan?" pintaku yang mencoba bersabar, dimana sebenarnya aku ingin segera keluar mencari pengalihan.
"Tolong aku! Aku tidak bisa menghubungi Rekka."
"Maaf akan hal itu. Rekka sedang ada di Makassar, mungkin dia ada di pesawat jika kamu tidak bisa menghubunginya." Aku mencoba menjelaskan padanya.
"Aku tahu. Aku tahu. Karena aku tidak bisa menghubungi Rekka, jadi aku mencoba mencari pak Leonardo. Aku butuh bantuan pak Leonardo."
"Kamu kekasih Rekka, temanku. Jadi panggil aku Leo." Crystal menelan ludahnya dan mengangguk.
"Bantu aku hentikan pernikahannya." Crystal mencengkram lenganku kembali dengan kalimatnya yang kembali membingungkan.
"Aku ingin sekali membantumu, tapi aku tidak ingin menghentikan acara sakral seperti pernikahan yang aku sendiri tidak tahu pernikahan siapa maksudmu." Aku mencoba memamerkan senyuman ramahku sambil berusaha melepas cengkramannya pada lenganku yang mulai terasa sakit.
"Kartika." Perkataan Crystal seketika berhasil membuat tubuhku membeku, "bantu aku menghentikan pernikahan Kartika."
Pernikahan Kartika. Dua kata tersebut berhasil memenuhi seluruh kepalaku. Jadi dua hari ini ia menghilang karena ia sibuk mempersiapkan pernikahannya. Sedangkan aku dengan bodohnya masih memikirkan kesempatan bertemu dengannya setelah delapan tahun, tapi dia melupakanku dan akan menikah. Aku hanya bisa tertawa pada diriku sendiri saat memikirkan kebodohanku menanti orang yang bahkan tidak mengingatku.
Aku berdiri dari tempatku, dengan perlahan aku berjalan mundur dan kembali ke pintu lift. Aku harus pergi dari sini. aku mulai tidak tahan dengan keadaan ini yang bukan diriku.
"Mau kemana?" Crystal meraih lenganku dengan kasar sehingga membuat tubuhku menghadap dirinya, "Kamu menyukai Kartika, bukan?"
"Jangan bodoh. Aku tidak menyukai siapapun." Aku tertawa geli mendengar ucapannya. Bagaimana bisa ia menyimpulkan hal itu. aku tidak menyukai wanita yang akan menikah.
"Kalau kamu tidak menyukai Kartika, kenapa kamu menyentuhnyaa bahkan meninggalkan tanda pada dirinya." Aku hanya menatap tidak percaya dengan apa yang ia katakan saat ini, "Aku tahu semuanya. Kartika menceritakan semua yang kamu lakukan kepadanya," lanjutnya dengan yakin.
"Kamu tahu apa tentang diriku?" Aku menertawakan kepercayaan dirinya, "Aku melakukan hal itu kepada setiap wanita yang aku temui. Semua orang bahkan tahu akan hal itu," lanjutku seakan mengingatkan apa yang biasa orang katakan tentang diriku. Sesuatu yang mereka inginkan dan aku biarkan begitu saja.
Merasa kalah telak ia menutup rapat mulutnya dan menundukkan kepala. Aku hanya bisa mendengus puas melihatnya yang entah mengapa membuatku semakin sesak di bagian dada. Aku pun mencoba masuk ke dalam lift tapi tangan Crystal yang mancengkram lenganku menghalangi langkahku.
"Walaupun kamu tidak menyukainya, kamu pasti bisa membantuku menghentikan pernikahan yang tidak diinginkannya." Ia mendongakan kepalanya untuk menatapku dengana tatapan marah, "Aku masih kesal dengan keputusanmu yang menyulitkan pegawaimu untuk bekerja dan bersenang-senang di pesta."
Shit, wanita jika sedang marah terlihat mengerikan. Crystal sepertinya sangat marah padaku yang membuat kencannya dengan Rekka gagal karenaku. Aku pun menghela napas disaat pintu lift tertutup kembali dan membuatku menunggu kembali.
"Baiklah. Apa maumu?" tanyaku mulai pasrah.
"Bantu aku menghentikan pernikahan Kartika dengan lelaki brengsek yang pernah menyakitinya dan membuatnya merasa berbeda dengan wanita lain. Aku akan melakukan apapun sebagai gantinya," jelasnya dengan mantap. Aku mulai mencerna perkatannya yang sangat sulit di cerna.
"Apa maksudmu lelaki brengsek dan membuatnya berbeda?"
"Apa aku perlu menjelaskannya?"
"Bagaimana aku bisa membantumu jika aku tidak tahu apa masalaah utama yang membuatku, maksudku kita menghentikan pernikahannya."
"Ayahnya kembali dan akan menikahkannya dengan kak Nathan, sepupunya sendiri yang hampir memperkosanya. Kartika tidak menginginkannya. Ia bilang tidak bisa menerima lamarannya ketika ia masih terikat dengan lamaran orang lain yang entah siapa. Namun yang pasti aku tidak bisa membiarkan Kartika menikah dengan lelaki brengsek yang membuatnya selalu ketakutan jika berada dekat dengan laki-laki."
Ia ingat. Chika masih mengingat lamaranku. Ia masih mengingatnya.aku tidak peduli meski ia tidak mengenaliku. Yang pasti ia masih mengingatku.
"Kapan dan dimana pernikahnnya?" tanyaku kepada Crystal yang saat ini melihatku dengan ekspresi kagetnya.
"Kamu mau membantuku?"
"Kamu mau menggagalkan pernikahnnya atau tidak?"
"Bandung. Pernikahannya akan diadakan sabtu ini."
"Masih ada waktu," gumamku. "Fajri cepat cari penerbangan secepatnya ke Bandung. Penerbangan paling akhir hari ini atau penerbangan paling awal besok dan antarkan aku ke kantor sekarang." Aku melihat jam tangan di lenganku, masih jam sepuluh malam. Aku akan menyelesaikan kerjaanku secepatnya, mengirimkan ke Rekka dan memintanya untuk menggantikanku. Sepertinya aku tidak bisa kesana.
"Aku ikut." Crystal mencengkram lenganku dengan keras. Wanita ini seperti binatang buas yang tak bosan mencengkram lenganku. aku melepas cengkramannya pada lenganaku dan menggosoknya.
"Tunggu saja, aku yang akan menghentikannya sendiri."
"Tidak bisa. Aku harus ikut. Kartika meminta tolong padaku, jadi aku harus datang."
"Kamu meminta tolong padaku, jadi biar aku selesaikan sendiri."
"Aku harus ikut." Ia mulai meninggikan suaranya seperti berteriak.
"Penerbangan yang tersedia hanya besok jam lima pagi. Penerbangan awal sudah penuh." Suara Fajri berhasil memecah ketegangan diantara kami berdua. Akau pun menghela napas sambil mengusap wajahku.
"Baiklah. Siapkan penerbanganku dan Crystal besok," putusku dengan terpaksa, "Lebih baik kamu kembali ke tempatmu, besok kita berangkat. Fajri antarkan aku ke kantor."
Tanpa menatap wajah bahagianya, Aku meninggalkan Crystal sendirian, memasuki lift yang terbuka kembali bersama Fajri yang mengikutiku setelah mematikan ponselnya. Apapun yang terjadi aku akan menghentikan pernikahan itu. Seperti yang dikatakan Crystal, lamaranku pada Chika masih berlaku selama aku belum membatalkan lamaranku delapan tahun lalu. Aku masih memiliki kesempatan.
ᴓ
"Apa maksudmu tidak bisa hadir di rapat hari ini?" Suara Rekka terdengan begitu kencang di daun telingaku sehingga membuatku menjauhkan ponsel tipisku.
"Tidak ada maksud apapun. Hanya hari ini aku tidak bisa menghadiri rapat, aku sudah mengirimkan beberapa tambahan untuk rapat hari ini diemailmu. Gantikan aku memimpin rapat hari ini. Untuk masalah investor yang hadir nanti aku akan menghampirinya secara pribadi untuk meminta maaf setelah urusanku disini selesai," jelasku yang langsung menutup sambungan. Aku harus menyelesaikan urusan pribadiku yang ada di depan mata. Mereka masih bisa menunggu.
"Bagaimana keadaan Rekka?" tanya Crystal yang sedang duduk di sebelahku dengan wajah khawatir.
"Tenang saja, dia bisa mengatasinya. Namun ingat jangan beritahu Rekka dulu masalah ini, biar aku yang memberitahunya," jawabku dengan memasang wajah tegas, "Selanjutnya kita kemana?"
Crystal mengangguk. Ia pun langsung memberikan arahan ke rumah bibi dan paman Kartika kepada supir. Kita ada di Bandung pagi ini, setelah turun dari bandara Fajri yang ikut menemani, mungkin lebih tepatnya menjagaku, menyewa sebuah mobil. Kita pun langsung meluncur ke rumah Kartika tanpa mampir ke hotel yang sudah di pesan sebelumnya untuk berjaga-jaga.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil,di saat Crystal meminta supir menghentikan mobil. Dengan yakin, Crystal langsung turun dari mobil bersamaan dengan Fajri. Aku yang masih di dalam mobil melihat dengan seksama bangunan rumahnya yang terlihat tua. Aku pun ikut turun setelah Fajri membukakan pintuku. Tanpa menungguku Crystal langsung masuk ke halaman rumah dimana pagarnya terbuka yang sepertinya memang ada tamu disana.
"Permisi." Crystal mencoba menyapa seseorang yang sedang duduk di dekat pintu. Seorang laki-laki setengah baya yang sedang berbicara dengan lelaki gendut dengan peci hitam di kepalanya yang agak miring langsung menghentikan percakapan, menoleh ke arah Crystal yang saat ini sudah berdiri di depan pintu. Aku masih berdiri di dekat pagar rumah yang tidak tinggi, hanya sebatas dadaku.
"Ada yang bisa dibantu mbak?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Saya mau mencari Ka-"
"Mau apa kamu kesini?" Seorang Pria berumur sekitar dua puluhan keluar dari dalam rumah memotong kalimat Crystal yang belum selesai.
"Aku ingin menemui Kartika." Crystal menjawabnya dengan nada kesal. Aku yang tidak tahu menahu hanya bisa melihat mereka dari belakang.
"Kamu teman Kartika? Bapak panggilkan Kartika dulu," ucap laki-laki tadi. Crystal mengalihkan pandangannya dari pria muda dan mengangguk ke arah bapak tadi yang sekarang menghilang ke dalam rumah.
"Aku tanya, kenapa kamu datang kesini? Aku tidak mengundangmu." Pria muda itu bertanya kembali dengan nada tidak bersahabat.
"Aku tidak perlu undanganmu untuk kemari, Nathan! Aku kemari hanya untuk Kartika. Ia menghubungiku yang benar saja kamu mau memaksanya menikah denganmu?"
Nathan? Memaksa menikah? Jangan-jangan orang ini yang akan menikahi Chika. Orang yang telah menyakitinya. Tiba-tiba saja badanku mulai memanas. Aliran darahku seketika mendidih, amarah perlahan menguasai diriku.
Tahan Leo. Jangan bertindak bodoh dulu. Aku mencoba menenangkan diriku.
"Siapa dia?" tanya Nathan sambil menatapku tak bersahabat. Aku tidak suka tatapannya.
"CRYSTAL!!" teriakan Chika terdengar dari dalam rumah, ia pun berlari dengan tak sabar dan langsung meloncat untuk memuluk tubuh Crystal. Ia terlihat kurusan. Namun wajahnya tetap menawan. Melihatnya amarahku mulai mereda, tapi tetap aku tidak suka dengan tatapan Nathan yang seakan menusuk ke arahku.
"Masuk dulu, nak!" Bapak tadi muncul kembali dan menawari untuk masuk ke dalam rumah. Aku pun melangkah masuk ke dalam.
"Siapa kamu?" Nathan bertanya dengan mencegahku masuk ke dalam rumah. Sungguh aku tidak menyukai orang ini.
Crystal yang menyadari tatapan sengit di antara kami membantu melepaskanku dari lelaki brengsek di depanku. Ia menyingkirkan lengan Nathan yang mencegahku dan menarik lenganku masuk bersama dengananya tanpa perlu menjawab pertanyaan Nathan.
"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, jalang?" tanyanya pelan tapi berhasil membuat Crystal berbalik menatap tajam padanya.
"Karena pertanyaanmu tak perlu dijawab, brengsek!" balas Crystal sengit dan meninggalkannya berdiri di depan pintu.
"Nak Crystal, bukan?" tanya bapak tadi kepada Crystal yang sudah duduk di samping Kartika, sedangkan aku duduk di kursi single yang ada di dekatnya. Crystal pun mengangguk dengan menampilkan senyuman ramahnya kepada orang itu.
"Nak Crystal pasti kesini mau menjadi pendamping pernikahan Kartika besok?" lanjutnya dengan suara ramahnya yang terdengar mirip dengan orang yang kukenal, kakek Jono. Dia terlihat mirip seperti kakek Jono, tapi aku tahu dia bukan kakek Jono.
"Kartika tidak akan menikah, Ayah. Sudah Kartika bilang berapa kali, Kartika tidak bisa menerima lamaran kak Nathan. Crystal kemari untuk menjemput Kartika. Kartika akan kembali ke Jakarta." Chika menjawab dengan sungguh-sungguh kepada bapak tadi yang ternyata ayah Chika. Berarti orang ini adalah Aditya Ilham.
"Anak ini, omongannya selalu meracau dari kemarin." Seorang perempuan keluar dari dalam rumah dengan menggenakan daster sambil membawa nampan berisi minuman di tangannya, "Tentu saja kamu akan menikah besok dengan Nathan. Memangnya ada yang mau menikah denganmu setelah kejadian itu? masih baik Nathan mau bertanggung jawab atas perbuatannya," lanjutnya.
"Kartika tidak perlu pertanggung jawabannya sekarang." Chika menjawab dengan tegas, namun aku tahu dia sedikit takut. Lihat saja tangannya yang bergenggaman dengan Crystal terlihat sedikit bergetar.
"Jika Kartika tidak mau, kenapa bibi begitu memaksa Kartika?" Crystal ikut berbicara.
"Kartika." Pak Aditya memanggil Chika sehingga pertengkaran singkat terhenti, "Ayah tahu ini berat untukmu, tapi nak Nathan mau bertanggung jawab akan perbuatannya. Terimalah nak. Biarkan Ayah tenang."
Pak Aditya menatap sungguh-sungguh seakan memohon kepada Chika untuk menerima pernikahan itu. Chika terdiam menatap ayahnya. Mulutnya terbuka setengah seakan ingin mengatakan sesuatu namun terhenti. Ia diam, diam dan diam tanpa berkata apapun. Ia mulai menutup matanya dan mengangguk pelan.
Dadaku sesaak, kerongkonganku terasa kering. Aku tidak sanggup melihatnya yang terlihat sedih. Tubuhnya bergetar menahan sesuatu. Sama. Ekspresinya sama seperti saat kakek Jono menghilang. Bedanya ia tidak memberontak. Tapi ekspresi wajah itu begitu kukenal. Ekspresi yang dapat ikut menyayat hatiku.
"Baiklah jika seperti itu. saya akan kembali dulu dan menyiapkan semua berkas pernikahan mereka, besok seperti jam yang di undangan." Orang bertubuh gemuk dengan peci di kepalanya memecahkan suasana canggung. Pak Aditya pun berdiri dan menjabat tangannya.
"Maaf sudah merepotkan pak penghulu untuk datang kemari."
"Tak masalah. Saya kemari hanya ingin benar-benar memastikan pernikahan ini tidak ada paksaan. Kalau begitu saya pulang dulu." Pria gemuk itu mulai menyalami semua orang.
'Hentikan dia Leo! Jangan biarkan dia keluar dari rumah ini, sebelum kamu menghentikannya. Ini saat terakhir,' suara di kepalaku menyadarkanku akan kondisi saat ini. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak ingin melihat ekspresi sedihnya. Sialan!!
"Pernikahan ini tidak bisa terjadi!" kataku dengan keras sehingga membuat semua orang di ruangan ini berhenti melakukan aksi bersalaman-salaman dan menatapku. Termasuk Chika yang tadi menunduk. Mata kami saling bertemu, mata hitamnya yang indah.
"Dia tidak bisa menikah dengan siapapun, sebelum aku membatalkan lamaranku padanya," lanjutku yang masih melihat Chika-ku yang menatap bingung ke arahku.
"Apa maksudmu?" tanya Nathan dengan nada menantang tidak terima dengan ucapanku.
"Seperti yang aku bilang. Dia tidak bisa menikah ataupun menerima lamaran orang lain sebelum aku membatalkan lamaranku padanya." Aku menjawab dengan yakin pertanyaan Nathan dengan menatap lurus ke arahnya, karena aku tidak terima dengan nada bicaranya yang tidak sopaan padaku.
"Jangan mengada-ada, tidak ada yang pernah melamar Kartika selain diriku. Memang siapa dirimu tiba-tiba datang dan berbicara seperti itu?" Nathan maju ke arahku dan menarik kerah bajuku. Fajri yang berdiri tidak jauh dari pintu depan, langsung masuk kedalam rumah dan mendorong Nathan agar menjauh dariku.
"Mohon maaf sebelumnya," ucapku mencoba menengahi sambil merapikana pakaianku yang sempat kusut karena tangan kotor Nathan di bajuku. "Nama saya Leonardo Kandou. Saya adalah ..." perkataanku berhenti sejenak memikirkan kata yang tepat disaat seperti ini.
'Sialan, apa yang biasanya orang lain katakan tentang hubungan mereka jika ada ikatan satu sama lain.'
"Kekasih." Crystal melanjutkan ucapanku yang sempat terhenti, "Dia kekasih Kartika dan dia sudah melamar Kartika."
"Tidak bukan dia." Chika membalas ucapan Crystal dengan bingung.
'Astaga Chika, kenapa kamu tidak mengikuti alurnya saja,' Geramku dalam hati.
"Lihatlah, kalian masih saja ingin mencegah pernikahan kami. Tidak ada yang melamar Kartika selain diriku." Nathan dengan yakin menertawakanku. Aku benar-benar ingin memukul wajahnya saat ini.
"ADA!" Chika mulai berteriak, "ada seseorang yang melamar Kartika, jauh sebelum aku bertemu dengan kak Nathan dan Kartika menerima lamaran itu."
"Tidak usah berbohong Kartika. Hentikan semua ini. Kita akan menikah besok." Nathan mulai menertawakan Chika ku. Aku mulai mengepalkan tanganku menahan amarah.
"Kartika tidak berbohong. Kartika sudah menerima lamarannya dan hanya mau menikah dengannya." Chika ku mulai menetaskan air mata.
"Jika kamu tidak berbohong, bisa kamu katakan siapa orang itu? Dimana dia sekarang?" Pertanyaan Nathan berhasil memojokan Chika. Ia kembali terdiam menunduk tanpa menjawab pertanyannya, dimana aku mengerti kenapa ia tidak bisa menjawabnya. Ia sendiri tidak mengetahi dimana dan siapa orang itu. namun ia masih meyakininya dan mengingatnya. Ia masih masih yakin padaku dan mengingat keberadaanku.
"Surya." Aku mulai tidak bisa menahan semua ini, "Lelaki itu bernama Surya dan dia melamar Chika delapan tahun yang lalu setelah kepergian kakek Jono yang menghilang saat berlayar."
Pengakuanku membuat Chika menatap tidak percaya dengan jawaban yang aku berikan atas pertanyaan Nathan. Aku memberikan senyumanku padanya agar ia percaya dengan ucapanku kali ini, karena mungkin ini satu satunya yang dapat menggagalkan pernikahan ini, meski sebenarnya aku tidak ingin memberitahunya dengan cara seperti ini.
"Bagaimana kamu tahu?" tanyanya pelan.
"Karena aku lelaki itu, Chika. Kamu memberiku nama Surya saat bersamamu." Aku memberinya tatapan lurus. Ia membuka mulutnya tidak percaya, begitu juga Crystal yang duduk di sampingnya yang sepertinya tidak percaya dengan perkataanku.
"Sesuai janjiku padamu, Chika. Aku akan menikah denganmu, menemanimu menggantikan kakek dan menjagamu selama kakek tidak ada," ucapku dengan mengulang lamaranku delapan tahun lalu dan janjiku kepada kakek Jono yang akan menjaganya saat dia pergi, meski baru sekarang aku bisa mengucapkannya langsung padanya, pada keluarganya.
"Tunggu sebentar," perempuan yang muncul dengan menggenakan daster tadi, yang tak lain tante Chika, Sonia Maharani, mencoba menengahi, "kamu bilang kamu melamarnya delapan tahun lalu, tapi kamu tidak ada saat aku membawa Kartika dan sekarang kamu dengan seenaknya ingin menghancurkan rencana pernikahan anakku dengan Kartika. Apa kamu kira segampang itu?" lanjutnya dengan kesal.
"Benar. Apa dengan kemunculanmu tiba-tiba saat ini bisa menghentikan pernikahanku dengan Kartika? Sampai kapanpun aku tidak akan menghentikannya." Nathan ikut menimpali dengan memberikan senyuman mengejeknya yang sungguh aku benci saat ini.
"Enam ratus lima puluh juta. Jika kamu bisa memberikan mas kawin sebanyak itu hari ini, pernikahan Kartika dengan Nathan bisa di batalkan dan bahkan kamu bisa menggantikannya," ujar Sonia tiba-tiba yang membuat anaknya Nathan menatap tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya.
"Apa maksud ibu?" teriak Nathan.
"Tidak ada maksud tertentu. Itu setimpal dengan semua kekacauan yang ditimbulkan Kartika selama tinggal disini. Memang aku menyekolahkannya selama tiga tahun itu tidak mengeluarkan biaya?"
"Aku selalu mengirimu uang untuk biaya hidup Kartika." Pak Aditya yang sedari tadi diam ikut berbicara seperti tidak terima dengan ucapan Sonia.
"Uang yang kamu berikan hanya cukup untuk biaya makan Kartika disini, bukan sekolahnya. Ditambah kekacauan yang ditimbulkannya dengan melaporkan anakku ke polisi dan membuatnya mendekam di penjara, kamu kira membebaskannya tidak membutuhkan biaya? Juga pernikahan ini. Semua aku yang menanggungnya."
"Tante ingin menjual Kartika?" Crystal yang mulai tidak tahan mulai berteriak.
Sama. Semua orang ternyata sama saja, yang mereka pikirkan tidak jauh dari uang. Bahkan untuk mendapatkan wanita yang aku inginkan aku harus mengeluarkan uang. Baik. Jika seperti itu, aku akan membayarnya selama aku bisa memilikinya untukku.
"Jika aku bisa membayarnya hari ini juga apa pernikahannya dengan pria ini di hentikan?" Aku menatap tajam ke arah Sonia dan Nathan bergantian.
"Kalau kamu bisa membayarnya, bahkan acara besok bisa kamu gantikan," katanya dengan yakin. Aku hanya tersenyum sinis membalas tatapannya yang mirip seperti rubah betina di sekitarku yang selalu menginginkan uang.
Aku pun meminta Fajri untuk mengambil buku cek di dalam tas yang aku bawa tadi. Tak lama ia datang bersama dengan buku cek dan pena. Segera aku menuliskan nominal yang lebih banyak dari yang wanita mata duitan ini dan segera memberikannya padanya.
"Satu Milyar?!" ucapnya dengan mata terbelalak saat melihat cek yang aku berikan.
"Kurasa itu harga yang pantas."
"Jangan sembarang bicara. Aku tidak menikahkan anakku karena uang." Pak Aditya mengambil kertas cek dari tangan Sonia dan memberikannya padaku. Tidak terima dengan perbuatan itu, Sonia mengambil cek itu kembali sebelum cek itu kembali ke tanganku.
"Kamu tidak berhak atas Kartika setelah kamu meninggalkannya terlalu lama denganku. Aku yang memutuskan disini karena aku yang merawatnya dan uang ini kurasa lebih dari cukup. Kamu bisa menikahinya kapan pun kamu mau." Sonia menatapku dengan mata bersinar, sebuah sorotan yang bisa kubaca. Ia menginginkan lebih.
"Baik. Aku akan menikah dengannya besok, tapi dengan syarat." Aku menaikan sebelah mulutku sehingga membentuk seringaian yang sudah lama aku tahan melihat kelakuannya yang mulai buta karena uang.
"Kamu," Aku menatap Nathan, lelaki yang telah menyakiti Chika, "kamu," dengan menatap Sonia, perempuan iblis yang mata duitan, "dan anda," mataku beralih ke arah pak Aditya, seorang ayah yang tidak bertanggung jawab, "tidak aku ijinkan bertemu ataupun berdiri di dekat Kartikan apapun yang terjadi setelah pernikahan kami."
Benar. Aku tidak akan pernah membiarkan orang-orang busuk seperti mereka ada di dekat Chika-ku. Aku yang akan menjaganya, tidak akan aku biarkan ada orang lain menyakitinya lagi.