Chereads / Her Sweet Breath / Chapter 18 - TUJUH BELAS: SEKERTARIS PRIBADI

Chapter 18 - TUJUH BELAS: SEKERTARIS PRIBADI

Ia menggeliat dalam tidurnya, sesuatu yang hangat berembus menerpa belakang lehernya. Kartika mengerjapkan matanya berkali-kali berusaha melihat sekelilingnya yang gelap. Matanya terbuka lebar saat melihat lengan besar yang hangat di hadapnnya, mungkin lebih tepatnya ia menindih lengan besar itu. Ia menggerakan tubuhnya sedikit yang membuatnya merasakan sentuhan hangat di puncak dadanya yang tanpa bra. Ia melihat badannya sendiri, ada sebuah lengan lain yang saat ini menyusup ke dalam baju tidurnya dan mencangkup salah satu dadanya tanpa bergerak. Mulai menyadari situasinya, Kartika mengeluarkan lengan itu dari dalam bajunya dan mencoba duduk.

Ia menoleh ke belakang dan mendapati seseorang, yang tak lain Leonardo Kandou, yang mengaku sebagai kak Surya, membelinya dan menikahinya, kini tertidur pulas di sampingnya. Wajah tidurnya terlihat begitu tampan bagai malaikat, Kartika mendekatkan tubuhnya untuk mengamati dengan seksama dalam kegelapan. Rahangnya terlihat begitu tegas, mulutnya seksi dan alisnya tebal, sama seperti yang ia ingat. Dia terlihat seperti kak Surya.

'Dia bukan kak Surya. Kak Surya tidak akan membelimu,' suara di kepalanya memperingatinya. Kartika pun menjauhkan dirinya, menampar wajah pria itu dan memeluk tubuhnya erat.

Leo mengerjapkan matanya sejenak saat merasakan tamparan yang dikenalnya mendarat di pipinya.

"Apa yang kamu lakukan padaku? Kenapa aku ada disini?" tanya Kartika disaat Leo membuka mata dan melihatnya.

"Shit, Chika! Ini masih pagi," omel Leo setelah melirik jam di atas nakas di belakang Kartika.

"Apa yang kamu lakukan padaku? Kenapa aku disini?" ulang Kartika dengan memberikan tatapan marah karena dia bangun di tempat asing dan di sampingnya yang tanpa atasan.

"Tentu saja aku tidur, sayang." Panggilan yang diberikan Leo pada Kartika, berhasil membuatnya bergidik ketika mendengarnya. Melihat ekspresi wajah Kartika, Leo menarik lengan Kartika hingga ia tertidur kembali dalam pelukannya.

"Jangan lupa kamu sekarang adalah istriku, jadi kamu harus menemaniku tidur." Kartika melebarkan matanya mendengar ucapan Leo yang benar. Ia sekarang istrinya tapi masih belum bisa menerima status barunya.

Leo mengecup pelan bibir Kartika disaat ia tenggelam dalam pikirannya. Kecupan hangat yanh diterimanya bagaikan sengatan hangat yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia tidak bergerak ketika Leo mendekapnya erat ke dalam dadanya yang keras karena otot. Kecupan lembut di ubun-ubunnya memberikan sensasi sendiri yang membuatnya kembali terlelap dalam dekapan hangat yang ia rindukan.

"Chika… Chika…" panggilan yang sangat familiar terdengar berat di telinganya, embusan napas mengenai pipinya. Kecupan singkat terasa di bibirnya.

"Sudah pagi. Cepat bangun, mandi dan sarapan" ucap suara itu kembali. Kartika menggeliatkan tubuhnya meraih apapun di dekatnya untuk di peluk.

"Lima menit lagi," jawab Kartika yang saat ini memeluk erat tubuh Leo yang berbaring di pinggir kasur. Kaki Kartika mengait pinggul Leo sehingga tubuh mereka berdekatan, ia juga menenggelamkan wajahnya kepada dada Leo. Aroma white mask tercium hidungnya.

Melihat Kartika yang bermanja seperti itu membuat Leo kembali ke masa itu, dimana ia terkadang membangunkan Kartika yang selalu tertidur di kasurnya saat akan membangunkannya. Senyuman mulai mengembanh di wajahnya. Leo mencangkup wajah Kartika dan mendekatkan padanya. Ia menyentuhkan bibirnya kembali kepada Kartika yang masih terpejam.

Kecupan hangat dan dalam berhasil mengembalikan kesadaran Kartika. Ia segera membuka matanya lebat dan mendapati wajah Leo dengan mata terpejam di depannya. Ia pun segera mendorong tubuh Leo menjauh darinya. Kartika segera bangkit dari tidurnya dan mengusap bibirnya dengan punggung tangannya.

"Kamu ingin mandi sendiri atau aku memandikanmu?" tanya Leo setelah turun dari kasur dan membenahi dasinya yang sempat tertarik oleh Kartika. Leo menunjukan senyuman jahilnya ketika melihat Kartika melotot kaget tak percaya, "aku akan dengan senang hati untuk memandikanmu" lanjutnya sambil mengamati tubuh Kartika.

Merasa diperhatikan, Kartika segera memeluk tubuhnya sendiri seakan menutupinya dari pandangan Leo. Leo hanya bisa tertawa singkat melihatnya.

"Mandilah. Aku tunggu di bawah. Pakaianmu sudah aku masukan ke dalam lemari." Leo pun berjalan keluar kamar memberi Kartika waktu untuk sendiri.

Sepeninggalan Leo, Kartika kembali menenggelamkan wajahnya di atas bantalnya sendiri. Ia mengutuki dirinya sendiri yang memluk erat tubuh Leo barusan dan menganggapnya sebagai kak Surya yang membangunkannya dengan lembut di pagi jari.

"Kak Surya tak akan menciummu sedalam itu di pagi hari," bisik Kartika sambil memegang bibirnya sendiri yang masih terasa panas. Tidak ingin terhanyut terlalu lama, Kartika segera turun dari ranjang dan melesat ke kamar mandi di kamar tersebut.

Di lantai bawah, Leo menarik kursinya sambil membawa koran paginya di meja makan. Ia menyesap kopi hitamnya yang sudah tersedia di atas meja sambil menunggu Kartika turun untuk menemaninya makan. Ia membaca korannya, membuka setiap halaman sambil sesekali melirik ke jam tangan yang sudah melingkar di tangan kirinya. Sudah dua puluh menit berlalu, Kartika tak kunjung keluar dari kamar. Seingatnya Kartika tidak pernah lama saat membersihkan diri, malah ia lebih cepat dari pada dirinya. Khawatir akan Kartika, Leo menutup korannya dan hendak berdiri dari tempatnya. Di saat yang sama pintu kamar di atas terbuka. Kartika keluar kamar menggenakan blus berwarna peach dan rok panjang di bawah lutut berwarna merah tua dengan rambutnya yang ia biarkan terurai.

Mata Leo tidak pernah lepas dari Kartika yang menuruni tangga dengan waspada akan tatapan Leo padanya. Ia berhenti tepat di ujung meja makan menunggu siapapun di ruangan itu dimana terdapat Leo yang berdiri mengamatinya dan seorang perempuan tua di dapur terbuka.

"Mau kemana kamu menggenakan pakaian itu?" tanya Leo dengan penampilan Kartika seakan hendak pergi bekerja.

"Te… tentu saja aku akan bekerja. Aku sudah dua hari tidak masuk kerja. Jika di teruskan mereka akan memecatku."

"Apa kamu lupa kalau perusahaan tempatmu bekerja adalah milikku? Lagipula aku tidak mengijinkanmu untuk bekerja." Leo berjalan mendekat ke arah Kartika dengan perlahan.

"A… aku tidak perlu izinmu." Kartika menjawab sambil berjalan mundur menjauh mengikuti setiap langkah Leo yang mendekatinya.

"Tentu saja kamu perlu izinku." Leo mengulurkan tangannya yang panjang, meraih pinggul belakang Kartika dan menariknya mendekat ke arahnya, "kamu istriku dan aku tidak mengizinkanmu bekerja sama sekali, sayang. Jika kamu perlu uang aku bisa memberikannya untukmu" Leo mengusap kepala Kartika.

"Aku tidak perlu uang!" jawab Kartika tegas, "aku bekerja untuk diriku sendiri, masa depanku, karirku dan mimpiku."

Leo tertegun dengan jawaban Kartika. Perkatannya sama persis denga Olivia yang dulu ia ejek karena bekerja padahal keluarga memiliki cukup materi untuk di nikmati. Ia rasa Kartika akan menjadi sahabat karib jika di pertemukan dengan wanita keras kepala satu itu.

"Kamu boleh bekerja jika ada di dekatku."

"Aku tidak ingin bekerja di dekatmu." Kartika membalas ucapan Leo dengan wajah menantang. Melihat keberanian istrinya, Leo hanya bisa menyeringai karena ia kembali menemukan kembali warna hidup yang sempat menghilang.

"Jika kamu menolakku, aku akan mengurungmu di dalam kamar bagai burung dalam sangkar," bisik Leo tepat di depan lubang telinga Kartika dan berhasil membuat tubuhnya tegang dengan mata terbelalak.

Leo melepaskan cengkraman pada tubuh Kartika dan menarik lembut tangannya sehingga ia berjalan mengikutinya, "sebelum kita bekerja lebih baik kita mengisi perut kita terlebih dahulu." Leo menarik kursi di depan kursinya dan menuruh Kartika duduk.

"Bi Sumi sudah susah payah menyiapkan sarapan kita, harusnya kita menghargai dengan menghabiskannya. Seperti kata kakek Jono," ujar Leo setelah kembali duduk di kursinya.

"Jangan meniru ucapan kakek Jono kepadaku, dasar penipu!" Kartika membalas tidak terima saat diingatkan akan kakeknya yang begitu baik padanya. Pria di depannya benar-benar Surya yang dikenalnya, namun pikirannya masih berat menerima kebenaran di depannya. Kak Suryanya adalah Leonardo Kandou, pria muda terkaya dengan hobi bermain wanita dan menikahinya karena sudah membelinya.

"Jika kamu membutuhkan sesuatu kamu bisa minta langsung ke bi Sumi, ia selalu datang kesini dua hari sekali. Juga kalau ingin pergi kemanapun kamu bisa bilang kepadaku atau Fajri. Ia sudah kuperintahkan untuk menjagamu," jelas Leo setelah menelan makanan di mulutnya.

"Aku tidak perlu dijaga!"

"Tentu saja, sayang. Kamu sekarang adalah istriku, nyonya Leonardo Kandou, semua keluarga Kandou memiliki penjaga di sekitarnya. Banyak orang diluaran sana yang selalu berusaha menghancurkan kita, jadi kita harus selalu waspada apapun yang terjadi."

Kartika hanya bisa mendengus tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia tidak pernah meminta untuk menikahinya dan menjadikannya istri Leonardo Kandou. Ia tidak pernah membayangkan hidup dengan diikuti orang lain di belakangnya. Ia menginginkan kehidupannya, dimana tak ada yang sadar akan kehadirannya dan tak perlu merasa waspada seperti yang dikatakan Leo.

"Cepat makan makananmu atau perlu aku menyuapimu dengan bibirku."

Tidak ingin membayangkannya, Kartika pun segera melahap makanan di depannya tanpa mau memandang proa di depannya yang tertawa melihatnya makan dengan lahap.

"Apa maksudmu dengan mengajukan sekertaris pribadi?" tanya Olivia yang langsung masuk ke dalam ruangan Leo yang terbuka setengah tanpa mengetuk.

"Tidak ada maksud apapun. Rekka akan mengajukan cuti dan aku perlu seseorang untuk membantuku bekerja, bukan?" jawab Leo yang menyerahkan dokumen ke Rekka yang berdiri di balik mejanya.

"Kamu mau cuti?" tanya Olivia pada Rekka saat ia berdiri di sampingnya.

"Aku sudah memberinya izin cuti, karena kemarin aku mengambil jatah cutinya untuk menemaniku ke Makassar." Leo menjawab cepat sebelum Rekka mengeluarkan suara. Olivia menaruh kedua tangannya di lengan dan menatap tajam ke arah Leo.

"Tapi kamu tidak bisa seenaknya meminta sekertaris hari ini, apalagi orang yang kamu ajukan adalah orang baru di sana. Jika ingin mengajukkan pun aku menyarankan Desi yang sudah lama bekerja disini dan pengalaman."

"Pengalaman apanya? Dia selama rapat tidak pernah mencatat apapun, ia mengandalkan rekaman suara yang diambilnya, ia tidak pernah fokus, selalu menatapku dan membuatku risih." Leo mulai meninggikan suara ketika mengingat prilaki Desi selama rapat berlangsung dan membuatnya benar-benar tak fokus akan pandangannya yang begitu menganggu.

"Oke jika kamu tidak ingin Desi, masih ada yang lain. Kenapa harus Kartika? Dia masih magang disini. Apa karena kamu punya hubungan khusus dengannya?" Olivia melihat penuh selidik kepada Leo yang bersandar pada kursi hitam kulitnya yang besar.

"Apa maksudmu? Aku tidak ada hubungan apapun dengannya?" Leo menaikan sebelah alisnya tidak paham apa maksudnya.

"Really?! I saw you making-out with her in party."

'Shit!' Leo memaki dalam pikirannya. Sepertinya ia tidak bisa banyak mengelak dengan wanita kritis di hadapannya.

"Fine. I want her. Aku ingin dia bekerja di sekitarku, dekatku, sehingga aku bisa mengawasinya." Leo mengalihkan matanya dari Olivia sambil membuang pena yang tadi di pegangnya di atas meja.

"Jadi sekarang Kartika mainan barumu?"

"Hell no!" Dia istriku, batinnya melanjutkan, "dia bukan mainan. Sudah lakukan saja permintaanku."

"Fine, dengan satu syarat jangan berbuat aneh-aneh dengannya saat jam kerja. Aku tidak mau ada gosip miring mengenai devisi yang aku pegang." Olivia menghela napas pasrah dengan menerima permintaan Leo. Sedangkan Leo hanya bisa mengangguk tanpa suara, ia tidak ingin menanggapi persyaratannya itu. Mana mungkin ia tidak berbuat sesuatu kepada istrinya sendiri, katena ia punya rencana sendiri kepada Kartika.

Kartika berdiri di depan mesin photocopy yang bekerja menggandakan kertas di balik kacanya. Ia terdiam menatap tembok memikirkan nasibnya nanti. Ia bingung apa yang akan ia lakukan setelah pulang kerja. Ia kembali ke tempat mewah itu atau ke kontrakannya bersama Crystal. Jika diingat kembali ia belum berbicara banyak kepada Crystal sejak kemarin karena pria itu langsung membawanya begitu saja. Kartika menghela napas panjang akan rasa lelah dalam kehidupannya.

"Jika kamu menghela napas seperti itu, kebahagiaanmu akan berkurang satu," ucapan wanita di belakang berhasil membuat Kartika menoleh ke sumber suara yang tak lain Crystal berdiri di ambang pintu.

"Tanpa menghela napas pun kebahagiaanku sudah berkurang," balas Kartika dengan memasang muka memelas. Crystal yang mengetahui apa yang terjadi berjalan mendekat dan langsung memeluknya.

"Kamu baik-baik saja kan disana?" tanya Crystal yang dijawab anggukan yang ia rasakam di bahunya tempat Kartika meletakan dagunya, "maafkan aku, Kartika. Aku tidak tahu jadinya akan seperti ini."

Kartika melepaskan pelukannya dan menatap lurus mata Crystal, "ini bulan salahmu, kamu hanya ingin menyelamatkanku dari kak Nathan. Kamu juga tidak bisa menerka apa yang terjadi." Kartika memberi senyum terbaiknya untuk memberitahukan bahwa dia baik-baik saja dan tidak ingin membuat sahabatnya khawatir lebih dari ini. Karena setelah pernikahan itu, Crystal tak ada hentinya meminta maaf.

"Tapi aku seharusnya tidak meminta bantuannya. Aku begitu kalut saat itu, apalagi Rekka tidak bisa dihubungi. Aku kira dia satu-satunya jalan. Aku telah berbuat salah besar."

"Tidak, Crys. Keputusanmu sudah benar. Karena dirimu aku bertemu kembali dengannya, meski seharusnya pertemuan kami tidak seperti ini dan dia tidak seharusnya menawarku seperti itu kepada bibiku." Kartika menepuk pelan kedua pundak Crystal masih dengan senyum di wajahnya.

Jika Crystal tidak meminta bantuannya mungkin selamanya aku tidak bisa bertemu kembali dengan kak Surya. Pantas tubuhku tidak merespon berlebihan akan dirinya, karena tubuhku sendiri mengenal baik sentuhanya yang selalu aku inginkan. Kartika mulai mengakui kebenaran di depannya dengan berat hati.

"Dia memperlalukannu dengan baik bukan?"

Pertanyaan Crystal kali ini membuat pikirannya kembali ke tadi pagi dimana ia menikmati sentuhannya, ciumannya dan pelukan hangatnya. Wajah merona pada Kartika menjawab pertanyaan Crystal. Crustal pun mendekat ke Kartika, mendekatkan mulutnya ke depan telinga Kartika dan telapaknya seakan ia berbisik.

"Jadi, bagaimana malam pertamamu dengannya? Apa dia hebat seperti gosipnya?" tanya Crystal sambil melayangkan senyuman nakalnya.

"Kami tidak melakukannya!" Kartika memukul pelan lengan Crystal di sampingnya, "aku tidak akan membiarkan dia menyentuh sampai seperti itu. Tidak sampai aku yakin dengan dirinya."

Sampai aku yakin benar dia kak Suryaku, lanjut Kartika dalam diamnya.

"Kamu masih takut?" tanya crystal khawatir.

'Tidak.' Kartika mengangguk pelan.

"Tenanglah semua akan baik-baik saja. Kurasa ia terlihat begitu menyukaimu." Kartika memiringkan kepalanya tidak dapat merespon maksud Crystal tentang siapa yang menyukainya, "suamimu. Pancaran matanya terlihat begitu sayang padamu."

"Tidak mungkin. Dia…"

"Kartika! Di tunggu ibu Olivia di ruanganya," ujar Dewi salah satu rekan kerjanya yang tiba-tiba muncul memotong ucapannya.

Kartika pun mengurungkan melanjutkan kalimatnya, merapikan kertas yang ia gandakan dan pergi keluar ruangan bersama Crystal di sampingnya.

"Rekka? Kenapa kamu disini?" tanya Crystal saat mendapati Rekka berdiri di sekitar ruangan devisi kesekertariatan.

"Aku duluan." Kartika berpamitan dan masuk ke dalam ruangannya.

"Aku menjemput Kartika. Dia di pindah tugaskan menjadi sekertaris pribadi," jawab Rekka saat Crystal sudah berdiri dihadapannya.

"Tunggu! Jangan bilang pak Leo."

Rekka mengangguk pelan dengan muka datar seperti biasa.

"Astaga, dia benar-benar tidak melepaskan Kartika meski mereka sudah menikah."

"Apa maksudmu menikah?" tanya Rekka yang tidak mengerti ucapan Crystal.

"Kamu belum tahu? Dia belum memberitahumu? Kukira dia sudah memberitahumu saat di Makassar, karena dia melarangku memberitahumu." Crystal menutup mulutnya merasa kelepasan berbicara.

"Bisa kamu jelaskan maksud perkataanmu? Siapa menikah dengan siapa?" Rekka mencengkram pundak Crystal sehingga tubuhnya mendekat dan mata mereka saling bertemu.

"Maaf."

"Jangan minta maaf, cepat beritahu aku Crystal?" ucap Rekka dengan nada memohon. Crystal mengambil napas pendek dan melepaskannya perlahan.

"Kartika dan pak Leo sudah menikah sabtu kemarin."

"Siapa saja yang mengetahui hal ini?" tanyanya penasaran, jika ia tidak tahu mengenai hal ini pasti tidak banyak orang yang tahu. Leo benar-benar melakukan kenekatan.

"Tidak banyak. Hanya keluarga Kartika, aku dan kakakmu, kak Fajri." Crystal menjawabnya dengan pelan.

"Sial!" Rekka mulai memaki dan membuat Crystal kaget, karena ini pertama kalinya ia mendengar makian dari mulut Rekka.

"Mau kemana?" cegah Crystal saat Rekka hendak berbalik, "maaf ini salahku, aku ingin menghentikan pernikahan Kartika dengan sepupunya tapi aku tidak tahu harus meminta tolong siapa, aku pun menemui pak Leo dan semua terjadi begitu saja. Aku minta maaf." Crystal memasang muka berasalah.

"Ini bukan salahmu. Tenanglah, aku akan mencoba berbicara dengan Kak Fajri dan Leo." Reka memeluk tubuh Crystal dan mengusap pelan punggungnya, "jangan salahkan dirimu." Rekka mengecup singkat dahi Crystal dan berbalik pergi setelahnya untuk menemui kakaknya yang tidak mengatakan apapun bahkan saat di rumah tadi pagi. Ia butuh penjelasan.

"Apa maksud ibu memindahkan saya menjadi sekertaris pribadi? Bukankah saya masih terlalu dini untuk itu?" tanya Kartika tidak percaya dengan yang barusan ia dengar dari mulut Olivia, dimana ia dipindahkan ke lantai teratas untuk menjadi sekertaris pribadi pimpinan tertinggi.

"Tidak ada maksud apapun. Ini sudah keputusan dari atasan dan tidak bisa diganggu gugat. Kalau pun ada alasan sendiri harusnya kamu lebih tahu bukan?" Olivia bertanya balik kepada Kartika. Kartika hanya bisa terdiam di tempatnya tanpa bisa menjawab. Dia memang tahu pasti alasannya, karena jelas tadi pagi Leo memberitahunya bahwa Leo mengizinkannya bekerja jika ia ada di dekatnya.

"Cepat rapikan barang-barangmu. Aku akan mengantarmu langsung kesana," ujar Olivia setelah mendesah pendek sambil menekan pelipisnya. Ia tahu pemindahan ini begitu menyalahi aturan, tapi ia juga tidak bisa berbut banyak jika itu perintah langsung dari lelaki egois itu.

Olivia menatap kepergian Kartika dari ruangannya dengan perasaan iba karena ia harus berurusan dengan Leo, pria ter-egois dan keras kepala yang pernah Olivia temui dalam hidupnya.

Kartika dengan berat memasukkan semua barangnya kedalam kardus. Ia memang memimpikan menjadi sekertaris pribadi dan mengatur jadwal atasan, tapi tidak seperti ini. Terlalu cepat. Bahkan rekan sekitarnya yang mengetahui kepindahannya mulai membicarakannya. Dalam sekejap ia menjadi pusat perhatian dan ia begitu membencinya. Kartika berusaha membesarkan hatinya dan menutup telinga rapat akan omongan yang mulai tidak menyenangkan. Ia benar-benar ingin menggali lubang sedalam-dalamnya dan sembunyi disana sampai semua bisik buruk disekitarnya menghilang.

Setelah berhasil mengumpulkan barangnya, Kartika dengan gontai berjalan mengikuti Olivia dari belakang dan mendengarkan semua perkatannya akan tugas-tugasnya diantara lain; memeriksa dan mengingatkan jadwal atasan, mencatat semua janji baik maupun lisan dan telepon, membuatkan minuman, menyapa tamu dan sebagainya. Ia hanya bisa mengangguk pelan mendengarkannya. Sesampainya di lantai atas, Olivia mengarahkannya pada meja kerja barunya yang berada di samping pintu besar ruangan Leo. Setelah meletakan barangnya ia ikut Olivia masuk ke dalam ruangan untuk bertemu langsung dengan atasannya untuk memberi sapa sebagai formalitas.

"Kartika beri salam kepada pak Leonardo Kandou," ucap Olivia. Kartika pun melakukan perintahnya dengan membungkuk sedikit dan meraih tangan Leo yang terulur untuk berjabaat tangan.

"Akhirnya kamu datang juga, aku sudah menantikan kedatanganmu," ujarnya dengan seringaian di sudut bibirnya. Kartika hanya mengangguk pelan sambil berusaha melepas genggaman tangan itu yang semakin erat.

"Baik, kembali ke mejamu dan segera mulai bekerja." Olivia melepaskan jabatan mereka dengan paksa. Kartika pun segera pergi meninggalkan ruangan meninggalkan Olivia dan Leo sendirian.

"Seperti yang aku katakan sebelumnya, jangan berbuat aneh-aneh padanya saat jam kerja."

"Tenang saja. Aku orang yang profesional. Aku tak akan menyentuhnya saat jam kerja saja." Leo pun kembali ke tempat duduknya tanpa memperdulikan decakan yang terdengar dari mulut Olivia. Merasa kesal, Olivia pun segera pergi meninggalkan ruangan Leo.

Kartika duduk dengan lesu di meja kerjanya yang baru, setelah kepergian Olivia. Dia mulai menata semua barangnya di atas meja sambil sesekali menghela napas pendek. barangnya tidak terlalu banyak, hanya butuh beberapa menit untuk menatanya. Ia kembali duduk di mejanya tanpa tahu apa yang harus ia lakukan, karena Olivia bilang nanti Rekka akan memberitahukan tugasnya, tapi sampai sekarang Rekka belum menemuinya dan memberikan tugas. Ia melirik ke kaca buram sampingnya dan tampak siluet Leo yang sepertinya sedang duduk di meja kerjanya.

"Kartika!" sapaan Rekka yang tiba-tiba datang berhasil membuat Kartika terperanjat hingga secara refleks ia berdiri dari tempat duduknya. Ia menatap Rekka sejenak dengan ekspresi iba, namun ia segera mengalihkan pandangannya ke meja.

"Aku sudah dengar semua yang terjadi dari Crystal dan kak Fajri," lanjutnya. Kartika masih diam di tempatnya tanpa menatap karena gugup dan rasa canggung yang langsung muncul di dirinya. Ia benar-benar tidak bisa dekat dengan laki-laki lain.

"Jika kamu keberatan dengan pemindahan tugas ini, kamu bisa menolaknya," tawar Rekka, karena ia tahu keputusan Leo ini semata-mata hanya ingin mengikat Kartika dengan dirinya, setelah ia mendengar semua cerita kakaknya, Fajri.

Kartika hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil meremas rok merah tua yang ia kenakan saat ini.

"Apa kamu yakin?" tanyanya khawatir, karena saat ini gelagat Kartika menunjukan hal sebaliknya. Ia terlihat begitu pasrah.

Kartika mendesah pelan, mengangkat kepalanya dan memberikan senyuman sebisanya, "Aku baik-baik saja. Apa tugasku disini?" tanyanya yang berusaha tegar akan semua yang ia alami. Takdirnya yang berjalan begitu cepat, bahkan terlalu cepat untuk bisa ia pikirkan.

"Baiklah. Tugasmu tak banyak. Kamu hanya membantu meringankan pekerjaan gandaku sebagai asisten dan sekertarisnya. Namun sekarang aku memberikan tugas sekertaris sepenuhnya padamu," kata Rekka. Kartika pun mengangguk dan mengambil buku catatannya untuk mencatat semua tugas barunya.

Di dalam ruangan lain, Leo menampakkan senyuman lebarnya, saat ia bisa mengawasi setiap gerak gerik Kartika dari tempatnya yang hanya terpisahkan kaca besar yang sedikit buram.

'Aku tidak akan membuatmu lepas dari pandanganku, sayang!'