"Dengan satu syarat, kamu mengulangi perbuatanmu itu kepadaku sekarang. Memeluk dan menciumku." Satu syarat konyol yang meluncur dari mulut Leo berhasil membuat Kartika membeku. Otaknya bekerja begitu cepat untuk mengartikan maksud dari ucapannya sehingga membuatnya kelelahan dan terhenti seketika. Hanya sesaat. Kartika memandang Leo dengan tatapan seakan memintanya untuk berbohong. Cengiran yang ditunjukan Leo saat itu menyadarkannya, bahwa Leo tidak bercanda dengannya.
"Jika kamu tidak mengingatnya, aku bisa membantu mengingat bagaimana caramu memelukku," lanjut Leo yang langsung memeluk tubuh kecil Kartika dalam dekapannya. Ia membeku di tempat, pikirannya seketika menampilkan kejadian menakutkan yang selalu membayanginya. Namun bayangan itu menghilang, ketika ia merasakan kehangatan tubuh Leo yang mendekap erat tubuhnya. Kartika bisa mencium aroma white musk dari tubuh Leo dan aroma rokok yang entah mengapa berhasil menyihir Kartika.
Leo melepas pelukannya dan menatap Kartika yang sedang mengedipkan matanya seakan berusaha lepas dari sihir yang diberikan Leo pada tubuhnya. Leo menunjukan senyumnya sehingga tampak gigi putihnya yang datar, "dan bagaimana caramu menciumku," ucapnya yang langsung mencium singkat bibir Kartika dan menyisakan rasa hangat di seluruh tubuhnya. Mereka saling berpandangan sesaat, tapi Leo menempelkan bibir seksinya ke bibir Kartika kembali.
Jantung Kartika berdegup begitu kencang, bahkan ia khawatir Leo dapat mendengarnya. Tubuhnya terasa aneh, mereka bergerak dengan sendiri melupakan suara teriakan dalam pikiran Kartika yang meminta menjauh. Mata Kartika perlahan menutup. Ia terhanyut. Terhanyut dalam suasan yang diciptakan Leo. Terhanyut akan perlakuan lembut Leo kepada dirinya. Sampai tanpa ia sadari, tangannya mulai meraih tengkuk Leo, masuk menyusup ke rambutnya dan menekan kepalanya sehingga ciuman mereka terasa dalam.
Apa yang kau lakukan Kartika? Jangan terjebak! Semua lelaki itu berengsek! Suara di kepalanya mulai berteriak, sehingga membuatnya kesal. Ia pun melepaskan tautan Leo. Mereka saling menatap satu sama lain.
'Dia berbeda. Dia bukan lelaki berengsek seperti kak Nathan. Dia... Aku menginginkan pria ini.' Suara lain mulai terdengar, seakan ada pertarungan dalam pikiran Kartika. Ia ingin menjauh, tapi disisi lain ia menginginkan pria ini. Ada rasa aneh yang tercipta setiap kali ia bersama dengan pria ini. Rasa yang telah lama terpendam dalam dirinya. Rasa yang selalu ia nanti. Rasa Rindu.
Ketika sedang sibuk dengan suara dalam pikirannya, Leo kembali menautkan bibir mereka. Kartika sudah tidak peduli lagi kali ini. Ia menutup matanya. Ia menutup apapun sehingga ia tidak mendengarkan suara dalama pikirannya. Ia hanya tahu, bahwa ia menginginkan saat ini. Saat dimana ia merasa seperti wanita normal yang tidak bereaksi berlebihan saat di sentuh oleh orang.
Leo melepaskan ciuman mereka, Kartika membuka matanya kembali dan mencoba memperhatikan sekitarnya. Sekarang ia kembali lagi ke tempat ia terbangun, di kamar yang barusan ia tiduri namun bedanya saat ini Leo ada tepat di atasnya. Mereka saling menatap, Leo mendekatkan tangannya ke Kartika, membelai lembut dahinya, pipinya, bibirnya dan berhenti pada dagunya. Leo menaikan dagu Kartika sehingga ia agak mendongakan kepala, disaat yang sama Leo mengecup lembut bibir Kartika kembali dan mengecup kedua matanya bergantian.
Seakan mendapat dorongan aneh, Kartika melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Leo padanya. Ia meraba dahi Leo seakan ingin merasakan dan mengingat tekstur kulitnya, kedua alis tebalnya yang entah mengapa membuat Kartika merasa ada sesuatu. Seperti ia mengenal bentuk alisnya yang tebal.
"Kamu tidak berubah," kata Leo yang membuat pandangan Kartika beralih kedua matanya yang menatap lekat Kartika, "kamu selalu menyukai alis tebalku, Chika."
'Selalu? Selalu menyukai? Siapa kamu? Apa kamu?'
Sebelum pikiran Kartika mencari jawaban akan pertanyannya, Leo mendekatkan wajahnya dan mencium pipi kiri Kartika sehingga membuatnya tertegun dan pikirannya menjadi kosong seketika.
"Menginaplah, Chika."Suara beratnya yang dalam berhasil membuat kartika kehilangan semua akal sehatnya. Bahkan dia mengeluarkan suara aneh. Suara yang tidak pernah ia bayangkan ketika Leo mengecup lehernya di sekitar telinganya.
"Ahhh..."Seperti sengatan listrik, suara desahannya keluar begitu saja dan membuat tubuhnya terasa aneh.
"Jangan pergi dariku lagi, Chika." Kartika sudah tidak bisa berpikir apalagi mendengar kalimat terakhir Leo. Ia hanya tahu bahwa lagi-lagi bibir itu membuatnya semakin gila akal. Kartika membiarkannya menguasi bibirnya. Bahkan lidahnya yang menjelajahi mulutnya dibiarkan menari dalam rongga mulutnya.
Leo melepaskan ciuman panasnya saat Kartika mulai kehabisan napas. Ia berbaring di samping Kartika masih dengan senyumannya yang begitu lembut. Ia merasa mimpinya selama delapan tahun ini menjadi kenyataan. Mimpi, dimana ia tidur di atas kasurnya dan saling berhadapan dengan Chika nya atau Kartika. Ia mengusap lembut kepala Kartika dan mendekatkan pada dadanya. Ia memeluk tubuh Kartika dalam diam. Ia dapat merasakan debarannya dan debaran Kartika menyatu bagaikan sebuah melodi dalam kesunyian.
Pelukan hangat dan dalam yang diberikan Leo terasa begitu spesial saat ini. Kartika tidak ingin melepaskannya. Ia meraih punggung Leo dan menekannya sedikit sehingga tubuh mereka saling bersentuhan, hanya pakaian mereka saja yang memisahkan tanpa jarak sesenti pun. Mereka saling berpelukan satu sama lain, mencium aroma tubuh masing-masing dan terlelap dalam pelukan mereka satu sama lain.
ᴓ
Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin yang merapikan kemeja putihnya. Sesekali ia menyisir rambutnya dan menoleh kanan-kiri untuk memperhatikan penampilan sempurnanya. Leo berjalan menuju kasur besarnya, naik pada tepiannya, menyandarkan tubuhnya di samping menatap wanita yang begitu ia inginkan masih terlelap dalam tidurnya dengan pakaian lengkap semalam. Ia merasa bukan dirinya saat itu, dimana ia membiarkan seorang wanita tidur di sampingnya tanpa melakukan apapun. Saat itu ia terlalu lelah, tapi ia tidak ingin melepaskan wanita ini. ia hanya ingin wanita ini ada disisinya. Memeluknya semalam membuatnya serasa kembali ke masa lalu.
Suara napas Kartika yang teratur terdengar lembut di telinga Leo. Tanpa ingin membangunkannya Leo mengulurkan tangannya, mengusap lembut dahi Kartika, pipinya dan bibirnya. Bibir itu selalu membuatnya tidak berkutik. Ia mendekatkan kepalanya dan mengecup pelan bibir itu kembali. Saat ia meleaspakannya, Kartika mulai menggerakan kelopak matanya.
Perlahan Kartika mencoba membuka matanya dan mencoba beradaptasi dengan sinar mentari pagi yang menerobos masuk melalui jendela kaca. Ia mengerjapkan matanya cepat ketika melihat sosok yang ia kira mimpi semalam, menatapnya dengan menawarkan senyum manisnya kepada Kartika.
"Morning," sapaan pagi pria itu berhasil mengembalikan kesadaran Kartika. Dengan segera ia bangkit duduk dari tempatnya dan menatap sekelilingnya. Disaat yang sama Leo ikut bangkit, turun dari kasur dan berdiri melihat tingkah lucu Kartika.
"Mandilah, aku sudah siapkan pakaianmu, setelah sarapan aku akan mengantarkanmu pulang," ucapnya kepada Kartika. Setelahnya, ia pun berjalan keluar kamar memberikan privasi kepada Kartika, menuju arah dapur untuk membuat roti bakar dengan di beri selai stroberi kesukaan Kartika dan susu hangat rasa stroberi. Hari ini, bi Sumi tidak datang ketempatnya, ia akan datang besok karena jadwalnya memang dua hari sekali ke tempat Leo untuk membersihakn dan melengkapi keperluannya. Sisanya, Leo lakukannya sendiri dari masak, mencuci piringnya (jika tidak malas) dan membersihkan kamarnya sendiri (jika ia ingat). Untuk pakaian kartika, pagi-pagi sekali ia mengutus Fajri untuk mencarikannya pakaian sesuai ukuran tubuh Kartika yang ia dapatkan.
Sedangkan Kartika, masih duduk termenung di tempatnya setelah kepergian Leo. Ia mengingat kembali apa yang mereka lakukan semalam. Mereka tidak melakukan apapun tapi berciuman dan berpelukan seperti yang di ucapkan Leo padanya. Ciuman dan pelukannya terasa begitu aneh, aneh karena membuatnya menginginkannya dan merindukannya. Merindukan sesuatu yang sempat ia lupakan. Tapi apa?
"Bodoh Kartika. Apa yang akan kamu lakukan untuk menghadapinya habis ini?" makinya pada diri sendiri sambil menenggelamkan kepalanya pada bantal di sampingnya. White musk, aroma parfum Leo yang menempel pada batal yang barusan ia tiduri membuat Kartika semakin bingung dengan dirinya sendiri. Ia menyukainya. Ia menyukai harum parfumnya, ia menyukai sentuhannya, ia menyukai semua tentangnya.
'Aku menyukai Leo.'
"Tidak. Tidak mungkin!" Kartika mulai menyangkal suara dalam pikirannya. Tidak tahan akan semua itu, ia pun berlari kearah kamar mandi dan membersihkan dirinya seperti yang diperintahkan Leo.
"Kenapa aku mandi di tempatnya?"seakan sadar akan perbuatannya, Kartika segera menyelesaikan membersihkan tubuhnya dan mengeringkan tubuhnya. Ia meraih pakaiannya yang tadi ia letakan pada tempat kosong disamping wastafel. Saat akan menggenakannya ia teringat akan pakaian yang disiapkan Leo, ia dengan hati-hati keluar kamar mandi dengan menggenakan bathrope yang ia temukan pada lemari handuk di kamar mandi, secara cepat seperti maling ia menyabet kantong kertas di atas kursi pada kamar dan kembali ke kamar mandi.
Ia mengambil pakian yang ada di kantong itu, sebuah dress simple berumbai berwarna violet, terlihat indah. Ia melirik pakaiannya yang masih pada tempatnya di samping wastafel dan dress yang ia pegang.
'Apa aku harus memakai dress ini? atau bajuku sendiri?' Pikirannya mulai bertarung kembali mempertimbangkan pakaian yang akan ia kenakan. Dengan pertimbangan yang matang ia akhirnya memakai pakaian yang sudah disiapkan Leo, karena ia tidak mau dianggap tidak menghargai Leo yang sudah menyiapkan pakaian untuknya pagi-pagi.
Kartika pun turun ke lantai bawah setelah selesai membersihkan diri dengan pakaian yang diberikan Leo, sedangkan bajunya sendiri ia masukkan kedalam kantong kertas dan ikut ia bawa. Ia melihat Leo yang sudah duduk ditempat makan, membaca koran pagi dengan secangkir kopi didepannya. Menyadari keberadaan Kartika, Leo menutup korannya dan kembali memberikan senyumannya kepada Kartika yang berdiri diam di dekat meja makan.
"Duduklah, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Kamu masih suka stroberi bukan?" tanyanya sambil berdiri dari tempatnya, berjalan mendekat kearah Kartika dan menarikkan kursi di depan roti panggan dan segelas susu yang sudah tersaji. Dengan sedikit malu Kartika duduk di kursi itu.
"Dari mana kamu tahu aku suka stroberi?"tanyanya masih bingung akan Leo dimana sepertinya ia tahu banyak akan dirinya.
"Entahlah. Kenapa kamu tidak cari tahu sendiri?" Ia memberikan senyuman lagi namun kali ini senyuman jail yang terlihat menawan. Tanpa bertanya lebih banyak, Kartika segera menghabiskan sarapannya dan berharap pria ini segera mengantarkannya kembali. Ia tidak ingin lebih terhanyut dalam pesonanya. Ia benar-benar sudah merasa canggung pagi ini, ditambah kejadian tadi malam, dimana tanpa malu ia menerima begitu saja pelukan dan ciuman Leo kepadanya.
Leo juga merasakan kecanggungan diantara mereka sehingga ia hanya diam saja selama sarapan tanpa mengatakan apapun. Setelah melihat Kartika selesai dengan sarapannya, ia pun mengantarkan Kartika kembali ke rumahnya dengan menggenakan jas merah marun yang ia gantung pada sandaran kursi di sampingnya. Butuh waktu 20 menit mengantarkan kartika dari penthousenya ke rumahnya ketika jalanan pagi Jakarta yang masih sepi. Mobil merah leo terparkir tepat di depan rumah kontrakan Kartika.
"Aku turun dulu," ujar Kartika memecahkan keheningan diantara mereka sembari mencoba melepaskan sabuk pengamannya. Seakan tidak ingin melepaskannya, Leo memegang tangan Kartika di pengikat sabuk dengan tangan kananya, sehingga membuat Kartika menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain, diamana Kartika berdebar karena penasaran apa yang akan dilakukan Leo padanya, sedangkan Leo sedang bingung dengan apa yang akan di katakannya. Leo pun menghela napas pendek, mendekatkan kepalanya kepada Kartika dan mengecup singkat bibirnya.
"Jadilah kekasihku!" ujarnya dengan nada memerintah, setelah ia melepaskan kecupannya.
"Hah?" Kartika memandang kaget dengan apa yang terjadi dan yang ia dengar.
"Keluarlah, sepertinya Crystal sudah menuggumu." Leo melepaskan sabuk pengaman Kartika dan menatap ke arah luar jendela mobil, bayangan seseorang terlihat dari dalam rumah, yang tak lain Crystal. Kartika pun ikut menoleh kebelakang dan mendapati Crystal yang menyipitkan matanya seakan berusah melihat ke arah mereka melalui jendela depan rumahnya. Leo mendekatkan tubuhnya yang berhasil membuat Kartika bersandar agak menjauh. Leo membukakan pintunya dari dalam dan menawarkan senyum manisnya kearah Kartika. Bisa di tebak muka Kartika berubah merah seperti tomat. Menyadari akan hal itu, dengan cepat ia memalingkan wajahnya dan turun dari mobil Porsche carerra GT berwarna merah milik Leo. Sambil tetap berdiri dari tempatnya turun ia hanya bisa memandang mobil itu yang melaju kencang dan menghilang dari pandangan.
"Kartika." Suara serak yang dikenalnya terdengar dari belakang. Tubuh Kartika seketika terbujur kaku di tempat.
"Apa yang kamu lakukan disini?" Suara teriakan Crystal yang keluar dari dalam rumah sambil berlari terdengar begitu kencang. Crystal dengan cepat berdiri di samping Kartika yang masih diam di tempatnya.
"Aku hanya ingin bertemu dengan Kartika, aku tidak ada urusan denganmu,"ucap suara itu, yang tak lain Nathan. Crystal mendesis mendengar jawaban Nathan yang seakan mengejeknya. Secara pelan Kartika mencoba membalikan tubuhnya dengan sekuat tenaga.
"Hai." Sapa Nathan ketika mata mereka bertemu.
"Tidak usah sok baik. Lebih baik kamu pergi dari sini." Crystal saat ini berdiri tepat dihadapan Kartika, seakan ia tidak membiarkan Nathan melihat Kartika.
"Aku tidak sok baik. Aku kesini hanya ingin memberitahukan sesuatu kepada Kartika."
"Apa? Kamu bisa mengatakannya," tantang Crystal seakan ia tidak membiarkan Nathan berbicara dengan Kartika. Kartika hanya bisa diam memandang sahabatnya dengan muka kesal berhadapan dengan Nathan.
"Ayahmu." Nathan berusaha menatap mata Kartika di balik tubuh Crystal, "Ayahmu telah kembali."
Kalimat terakhir yang diucapkan Nathan berhasil mengembalikan seluruh kekuatan yang sempat hilang karena berada di dekat Nathan. Ia pun melangkah mendekat untuk menatap ekspresi wajah Nathan saat mengucapkannya.
"Apa itu benar?" tanya Kartika sedikit tidak percaya. Selama ini ia selalu berharap, berharap dan berharap kalau ayahnya akan kembali menjemputnya. Namun harapannya sudah hilang entah kemana, karena ayahnya yang selalu ia tunggu, ayahnya yang berjanji akan menjemputnya dari rumah kakek, ayahnya yang bilang akan melindunginya tidak pernah datang dan hadir dalam kehidupannya selama ini. Sampai ia tumbuh menjadi seorang wanita abnormal.
"Dia pasti berbohong." Crystal menatap curiga kearah Nathan, tidak terima dengan tatapan itu, Nathan menatap tajam kearah Crystal. Jika dilihat dari sudut pandang orang lain, mereka terlihat akan saling membunug satu sama lain melalui tatapan tajam dari kedua pihak.
"Aku tidak bohong. Ia kembali seminggu lalu." Nathan mengalihkan pandangannya kearah Kartika, berharap dia mempercayai ucapannya.
"Kenapa kamu tidak mengatakannya kepadaku saat kita bertemu terakhir kali?"
"Kalian sudah bertemu sebelumnya?" tanya Crystal yang tak percaya dengan apa yang diucapkan Kartika. Merasa bersalah, Kartika mengatakan kata maaf pada Crystal tanpa suara, tetapi bisa dipahami.
"Aku ingin mengatakannya, tapi kamu tidak membiarkan ku mengatakannya. Kamu pergi meninggalkanku begitu saja kemarin." Nathan coba menjelaskan dengan cepat sehingga ia kehabisan napas, "hari ini aku akan pulang, aku bermaksud mengajakmu. Apa kamu mau ikut denganku?"
Crystal segera menarik tangan Kartika sehingga ia melihatnya yang tengah menggeleng untuk mencegah Kartika. Kartika saat ini hanya diam. Ia ingin mempercayai ucapan Nathan. Ia ingin bertemu dengan ayahnya.
"Aku ikut denganmu," jawab Kartika dengan nada yakin. Ia pun segera masuk ke dalam kamar dan mengemas pakaian yang dapat ia gapai.
"Apa kamu gila? Kenapa kamu ikut dengannya? Bisa saja ia berbohong!" Crystal mencoba mencegahnya setelah berhasil mengejar Kartika di dalam kamarnya yang tengah sibuk berkemas.
"Bisa juga ia berkata jujur dan ayahku sudah kembali." Kartika menghentikan kegiatannya dan melihat Crystal dengan mata berkaca-kaca, "Kamu tahu aku benar-benar mengharapkannya kembali, aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin bertemu dengan ayah." Air mata selama delapan tahun terbendung mengalir begitu saja hari ini. Melihat kesedihan Kartika, Crystal hanya bisa memeluk tubuhnya yang mulai bergetar.
"Aku...ingin bertemu... dengan Ayah,"ulangnya lagi dalam isakan.
"Baiklah, temui ayahmu Kartika." Crystal melepas pelukannya dan melihat wajah Kartika yang sembab sambil menghapus air matanya, "Jika ada apa-apa kamu langsung menghubungiku, apapun yang terjadi. Aku akan menolongmu. Jika dia membohongimu, tendang kemaluannya dan lari yang kencang," pesan Crystal dengan candaan yang ia sisipkan. Mendengar perkataan sahabatnya Kartika mulai tersenyum dan memeluk kembali sahabatnya.
"Jangan lupa untuk menceritakan kepadaku semua dari awal," tambah Crystal setelah Kartika melepas pelukannya, "termasuk tadi malam kenapa kamu tidak pulang ke rumah?"
Kartika menelan ludahnya saat diingatkan mengenai kejadian semalam bersama Leo. Tidak bisa menemukan jawaban, Kartika hanya menganggukkan kepala agar sahabatnya puas.
ᴓ
Ia berjalan kesana dan kemari tiada henti pada ruang depan rumahnya sampai tidak terhitung. Sesaat ia menatap layar ponselnya yang tidak ada getaran maupun bunyi. Ia mulai gelisah. Sudah dua hari, dua hari mengantarkan sahabatnya untuk menemui ayah kandungnya sendiri dan tidak mendapatkan kabar sama sekali sampai sekarang. Berulang kali ia mencoba melakukan panggilan pada nomor ponsel sahabatnya, Kartika, tapi sampai sekarang tidak ada respon sama sekali. Crystal mencoba bersabar menunggu panggilan Kartika yang berjanji akan menghubunginya apapun yang terjadi. Kartika bilang ia akan segera meneghubunginya jika sudah sampai, tapi sudah lewat dua hari ia tidak mendapatkan kabar.
Ditambah ia perlu penjelasan Kartika akan hubungannya dengan sang raja, dimana dua hari ini Rekka secara tidak jelas menanyakan kabar Kartika. Ia tahu, yang bertanya akan keadaan Kartika sebenarnya sang raja yang terlalu pengecut bertanya, sehingga menyuruh Rekka bertanya kepadannya. Ia perlu menyidang Kartika jika bertemu. Banyak hal yang tidak ia ceritikan kepadanya.
Drrt...Drrt...ponselnya bergetar, belum salampai mengeluarkan suara ringtone, Crystal segera mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat nama yang muncul di layarnya.
"Halo Kartika?! Kenapa kamu baru menghubungi?"
Tidak ada suara.
"Kartika?"
"Sepertinya aku menghubungimu di saat yang tidak tepat yah? Kamu menunggu panggilan Kartika?" Suara tegas yang agak berat dari ponsel Crystal terdengar. Ia mengecek ponselnya dan ternyata nama Rekka muncul di ponselnya yang sedang tersambung.
"Maaf. Kamu tidak mengganggu. Ada apa?" tanya Crystal yang merasa bersalah karena salah mengenali orang.
"Tak apa. Aku hanya ingin mendengar suaramu sebelum aku take off sendirian malam ini."
"Sendirian? Bukannya kamu pergi bersama pak Leonardo?"
"Harusnya seperti itu, tapi ia ada urusan sehingga aku berangkat duluan untuk mengurus keperluannya disini. Besok, dia akan menyusulku."
"Urusan apa yang lebih penting dari proyek barunya itu yang membuatmu membatalkan janji kita?" tanya Crystal dengan nada kesal. Jujur saja ia sangat teramat maah kepada Rekka yang tiba-tiba membatalkan janji makan malam bersamanya malam ini, dimana ia sudah memesan tempa makan paling indah yang selalu ia inginkan. Kesempatan langkahnya menghilang begitu saja karena urusan pekerjaan yang mengharuskan Rekka terbang menemani sang raja ke Makassar. Tapi nyatanya, sang raja meninggalkan pangerannya sendiri untuk urusan mendadaknya.
"Kamu masih marah? Aku minta maaf, aku akan menggantinya saat tahun baru. Aku sudah berencana mengambil cuti dan Leo sudah menyetujuinya."
"Sudahlah. Memang urusan mendadak apa yang membuatmu pergi sendirian?" tanya Crystal yang tidak pernah bisa marah setiap kali mendengarkan permintaan maaf Rekka yang terdengar tulus di telinganya.
"Itu ... Ada pesta natal di Quarter Ent., Ia menjadi tamu terhormat disana."
"APAAA??! Kamu membatalkan janji kita untuk menemaninya mengurus pekerjaan dan sekarang ia meninggalkanmu untuk bersenang-senang sendiri?!" Crystal mulai menaikan nada bicaranya. Ia tidak habis pikir dengan presidirnya yang seenaknya membuat hubungannya dengan Rekka selalu berantakan.
"Maaf...Maaf Crystal, ak-..."
"Cukup! Tidak usah meminta maaf terus. Ini bukan salahmu, ini salah si boss gila itu. pergilah, hati-hati di jalan." Crystal memotong ucapan Rekka yang belum selesai, "Tahun Baru! Bagaimanapun juga kita harus pergi. Aku tidak mau ada pembatalan apapun," lanjut Crystal sebelum ia benar-benar mematikan sambungan.
Merasa Kesal, ia pun melempar begitu saja ponselnya di atas kursi dan ia menghempaskan badannya pada kursi panjang di ruangan tersebut. Hari ini terasa aneh, perasaannya terasa tak enak, meski kini ia tahu penyebabnya tapi perasaan ini masih menghinggapinya. Ada sesuatu yang terlupakan atau mungkin ada sesuatu yang akan terjadi. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri sambil memegang dadanya yang terasa sesak tanpa sebab.
Drrt...Drrt... suara ponselnya kembali bergetar, kali ini Crystal tak langsung mengangkatnya, ia menunggua suara deringnya berbunyi. Dengan malas ia meraih ponselnya dan sekarang melihat siapa yang menghubunginya. Ia tidak mau salah orang lagi.
+62 22 584xxxx, nomor tidak dikenal muncul di layar ponselnya. Ia mencoba berpikir kode area yang tertera disana. Bandung. Saat menyadari kode area yang dikenalnya, yang tak lain kota kelahirannya, Crystal langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Halo."
"Halo, Crystal... Kamu bisa dengar suaraku."suara seseorang terdengar berbisik disebrang sana, suara perempuan lebih tepatnya yang tak lain suara Kartika.
"Kartika? Aku dengar suaramu Kartika. Apa yang terjadi? Kenapa kamu baru menghubungiku? Kamu menghubungi dari telepon umum? Mana ponselmu? Apa ayahmu benar-benar kembali?"rasa kekhawatiran yang memuncak membuat Crystal mengeluarkan semua kegelisahan dan pertanyaan yang selama dua hari bersarang di otaknya.
"Satu-satu tanyanya. Aku tidak bisa menjawab semua."Kartika berhenti sejenak seakan mengambil napasnya, "Ayahku benar kembali. Ponselku diambil kak Nathan dan paling parah sabtu depan aku harus menikah dengan kak Nathan."
"APA?! MENIKAH! Apa yang terjadi?"
"Tidak tahu, aku tidak tahu apa yang terjadi. Ayah mengetahui perbuatan kak Nathan kepadaku. Ia meminta pertanggung jawaban padanya."
"Memang ia harus bertanggung jawab padamu atas semua yang ia lakukan."
"Aku tidak ingin pertanggung jawaban darinya, jika aku harus menikah dengannya.aku tidak bisa menikah dengannya, Crystal."
"Hah... benar, siapapun tidak akan mau menikah dengan orang yang telah menyakitinya. Namun, aku mengerti maksud ayahmu."
"Tidak. Bukan seperti itu. Aku tahu dia harus bertanggung jawab, tapi bukan dengan menikah. Aku tidak mau menikah dengannya, maksudnya aku tidak bisa menikah dengannya. Aku tidak bisa menerima lamarannya. Aku tidak ingin dekat dengannya. Apa yang harus aku lakukan?"
"Jika kamu tidak mau, jangan terima lamarannya. Bilang ayahmu kamu menolaknya."
"Aku sudah bilang, tapi ayah bersikeras memintaku menikah dengan kak Nathan untuk mengembalikan kehormatanku. Aku tidak bisa Crystal, aku tidak bisa menerima lamaran siapapun ketika aku masih terikat dengan lamaran orang lain."
"Apa maksudmu?"
"Tolong aku, Crystal. Bawa aku pergi dari sini. Aku tidak bi-..."belum selesai berbicara kalimat Kartika berhenti tiba-tiba tanpa suara.
"Kartika... Kartika..."Crystal mencoba memanggilnya, namun yang terdengar saat ini nada sambung yang menandakan panggilan telah berakhir. Ia pun mulai mencoba menghubungi nomor yang masuk ke ponselnya tapi tidak tersambung, yang ia dengar hanya nada sibuk. Tentu saja, pasti Kartika menghubunginya melalui telpon umum.
"Aku harus menyelamatkannya... Aku harus menggagalkan pernikahannya."Crystal kembali berjalan mondar-mandiri di ruang tengah sambil menggigit jarinya. Dia mencoba berpikir dengan keras. Ia pun segera menghubungi Rekka untuk meminta bantuannya atau setidaknya membarikan ide untuknya agar bisa menyelesaikan masalah rumit ini.
Sayangnya, nomor yang ia hubungi tidak tersambung sama sekali. Bisa ditebak saat ini pasti Rekka sedang ada di pesawat sehingga ia harus mematikan ponselnya. Crystal mulai berpikir, berpikir dan berpikir. Tiba-tiba pembicarannya dengan Rekka terulang kembali dalam ingatannya akan sang raja yang seenaknya. Leonardo Kandou, satu-satunya orang yang ia harapkan. Leonardo yang sepertinya ada hubungan dengan Kartika, orang yang beberapa hari ini menanyakan keadaan Kartika melalui Rekka. Jika ia menanyakan keadaan Kartika, ia pasti peduli dengan masalah ini.
Tanpa berpikir panjang, Kartika meraih jaket cokelatnya yang ia gantungkan di belakang pintu, tas selempangan hitamnya dan keluar memanggil taksi. Ia meminta supir taksi untuk cepat mengantarkannya ke gedung Quarter Ent.
Tunggu aku Kartika. Aku tidak akan membiarkan lelaki brengsek itu menikahimu.