Matahari senja bersinar dengan indah, pria itu mengayuh sepedanya dengan bersusah payah. Kartika memeluk erat pinggul sang pria sembari tertawa melihat sosok sang pria yang kesusahan dari belakang kemudi. Mereka berhenti di ujung pantai. Pria itu menyandarkan sepedanya sedangkan Kartika sudah melesat berlari mengejar ombak kecil yang menghampiri bibir pantai. Dari belakang pria itu menghampiri Kartika dan memeluknya erat dari belakang. Hangat. Tubuh Kartika terasa hangat dan nyaman. Perasaan yang hilang entah kemana kini hadir. Kartika memejamkan matanya menikmati semuanya.
Tiba-tiba sebuah tangan besar menarik lengan Kartika, sehingga membuatnya membuka mata. Gelap. Semua menjadi gelap. Tangan itu menarik kuat Kartika dan menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas ranjang single yang dikenalnya. Pria tadi menghilang dan sosok bayangan hitam yang mengerikan muncul di hadapannya. Kartika mengerutkan dahinya dengan mata menyipit untuk melihat dengan sesakma sosok di depannya. Wajah itu. Wajah Nathan. Kakak sepupunya yang seperti malaikat, yang selalu melindunginya, yang selalu membantunya saat dalam kesusahan kini menatapnya dengan tatapan mengerikan. Bola matanya menggelap meneliti Kartika yang terbaring di atas ranjang. Nathan merangkak naik dan berada tepat di atas tubuh Kartika. Ia meraih kedua tangan Kartika, mengangkat ke atas kepalanya dan mengunci tangan Kartika dengan tangan nya. Wajah Nathan mendekat ke tulang leher Kartika. Seketika Kartika memejamkan matanya ketakutan sembari bergumam hebat pada dirinya.
'Siapa saja. Tolong aku!' Kartika berteriak dalam diam.
Sebuah tangan besar yang hangat mengelus kepalanya dengan lembut. Tangan ini. Tangan Pria tadi. Ia mencoba membuka matanya tapi yang terlihat kini hanya dada bidang seorang pria yang entah kenapa ia merasa mengenal dan merindukannya. Pria itu memeluk erat tubuh Kartika. Rasa nyaman datang kembali, Kartika membalas pelukannya.
'Siapa kamu? Apa kamu dia?' tanya Kartika dalam diam, entah kenapa mulutnya tidak berfungsi. Setiap kali dia berteriak, berbicara maupun berbisik, suaranya tidak keluar. 'Aku ingin melihatnya,' gumamnya.
Kartika mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah pria tersebut, pria yang ia harapkan sebagai orang yang ia rindukan, orang yang ia tunggu dan orang yang entah mengapa wajahnya tidak bisa ia ingat. Bukan hanya orang itu, wajah ayah, ibu maupun kakeknya hampir ia lupakan sejak mereka semua meninggalkannya sendirian. Jika bukan karena foto-foto yang ia simpan mungkin ia tidak bisa ingat wajah orang yang ia sayangi dan rindukan. Namun ada satu orang yang sampai sekarang membuat Kartika sedih dan menyesal karena tidak bisa mengingat wajahnya. Wajah orang yang ia tunggu. Wajah orang yang selalu membuatnya nyaman dan merasakan gelitikan aneh di perut maupun dada. Surya. Kak Surya, orang yang ia temukan di pantai, orang yang menjadi kekasih pertamanya, orang yang mendapatkan ciuman pertamanya dan orang yang melamarnya. Sinar matahari dibelakang pria itu membuat Kartika sulit mengenalnya.
"Kali ini, aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Chika. Aku akan menjagamu." Suara berat juga dalam yang khas terdengar dari mulut pria di depan Kartika. Tangannya yang penuh kehangatan mencangkup wajah Kartika, secara perlahan pria itu mendekatkan dirinya kepada Kartika. Kartika menutup matanya kembali dan dapat merasakan kecupan lembut mendarat di bibirnya. Seperti mimpi indah yang tak pernah ia dapatkan beberapa tahun ini. Kartika membalas lembut ciuman pria itu.
'Jika ini mimpi, aku tidak ingin bangun dari mimpiku. Jika ini kenyatan biarkanlah aku hidup dalam kehangatannya' gumamannya bagaikan doa terdalam dalam hati dan pikiran Kartika.
Helaan napas panjang mengawali hari Kartika, dengan perlahan ia membuka sebelah matanya sembari membiarkannya beradaptasi dengan cahaya mentari yang menerobos melalui kaca jendela. Ia menggeliat sambil menarik semua otot tubuhnya yang kaku di atas kasur yang empuk dengan sprei dan selimut lembut bagaikan sutra.
'Tunggu dulu. Empuk dan lembut bagai sutra.' Menyadari ada yang aneh, Kartika langsung bangkit duduk di atas kasur dan membuka matanya lebar melihat sekeliling. Kamar besar dengan kasur ukuran king size, televisi datar berukuran 30 inch tertanam di tembok putih. Kartika mengerjapkan matanya berulang kali, meyakinkan diri dengan apa yang ia lihat. Ia segera melihat tubuhnya di balik selimut, dimana saat ini ia hanya menggenakan kemeja putih polos yang kebesaran tanpa dalaman dan rambutnya terurai yang bisa ia tebak sangat berantakan. Ia memeluk tubuhnya seketika.
"Apa yang terjadi? Dimana ini?" bisik Kartika pada dirinya sendiri. Perasaan takut seketika menghantui dirinya sendiri. Napasnya seketika terasa sesak, ia mencoba mengingat apa yang terjadi dengannya semalam. Sekelebatan bayangan menghampirinya begitu saja di pikirannya membuat kepalanya terasa sakit.
Dalam bayangan singkat tersebut, Kartika berdiri di meja yang berisi snack dan dua orang menghampirinya menawari minuman. Ia hanya meminum sedikit tapi minuman itu rasanya begitu nikmat sehingga ia tanpa sadar meminumnya lagi dan lagi. Ia pergi ke kamar kecil. Ia ingat mengirim pesan pada temannya Crystal untuk pulang lebih dahulu. Harusnya ia ada di rumah kontrakan.
Kartika mencoba mengingat kembali dan memberanikan diri untuk menyatukan gambar di pikirannya. Ada seseorang membelakanginya saat ia keluar dari kamar kecil. Punggung orang itu terasa familiar.
Kartika membuka mulutnya sehingga ia menganga tak percaya apa yang barusan ia ingat. Kartika memeluk pria itu terlebih dahulu dari belakang. Kartika yang seingatnya membenci pria, lelaki ataupun cowok karena kejadian itu, memeluk seorang pria terlebih dahulu.
Kartika menutup mukanya sendiri dengan tangan dan membungkukan diri, menenggelamkan tubuh di atas selimut lembut itu ketika ia mengingat kembali apa yang ia lakukan. Perbuatan yang memalukan.
"Apa yang telah aku lakukan? Apa yang telah aku lakukan?" gerutunya pelan. Kartika ingat, ia mencium orang asing itu terlebih dahulu. Ia menggelayuti orang itu terlebih dahulu. Ia memeluk pria itu terlebih dahulu.
"Apa aku sudah melakukannya dengan orang asing itu?" tanyanya pada diri sendiri ketika mengingat kejadian semalam. Kejadian yang menurutnya mengerikan dan menjijikan jika pikirannya normal. Kartika memukul kepalanya tidak percaya dengan dirinya sendiri. Ia memancing orang itu. Ia menikmati sentuhan orang itu, ciuman lembutnya, pelukannya dan gigitannya. Semuanya, ia menikmati. Bulu halus ditubuhnya berdiri ketika sesuatu menggelitik perutnya, tubuhnya dan pikirannya. Malam itu, bukan hanya menikmati namun ia menginginkannya.
"Gila! Aku sudah gila!" Ia meneriaki dirinya sendiri. "Aku harus pergi dari dari sini," bisiknya sendiri.
Ia pun turun dari ranjang sembari melihat sekeliling mencari pakaiannya atau apapun untuk menutup kakinya. Tidak ada. Tidak ada apapun. Ia pun berkeliling, terdapat pintu, yang tak lain walk in closet, namun terkunci. Ia coba pintu lain yang ternyata sebuah kamar mandi besar dan mewah bahkan kamarnya di rumah kontrakan hanya setengah dari ukuran kamar mandi. Ia menemukan sebuah Wardrope ia segera membuka berharap ada sesuatu yang bisa ia kenakan. Wardorope tersebut isinya hanya handuk dan bathrope. Ia pun mendesah lelah, mengambil handuk besar, melilitkan di pinggulnya di balik kemeja sehingga kakinya tertutup sampai betis.
Tak mau menunggu lama, ia keluar dari kamar, menuruni tangga dan berhadapan langsung dengan ruangan besar dimana tampak dapur, tempat makan dan sofa panjang mewah, sebelahnya terdapat piano putih yang besar. Ia berdiri diam pada anak tangga paling bawah memperhatikan sekelilingnya. Bodoh. Jangan takjub, kau harus segera keluar dari sini, batinnya berteriak mengingatkan.
Kartika pun membuka satu persatu pintu di tempat itu, ia menemukan sebuah kamar tak kalah besar dengan tempatnya bangun, sebuah tempat kerja yang penuh dengan buku, kamar kecil, kamar lagi dan lagi. Tanpa putus asa, ia pun membuka pintu terakhir yang ia harap adalah pintu keluar. Terkunci. Pintu besar dan satu-satunya harapan Kartika terkunci. Ia merasa terjebak di dalam tempat asing ini. Kartika berjalan mondar mandir dengan gelisah. Matanya menangkap sesuatu di meja makan. Satu gelas susu berwarna merah jambu dan tudung makanan. Ia pun membuka tudung tersebut. Semangkuk sup sayuran, sepiring telur mata sapi dan roti. Seketika perut Kartika bergemuruh, cacing di perutnya berteriak.
"Tidak Kartika! Jangan memakan makanan yang tidak kamu ketahui." Kartika memperingati diri sendiri sembari membuang muka. Tapi godaan makanan begitu berat, ia melirik kembali makanan itu. "Jika mengicipinya sedikit tidak masalah bukan?" bisiknya pelan. Kartika membungkukkan tubuhnya berhadapan dengan susu berwarna merah jambu dan menghirup bau di sekitarnya. Stroberi. Susu yang sangat ia sukai.
'Apa orang yang mengurungku disini juga suka susu stroberi? Mana mungkin?'
Ia melirik semangkuk sup di sebelahnya yang begitu menggiurkan. Ia menelan ludahnya menatap potongan wortel dan sayuran hijau di dalammnya.
'Sedikit. Jika sedikit tidak masalah.'
Kartika pun meraih sendok sup, masih menelan ludahnya ia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan makanan yang menggiurkan dan memanggil dirinya minta di lahap. Perlahan ia menyendokkan sup, menyeruput kuahnya yang gurih, mencuil roti bahkan sesekali mencelupkan pada kuah sup, meminum sedikit gelas susunya yang ikut memanggil. Semua terasa lezat di mulut Kartika. Tak berlangsung lama, semua makanan dan minuman di atas meja sudah habis masuk ke dalam perutnya.
"ASTAGA! Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku menghabiskannya?" rasa panik segera muncul. Ia harus menghapus jejaknya. Tapi bagaiamana? Apa ia harus membuangnya? Tapi sayang piring, sendok maupun gelasnya terlihat mahal? Dengan sedikit berdecak ia mencucinya dan meletakan ke atas rak piring di samping westafel. Kartika tersenyum melihat pekerjaannya menghapus jejaknya.
'Bukan saatnya tersenyum, bodoh!' batinnya memperingati. Kartika kembali berjalan tanpa arah mengelilingi tempat itu, yang membuatnya terasa dongkol karena tempatnya begitu besar.
Ia pun terduduk diam di atas sofa panjang. Ia tidak bisa kemana-mana. Ia terkurung, terjebak di tempat mewah bagaikan penjara. Ia menaikkan kakinya di atas sofa, menekuknya mendekat didada dan menenggelamkan kepala di atasnya. Ia terdiam tanpa melakukan apapun. Tanpa diinginkannya, bayangan semalam kembali dalam otaknya. Tatapan tajam nan intens nampak jelas dalam ingatannya. Alis tebalnya, hidung mancungnya, bentuk dagunya dan bibir seksinya. Kartika mendongakkan wajahnya, tangan kanannya menyentuh bibirnya sendiri. Ia ingat setiap detil bagaimana pria itu mencium lembut bibirnya, lumatannya dan lidahnya.
"Ahhh" Sebuah desahan keluar begitu saja dari mulut Kartika yang membuatnya terbelalak tidak percaya. "Ada apa denganku? Sadar Kartika! Semua lelaki itu berengsek!" bisiknya pada diri sendiri.
Cklek… suara kunci dan knop pintu terdengar dari salah satu pintu yang tidak berhasil kartika buka. Refleks, Kartika berdiri dari tempat duduknya dan segera mengambil remote yang ada di atas meja di depannya sembari berbalik melihata siapa gerangan.
Secara hati-hati, Leo membuka pintu penthousenya sendiri dan masuk ke dalam. Ia mendapati Kartika berdiri diantara sofa dan meja dengan membawa sebuah remote yang sepertinya bisa melayang kapan saja. Ia berjalan mendekat ke tempat Kartika berdiri.
"Hai. Sudah bangun? Bagaimana kabarmu?"
'Shit,' batin Leo memaki pada dirinya sendiri menyadari pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutnya. Kartika diam tak menjawab, menatap Leo masih tetap dengan posisi siaganya.
"Apa kau sudah makan?" tanya Leo masih dengan pertanyaan bodohnya. Kartika masih diam tak menajawab setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Leo pun berdiri diam, menyisakan sekitar lima meter jaraknya dengan Kartika.
'Astaga, katakan sesuatu Chika. Jangan membuatku khawatir,' batin Leo berbicara dalam diam.
Ia menatap lekat manik mata Kartika sembari memasukkan satu tangannya ke dalam kantong celana mencoba untuk bersikap tenang.
Kartika diam menatap dengan seksama sosok pria yang masuk dan berjalan mendekat ke arahnya. Ia mencoba mengingat wajah pria tersebut yang rasanya familiar. Serasa mendapat pukulan di kepala, tubuh Kartika menjadi kaku di tempatnya. Pria yang saat ini berdiri di hadapannya tak lain orang yang ia coba hindari di pesta. Leonardo Kandou, Presdir di tempatnya bekerja, orang yang pernah ia dorong di lift sampai tak sadarkan diri.
"JANGAN MENDEKAT!" teriak Kartika ketika Leo mencoba berjalan mendekat kembali, tapi ia menghentikannya. "Apa yang kau lakukan padaku? Kenapa kau membawa dan mengurungku disini?"
"Aku tidak melakukan apapun." Leo mencoba berkata jujur. Karena ia sungguh tidak melakukan apapun, hanya menciumi tubuhnya saja semalam. Mereka tidak melakukan apapun yang lebih dari itu.
"Jangan bohong! Aku ingat semalam kau… Kamu…" Suara Kartika tiba-tiba terbata-bata, "Me- Menciumku, lalu…"
"Lalu?" Leo berjalan mendekat dengan perlahan sembari menaikan mulutnya sebelah membentuk seringaian.
Tidak salah lagi, dia itu Chika! Ekspresi marahnya sama dengan Chika yang aku kenal.
Tidak suka dengan senyuman Leo yang berjalan mendekat ke arahnya, Kartika berjalan mundur mencoba menjauh sebisa mungkin dengan pelan. ia menatap tajam kearah Leo sambil memajukan bibirnya.
"Lalu apa?"
"Lalu… kamu melakukan sesuatu padaku."
"Apa? Aku tidak mengerti maksudmu?" Leo mulai menggoda Kartika yang balik menatapnya dengan bola mata hitamnya yang bulat.
"Jangan berpura-pura bodoh. Dasar lelaki licik," sindir Kartika. Ia saat ini merasa terjebak, karena saat ini tubuhnya sudah terhalang kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta di siang hari. Leo berhasil berdiri di depan Kartika. Tangannya pun mulai mengunci pergerakan Kartika dengan menempelkan di kaca dengan Kartika di tengahnya.
"Tidak semua lelaki itu licik. Jika kamu benar-benar mengingat kejadian semalam, kamu pasti tahu pasti siapa yang memulainya terlebih dulu." Setiap kata yang muncul dari mulut Leo, bagaikan sebuah anak panah yang menusuk di dada Kartika. Semua perkataannya semuanya benar, yang memulai duluan adalah dirinya bukan Leo. Ia menatap kaku wajah Leo yang saat ini ada di depannya. "Jika diibaratkan kucing, lelaki akan memakan ikan yang disodorkan padanya," lanjutnya tepat di depan telinga kanan Kartika.
"Dan... dan kamu kucing garongnya."
Leo mendengus, memundurkan kepalanya, menatap lurus ekspresi Kartika dan tersenyum lembut mendengar jawaban Kartika.
Aneh. Tidak masuk akal. Semua yang di alami Kartika semalam maupun saat ini terasa aneh baginya. Biasanya, jika ia berada satu ruangan dengan lelaki, ia pasti sudah panik dan mulai berteriak. Tetapi pria di depannya, Leo, bukan hanya satu ruangan tapi jarak mereka cukup dekat, Kartika tidak merasakan panik sama sekali. Malahan jantungnya mulai berdebar kencang.
Leo, menampakan senyumannya kembali dan deretan gigi putihnya yang rata nampak pantas di wajah tampannya, melihat Kartika diam mematung menatap lurus ke arahnya. Kartika di depannya terlihat begitu menawan menggenakan kemejanya yang kebesaran. Apalagi balutan handuk di bawahnya terlihat lucu. Ia mengangkat sebelah tangannya dan meraih puncak kepala Kartika, ia mengelus lembut rambutnya. Tubuh Kartika seketika menegang. Catatan yang ia baca tadi muncul dalam ingatannya. Ia menjauhkan tangannya dari kepala Kartika.
'Apa kamu takut denganku? Dengan semua lelaki yang kamu bilang licik?'
Seperti sengatan hangat, tangan Leo yang mengusap lembut kepalanya membuatnya sedikit kaget, namun rasanya begitu nyaman. Tiba-tiba tangannya berhenti dan terangkat. Ada rasa kecewa muncul di dada Kartika. Ia memberikan tatapan kekecewaan yang dia sendiri bingung dengan perasaannya kepada lelaki di hadapannya. Pria ini berhasil meruntuhkan dinding pertahannya, ketakutannya dan kecanggungannya dengan makhluk bernama laki-laki begitu saja.
Seakan mengenali tatapan yang dipancarkan Kartika padanya, Leo mencoba kembali menyentuh Kartika. Dengan punggung tangan kanannya ia mengelus pipi Kartika, ada pergerakan darinya tapi hanya sesaat. Kartika terdiam tanpa ketegangan seperti sebelumnya, tatapan waspadanya lambat laun menghilang menjadi tatapan lembut ke arah Leo. Leo mendekatkan wajahnya kepada Kartika, masih menyisakan beberapa jarak, ia mencium aroma yang ia cari, sukai dan rindukan selama ini. Aroma segar percampuran jeruk dan stroberi dari tubuh Chika.
Mereka terdiam saling bertatapan satu sama lain tanpa suara, hanya suara napas mereka terdengar lembut. Leo menempelkan dahinya kepada Kartika sehingga kepala Kartika bersandar kepada kaca belakangnya. Masih saling menatap, Leo masih menyentuh pelan pipi Kartika dengan ibu jarinya, menyamping ke arah bibirnya dan turun kedagunyaa menganggkat sedikit kepalanya.
"A-...Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Kartika setelah mengumpulkan keberaniananya. Leo hanya tersenyum, senyuman menawan yang berhasil membuat dada Kartika berdetak cepat seakan-akan hendak meledak. Leo mendekatkan wajahnya, hidung mereka hampir bersentuhan.
"Aku selalu menyukai aroma mu, Chika," bisik Leo tepat di depan mulut Kartika, sehingga ia merasakan embusan napas yang keluar dari mulut Leo ketika dia berbicara.
Suara berat yang dalam. Suara yang sama dengan orang dalam mimpinya membuat pikiran Kartika menjadi kosong. Ia menjatuhkan remote yang ia pegang sebagai senjata ke lantai begitu saja.
Leo mengecup singkat sudut bibir Kartika yang berwarna merah jambu natural tanpa pewarna lipstik atau lainnya. Kartika hanya diam masih menatap mata Leo yang mulai menggelap. Seperti diberi izin, Leo pun mencium pelan bibir Kartika. Merasakan bibir seksi Leo di atas bibirnya, Kartika hanya bisa mendelik sesaat dan memejamkan matanya perlahan.
Seperti kembali ke masa delapaan tahun silam, Kartika membalas ciuman Leo pelan. Leo tersenyum sambil memperdalam ciumanya. Tangan bebas Kartika saat ini menyentuh dada bidang Leo, sedangkan tangan Leo yang tadi ada di wajah Kartika berpindah ke punggung Kartika dan mengusap pelan punggung Kartika.
Tuk...Tuk... rintikan hujan yang menyentuh kaca secara perlahan terdengar indah. Mereka berciuman secara lembut dan hangat berulang-ulang. Mereka melepaskan tautan mereka sesaat hanya untuk saling pandang dan mengambil napas, lalu mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Bahkan suara ketukan maupun panggilan pelan di belakang mereka tidak terdengar. Mereka terlalu hanyut dalam dunia mereka sendiri.
"LEO!" Suara teriakan lantang seseorang berhasil mengembalikan pikiran Kartika. Ia membuka matanya dan mendorong kuat Lelaki di depannya. Leo pun tersungkur ke belakang dan melihat ekspresi wajah Kartika yang menyala-nyala.
"Brengsek!" bisik Kartika sembari menggosok bibirnya seakan ingin menghapus bekas ciumannya dari bibirnya.
Tanpa disadarinya, bulir air mata mulai turun dari pelupuk mata Kartika. Disaat yang sama dada Leo terasa sakit melihat air mata yang berhasil membasahi pipi wanita yang ia rindukan.
'Bodoh! Apa yang telah kamu lakukan, Leo?' Nurani Leo mulai angkat bicara menyadari perbuatannya kepada Kartika.