"Good Morning," sapaku kepada para investor muda yang memasuki restoran hotel bersama Rekka dan Alex. Aku menaikan sebelah alisku melihat Alex bersama mereka sesaat, tapi segera kuhilangkan ekspresi terkejutku dan menghampiri para investor dan menjabat tangan mereka.
"Maaf sebelumnya karena tidak bisa hadir pada pertemuan kemarin," kataku sambil menunjukan senyuman bisnis kepada mereka.
"Tak perlu khawatir pak Leonardo, pak Rekka sudah menjelaskan kepada kami akan keadaan pak Leonardo yang tidak bisa menghadirinya."
"Jika bapak tidak keberatan panggil saja Leo dan makan pagi ini saya yang akan membayarnya sebagai ucapan maaf saya," rayuku kepada mereka.
"Bapak-bapak tenang saja, pak Leo akan menjamu semua kebutuhan bapak selama disini. manfaatkan dengan baik." Alex pun menambahi dengan senyuman khasnya dalam membujuk orang. Aku disisi lain hanya bisa tersenyum dan mengangguk seakan setuju dengan ucapannya yang sebenarnya aku tidak tahu menahu.
Aku pun mengikuti alur kebersamaan dan pembicaraan mereka sebisa mungkin dengan informasi singkat yang aku dapatkan dari Rekka. Makan pagi pun berlanjut hingga makan siang dengan menikmati permainan golf di lapangan luas yang biasa kita gunakan. Sebagai informasi 30 persen saham kepemilikan adalah milikku, jadi aku masih bebas mempergunakannya. Setelah para investor kembali ke ruangan masing-masing, dengan sigap aku langsung menyeret Alex yang muncul tanpa di undang ke ruangan pribadiku.
"Bisa kamu jelaskan padaku kenapa kamu kemari?" Aku menatapnya dengan tatapan tajam.
"Apa Rekka tidak memberitahumu? Aku kemari karena mencarimu."
"Memang ada masalah apa kamu mencariku sampai datang kesini?" tanyaku sambil melepaskan cengkramanku pada kerah bajunya.
"Sekali-kali menghampirimu tak ada salahnya, lagi pula kehadiranku tidak merugikanmu, malah menguntungkanmu. Aku juga sudah menyiapkan wanita pesanan para investormu untuk menghibur selama berada disini." Alex memperbaiki pakaiannya dengan sesekali menampilkan wajahnya yang sombong seakan telah berjasa besar.
"Cih… Sejak kapan kamu menjadi mucikari?" ejekku sambil mengambil botol bir dan membukanya yang tersedia di meja.
"Sejak kebutuhan seksualmu yang tak terbendungi selama delapan tahun ini," jawabnya sambil mengambil botol yang baru aku buka dari tanganku dan duduk sembari menyilangkan kakinya di sofa.
"Jangan jadikan aku sebagai alasanmu sendiri," dengusku kesal yang kembali membuka botol bir pada gelas kosong satunya untuk diriku sendiri dan duduk berhadapan dengannya.
"Hahaha … aku juga sudah menyiapkan satu untukmu dan diriku, kamu masih berminat? Jika tidak aku bisa menggunakan mereka sekaligus," tawarnya, aku pun hanya bisa mendesis mendengarnya.
"Bagaimana dengan wanita incaranmu di pesta kemarin?"
"Parah." Alex menghabiskan minumannya dan menaruh di atas meja kaca di depannya, "Wanita itu posesif tingkat dewa, hanya tidur sekali dia sudah main membuka ponselku dan menghapus nomor wanita langgananku seenaknya. Tentu saja aku campakan dia begitu saja di hotel. Tidak ada ikatan sudah sebegitu posesif."
Aku hanya diam mendengarkan keluhannya. Ingatanku mulai menerawang kejadian kemarin, dimana Chika menolakku mentah-mentah untuk menyentuhnya. Meski saat ini ia menjadi milikku, tapi tetap saja aku tidak bisa menyentuhnya saat tatapan mata itu menusuk pandanganku.
"Bagaimana? Kamu butuh hiburan?"
"Bawa kemari," jawabku tanpa menatapnya. Bayangan wajah Chika masih membekas jelas dalam pikiranku. Aku mulai menghabiskan minumanku, sedangkan Alex sudah melesat keluar ruangan dan meninggalkanku sendiri.
------------Flashback…
Aku berdiri diam menatap sekelilingku di depan daun pintu yang telah aku tutup rapat. Disetiap dinding terpasang kain satin berwarna pink membuatku pusing. Aku melepas jas hitam yang kukenakan yang tentu saja terasa tidak nyaman dengan jahitan kasar di setiap sudutnya. Aku berjalan mendekat ke ranjang yang juga tidak lepas dengan hiasan yang kampungan.
Sialan, kalau bukan karena pak Aditya memohon untuk menghabiskan waktunya terakhir kali dengan Chika karena mereka menyetujui persyaratanku, aku tidak akan mau berada di tempat mengerikan seperti ini.
"Penipu. Kamu tidak lebih dari penipu. Kamu bukan kak Surya,"gumaman Chika terdengar begitu pilu. Aku berjalan mendekat ke arahnya yang sedang duduk di atas ranjang masih menggenakan kebaya gold dengan model dada agak terbuka dan pundaknya sedikit terlihat. Cantik.
"Jangan mendekat!" Chika mulai meninggikan suara dengan menatap tajam seakan melotot ke arahku. Aku pun terdiam di tempatku sambil menatapnya tanpa ekspresi.
"Mau kamu bilang aku penipu atau apapun aku adalah Surya."
"Tidak mungkin! Kak Surya tidak akan melakukan hal hina sepertimu, seperti membeli kehidupan seseorang dan mempermainkan sebuah pernikahan," jawabnya dengan tatapan kesal dan air mata mulai terbendung di kedua matanya.
Tidak tahan dengan pandangannya, aku meremas kedua pundaknya mendekat kepadaku sehingga mau tidak mau, ia berdiri dari tempatnya dan mendongakkan kepala menatap langsung mataku. Matanya yang terlihat ketakutan dan berair. Aku tidak suka dengan tatapannya itu.
"Aku tidak peduli dengan perkataanmu tadi." Aku memberinya tatapan tajam seketika karena amarah dan rasa aneh dalam diriku yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, "Aku kemari untuk menyelamatkanmu agar tidak menikah dengan lelaki berengsek yang telah menyakitimu dan orang-orang sekitarmu yang dengan senang hati menjualmu padaku."
"Kamu menyelamatkanku? Jangan bercanda, kamu membeliku dan apa bedanya mereka dengan dirimu."
'Beda. Aku berbeda dengan mereka Chika! Aku tidak akan pernah menyakitimu.'
"Lepaskan aku!" Chika mendorongku menjauh dari dirinya dengan memberikan tatapan yang kubenci. Tatapan yang tidak pernah aku harapkan muncul dari dirinya. Tatapan ketakutan dan jijik begitu tersirat dari matanya.
Aku tidak suka. Aku begitu tidak suka dengan sikapnya seperti itu. Aku pun langsung mendorongnya hingga tubuhnya terjatuh di atas ranjang dengan terlentang. Aku naik ke atas ranjang dan berada tepat di atasnya, tubuhnya mulai gemetar.
"Ap-…Apa yang mau kamu la-"
Tanpa mendengarkan perkatannya aku menekankan bibirku padanya yang setengah terbuka, sehingga suaranya tenggelam dalam ciumanku. Ia mencoba memberontak dengan mendorong tubuhku, aku pun memegang kedua tangannya dan kuletakan diantara tubuhnya. Bibirnya terasa basah, rasa manisnya bercampur dengan rasa asin dari air matanya yang turun. Ia berusaha lepas dariku namun aku tidak akan pernah membiarkannya. Aku terus menciumi bibirnya, dagunya dan lehernya.
"Ahhh…" lenguhannya terdengar bersamaan dengan tangannya yang berhenti memberontak pada genggamanku. Aku melepaskan kecupannku setelah memberikan tandaku di lehernya dan menatap nya yang tengah berusaha mengambil napas.
"Meski kamu menolak, tapi tubuhmu tidak pernah menolakku, Chika." Aku pun menunjukan seringai di sudut mulutku sambil melihat wajahnya yang terlihat kesal. Aku lebih suka melihat wajah kesalnya dari pada wajah ketakutan dan jijik yang ia tunjukan sebelumnya.
Plak… sebuah tamparan mendarat tepat di pipiku, aku memegang pipiku yang terasa sedikit nyeri. Chika mencoba duduk sambil mengawasiku yang masih memegang pipiku.
"Aku membencimu … Aku membencimu … kamu bukan kak Surya, kamu penipu. Aku memben-"
Tidak tahan dengan ucapannya, aku pun meraih tengkuknya sehingga kepalanya mendekat kepadaku. Aku kembali menempelkan bibirku padanya untuk menutup mulutnya yang tidak ada hentinya mengucapkan kata-kata yang tidak ingin aku dengar dari mulut manisnya.
"Aku tidak peduli meski kamu membenciku ataupun menganggapku sebagai penipu, tapi kamu harus tahu aku bukan pendusta, aku menepati janjiku padamu, walaupun aku harus membelimu. Kamu sekarang menjadi milikku. Kamu istriku, Chika," ujarku setelah melepaskan bibirnya dariku.
"Jangan panggil aku Chika, penipu!" balasnya dengan mengusap bibirnya dengan punggung tangannya.
Aku hanya memberikan senyuman sinis padanya dan turun dari ranjang. Aku melepaskan dasi hitam yang kampungan ini dari kerah bajuku dan menatapnya kembali sejenak.
"Bereskan semua barangmu, kita akan kembali malam ini."
"Apa maksudmu kembali?"
"Kita pulang ke Jakarta, aku tidak ingin berlama-lama di tempat jelek ini."
"Pulanglah sendiri. Aku tidak akan pulang denganmu."
"Bereskan semua barangmu atau kuseret dirimu dengan paksa?!" Aku memberikan tatapan kesalku padanya yang selalu membantah ucapanku, "kamu harus ingat, kamu sekarang milikku. Aku tunggu dalam waktu 30 menit, di depan. Aku akan meminta Crystal untuk membantumu." Aku berbalik memunggunginya.
"Ah, jangan pernah memerintahku. Aku akan selalu memanggilmu Chika. Karena kamu adalah Chika ku." Aku pun segera keluar dari ruangan kecil yang terasa begitu pengap, meninggalkannya duduk sendiri di tempatnya.
Sialan. Jangan membuatku menjadi lelaki berengsek saat bersamamu, Chika.
Flashback End--------------------
"Akkhhhh…" Sebuah teriakan yang melengking dan cengkraman kuat di pundakku berhasil membuyarkan semua bayangan di pikiranku. Wanita jalang di bawahku terus menggeliatkan tubunya ketika aku mempercepat gerakanku dengan memasukan juniorku ke dalam kewanitannya yang sudah basah dan memijat juniorku sehingga mempersempit ruang gerakku di dalam sana.
"Faster… Ah… Fast.." ucapnya di setiap desahannya. Aku meremas keras dadanya dan mempermainkan puncaknya dengan jariku yang berhasil membuatnya memajamkan mata menikmati askiku.
"Ja… ngan … memerintahku.. Bitch!" balasku yang semakin mempercepat gerakanku. Ia pun memaju mundurkan pinggulnya sehingga mempermudahkanku memasukkan juniorku kebagian terdalamnya. Ia menaikan dadanya keatas dan sedikit menegang, sebuah cairan keluar perlahan melalui kewanitannya dan membasahi juniorku yang masih di dalam. Dia mencapai klimaks, aku pun segera mempercepat gerakanku tanpa henti. Sebentar lagi, sebentar lagi aku mencapai pelepasan.
Tiba-tiba tangannya yang sedari tadi meremas sprei terangkat dan meraih tengkukku. Wajahnya semakin dekat. Sialan.
"Don't kiss me, Bitch!" kataku saat menyadari apa yang akan ia lakukan. Aku segera menutup mulutnya dengan tanganku sebelum dia berhasil menyentuh bibirku. Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku sehingga tersentak di atas ranjang.
Aku pun mengeluarkan juniorku dengan paksa, turun dari ranjang dan meraih boxerku yang sempat aku lempar begitu saja di atas lantai.
"Keluar dari sini," ujarku sambil memakai boxerku.
"Tapi, kamu belum-" mulutnya segera mengatup ketika aku menatap tajam padanya yang duduk di atas ranjang tanpa sehelai kain di tubuhnya.
"AKU BILANG KELUAR!" teriakku sambil menunjuk arah pintu keluar. Ia terperanjat dan segera mengambil pakaiannya. Dengan terburu-buru ia memakainya dan segera keluar ruangan tanpa melihatku.
Aku berjalan mengambil celana jeansku dan mengambil ponsel di kantong depannya.
"Carikan penerbangan malam ini. kita pulang hari ini," kataku ketika sambunganku tersambung. Aku pun melempar ponsellku di atas ranjang setelah memutus sambungan dan berjalan ke kamar mandi untuk menyalakan shower.
Wanita bodoh. kamu membuatku kehilangan minat.
ᴓ
"Jadi kapan kamu akan memberitahuku urusan pribadimu itu yang membuatku melakukan persentasi sendirian?" tanya Rekka tanpa melepas pandangannya di depan.
"Bukan masalah penting. Bisa kamu lebih cepat menyetirnya? Aku lelah." Aku menjawab pertanyaannya sambil memandang jalanan lewat jendela di sampingku. Aku benar-benar tidak ingin membicarakannya saat ini.
"Baiklah, untuk saat ini aku melepaskanmu, tapi kamu masih hutang penjelasan padaku," balasnya masih dengan wajah datarnya. Aku hanya bisa membalasnya dengan helaan napas. Saat ini aku tidak ingin banyak berbicara, aku sudah terlalu lelah dengan semua kejadian yang terjadi seminggu ini yang berhasil membuat perasaanku berubah-ubah seperti orang bodoh.
Malam ini bulan tampak begitu besar di atas sana tanpa bintang yang menemani, sedangkan jalanan begitu ramai dengan hiruk pikuk kendaraan yang melintas di atasnya tanpa peduli waktu yang telah larut. Butuh waktu satu jam untuk bisa sampai ke penthouseku. Aku segera turun dari mobil ketika kita sampai tepat di depan gedungku.
"Mau apa kamu?" tanyaku kepada Rekka yang ikut turun dari mobil.
"Mau mengantarmu sampai atas dan membawa tasmu," jawabnya sambil mengambil tasku yang ia letakan di kursi penumpang depan. Aku pun langsung meraih tasku sendiri dari tangannya.
"Tidak perlu. Aku bisa bawa sendiri. Pulanglah!" Aku berjalan meninggalkannya, memasuki gedung dan segera naik ketempatku.
Sepi. Penthouseku terasa begitu sepi, seakan tidak ada penghuni ketika aku memasukinya. Aku menyalakan saklar lampu semua ruangan di penthouseku dan mencari seseorang yang harusnya ada disini. Kosong. Tidak ada seorang pun di kamarku. Aku segera keluar kamar mencari ke seluruh ruangan sambil menghubungi seseorang.
"Dimana Chika?" tanyaku setelah sambungan tersambung.
"Saya mengantarnya sampai ke dalam, sesuai perintah," jawab
"Dia tidak ada disini!" ucapku setengah berteriak dan membuka semua pintu yang ada di tempatku.
Aku terdiam seketika, saat melihat orang yang aku cari sedang berbaring tenang di atas kasur sedang di kamar tamu. Aku segera memutus sambunganku dan berjalan mendekat kearah Chika. Aku duduk tepat di sampingnya sambil melihat wajahnya yang terlihat begitu damai. Aku membelai lembut rambut hitamnya, wajahnya sampai dagunya. Ia menggerakan kepalanya ke samping karena merasakan sentuhanku dan berhenti. Dengkuran halusnya mulai terdengar. Senyuman mulai mengembang di wajahku. Wanita ini benar-benar berhasil membuat perasaanku berubah-ubah.
Tidak ingin membangunkannya, aku mengangkat tubuhnya pelan-pelan ke arahku. Secara sadar atau tidak, tangannya bergerak ke leherku mencari pegangan dan mengalungkannya disana. Pandanganku tidak pernah lepas darinya saat memindahkan tubuhnya ke atas ranjangku yang lebih besar. Aku menaruhnya pelan-pelan disana dan membenahi helaian rambutnya yang sempat berantakan.
"Selamat tidur, Chika." Aku mencium lembut bibir manisnya dan mendekap tubuhnya ke dadaku setelah melepas semua pakaianku yang hanya menyisakan celana pendek. Aroma tubuhnya yang menyejukkan berhasil membuatku ikut terlelap dengannya.
ᴓ
Plakk… sebuah temparan di pagi hari berhasil membangunkanku. Aku mengerjapkan mataku masih dengan posisiku yang berbaring di ranjang.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa aku ada disini?" ucap Chika yang sudah duduk di sampingku sambil memeluk tubuhnya seakan ia ingin melindungi diri dariku. Aku melirik ke jam meja yang ada di atas nakas.
"Shit, Chika. Ini masih pagi," omelku saat jam menunjukkan pukul lima pagi.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa aku ada disini?" Ia mengulangi pertanyannya kembali. Aku hanya menghela napas pendek melihat ekspresinya seperti tikus kecil yang berhadapan dengan seekor kucing jantan.
"Tentu saja aku tidur, sayang." Aku menjawabnya dengan sebuah senyuman jail ketika melihat tatapan tajamnya yang penuh curiga. Aku menarik lengannya sehingga ia kembali berbaring tepat di depanku, "jangan lupa kamu sekarang adalah istriku. Jadi kamu harus menemaniku tidur."
Aku mengecup pelan bibir manisnya, seperti yang selalu aku impikan.
"Tidurlah lagi, masih terlalu awal untuk bangun. Aku baru pulang tengah malam, biarkan aku tidur satu jam lagi." Aku mendekap kembali tubuhnya dalam pelukanku sambil mencium puncak kepalanya dengan aroma tubuhnya yang selalu memabukkanku.