Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 3 - Senja & Si Tukang Tissue

Chapter 3 - Senja & Si Tukang Tissue

Setelah selesai acara makan siang yang dipenuhi dengan canda dan tawa, Axl mengantar kami menuju stasiun. Sebetulnya jarak dari tempat kami makan hingga stasiun kereta terbilang cukup dekat, namun Tasya tampak malas-malasan untuk berjalan kaki. Jadilah Axl mengantar kami secara bergantian satu per satu.

Seperti pesan dan petunjuk dari Axl tadi, kami segera naik kereta pertama yang langsung mau berangkat, duduk di kursi sisi sebelah kiri, dekat pintu, tak peduli Kereta Pakuan ataupun KRL biasa.

Sepanjang perjalanan, mulut Tasya seolah tak lelah membahas Axl. Mulai dari rambut hingga ujung sepatu kickers yang dikenakannya. Seolah tak ada topik lain selain apa yang dilihat dan terjadi sepanjang hari itu. Sekalipun semua yang dikatakan Tasya benar adanya, namun tetap saja semua sampai pada akhirnya. Kereta berhenti di stasiun dan kami melanjutkan langkah untuk pulang.

"Tadi satpam klinik udah kamu hubungi, Tas?"

"Buat apaan?"

"Loh, bukannya tadi Axl bilang mau langsung mengirim tambahan orderannya sekarang?"

"Hayoo… order ato order… hehe… ato kita tungguin aja sekalian di klinik?"

"Ogah… Capek… Kakiku udah pegel nih, mau langsung pulang dan istirahat!"

"Ya udah, abis ni langsung Tasya hubungi deh!"

"Buruan, Tas! Sekarang!"

"Iya… iya… eit… Axl ato Axl?"

"Apaan sih? Udah ah, duluan pulang ya… Bye!"

"Ok, sampai ketemu lagi esok."

Kami berpisah di pertigaan menuju klinik. Sepanjang langkahku, berat rasanya kaki ini untuk langsung menuju ke pondokanku. Rasa-rasanya seperti terkena sihir dan justru berbelok arah menuju Kedai Mang Ujang. Keletihanku seolah sirna seiring sambutan ramah Mang Ujang dari balik dapur kerjanya.

"Tumben, Neng, sore-sorean udah kemari. Mau pesen seperti biasa?" sapa Mang Ujang begitu ramah.

"Tar dulu aja, Mang. Masih mau nunggu temen nih!"

"Iya deh. Silahkan duduk dulu."

"Makasih, Mang."

Dari sekian deret kursi kosong yang kudapati, kupilih tempat duduk tepat di depan jendela yang menghadap langsung ke bantaran rel kereta. Tapi senja belumlah tiba. Senja yang merona. Senja yang merana. Senja yang seolah tak kuasa menyambut kehadiran benakku yang kebingungan mencari jawab atas sederet tanya. Jarum jam masih menunjuk angka lima kurang lima menit. Masih cukup waktu untuk memesan makanan. Ah, nanti saja. Tapi pesan cappuccino dulu sepertinya tak ada salahnya.

"Mang… bisa buatin… kopi?"

"Lah… tumben Si Eneng minum kopi sore-sorean gini?"

"Lagi pengin aja, Mang… cappuccino atu ya?"

"Pake es?"

"Enggak… gelas kecil aja kayak…"

"Kayak cappuccinonya Si Axl kan? Dikasih gula dikit lalu diaduk sampai 30 kali?" potong Mang Ujang.

"Koq Mang Ujang tahu?" sontak kusahut menutupi keterkejutanku.

"Ya tahulah, anak muda… hihi…" balas Mang Ujang lirih sambil mendekat.

Laki-laki paruh baya itu langsung menyibakkan sedikit gorden yang menutupi pemandangan dari balik jendela di hadapanku. Melihat sisi luar sebentar, kemudian mengelap dan membetulkan posisi salah satu kursi plastik di dekatku. Dengan sedikit tersenyum demi mendapati kebengonganku, Mang Ujang mempersilahkanku untuk pindah tempat duduk di kursi yang baru saja dibersihkannya.

"Pemandangan senja akan terlihat lebih bagus dari sini. Silahkan pindah duduk di sini, Neng. Kursinya juga udah Mamang bersihin." tutur Mang Ujang lirih.

Aku hanya tersenyum mengiyakan, lalu segera pindah ke kursi yang ditunjuknya. Laki-laki itu membalas dengan senyum tulusnya dan segera menyiapkan pesananku.

"Aneh… koq… Mang Ujang seolah tahu maksudku? Bahkan seolah tahu apa yang akan kulakukan, tahu apa yang akan kupesan?" gumamku.

Cappuccino, senja pukul lima dan kereta. Sesungguhnya, ada apa dengan Kereta Pakuan yang melintas jelang senja pukul lima?

Belum juga selesai segala tanya dalam benakku, seorang lelaki nyelonong duduk di sebelahku. Sedikit tersenyum, kemudian membuka gorden jendela hingga lebih lebar. Semilir hembusan udara sisakan siluet senja yang baru sekali itu kulihat, lengkap dengan bayang lelaki dan rambut sebahunya yang terkembang.

"Eh, hai…" kejutku.

"Hai… udah lama disini?" sahutnya ringan.

"Baru juga nyampe. Koq tahu saya disini?" basa-basiku sedikit menutupi keterkejutanku.

"Tahulah… udah pesan cappuccino?" lanjutnya.

"Eh… koq tahu juga?" kali ini aku betul-betul terkejut.

"Dunia ini terkadang begitu sempit ya?" selorohnya.

Aku hanya bisa tersenyum kalau tak mau dibilang merah mukaku. Sudahlah, otak di kepalaku masih normal. Banyak hal yang ingin segera kutanyakan, banyak soal yang ingin segera kudapat jawabnya. Tapi lelaki penjual tissue di sampingku ini masih juga santai, dingin dan tetap misterius.

"Gimana, udah ketemu belum jawabnya?" kejutnya.

"Loh, koq tahu juga?" kali ini suaraku hanya sampai di kerongkongan, kubalas dengan senyum sekedar untuk menutupi merah mukaku.

"Ujian kali… mesti nyari-nyari jawabnya… hahaha…" kututupi kecanggunganku.

"Hehe… Bukalah gorden jendela itu lebih lebar. Tengoklah keluar. Sebentar lagi senja akan merona." tuturnya begitu tenang, datar dan kali ini tanpa emosi.

Kubuka lebih lebar kain penutup jendela di hadapanku. Kuamati dengan sungguh semua yang terlihat sejauh bola mataku dapat menjangkau.

"Apa yang terlihat disana?" bisiknya lirih.

"Rel kereta!" sahutku.

"Lihat lebih jauh lagi… yang terjauh yang bisa kamu lihat…" lanjutnya masih sambil berbisik.

"Cakrawala!" potongku.

"Warnanya?" kali ini lebih lirih.

"Kuning… keemasan…" sahutku.

"Bantaran rel kereta itu masih terlihat kan?" bisiknya semakin dan semakin lirih hampir tak terdengar.

"Tenang bukan? Dari tempat ini, bantaran rel itu terlihat seperti ujung bumi, dengan cahya kuning keemasan menjadi latar yang melengkapi damainya cakrawala senja." bisiknya lirih sambil tersenyum.

Aku hanya menganggukkan kepala.

"Sebentar lagi ketenangan itu akan segera sirna, tertelan deru roda besi yang bergesekan dengan rel kereta. Bising. Berisik dan tentunya akan mengganggu keheninganmu." lanjutnya.

"Kereta Pakuan, bukan?" ingin tahuku lebih lanjut.

"Sssttt… lihat!" desisnya sambil menutup bibir dengan telunjuknya.

Benar saja. Tak sampai hitungan sepuluh jari, sebuah kereta melintas. Kencang. Seolah tanpa kemudi, tanpa kendali. Melesat bagai kilat cahaya dan mengaburkan senjaku, senja keemasan yang baru saja dapat kunikmati sesaat tadi.

"Yaaah… ilang deh senjaku!" protesku.

"Sssttt… tahan dulu sampai ujung kereta melintas." bisiknya.

Begitu dekatnya hembusan lirih suara itu pada daun telingaku hingga membuat tengkukku sedikit merinding. Tak juga sampai sekedipan mata, gerbong terakhir melintas. Sisa kebisingan masih dapat kudengar. Lalu…

"Sekarang, lihatlah titik terjauh yang bisa kaulihat. Perhatikan juga warna cakrawala." suaranya mulai normal.

"Loh… koq… jadi jingga?" heranku.

"Indah, bukan? Cakrawala senja keemasan yang perlahan berubah menjadi rona jingga itu, tak ubahnya sebaris tipis batas pergantian sebuah hari. Pergantian dari siang menuju malam. Sesuatu yang harus kita syukuri, betapa satu hari ini telah kita lalui. Sesuatu yang harus kita sadari, betapa tak ada yang abadi di dunia ini. Terang sekalipun, pada gilirannya akan berubah menjadi gelap, hingga fajar tiba, lalu kembali menjadi terang lagi. Roda kehidupan harus terus diputar, mengalir, seperti senja yang setia bergulir dan mengubah sebuah hari hingga petang menjelang." jelasnya begitu tenang, runtut, seolah diksi dan baris kata demi kata itu meluncur tanpa disusun.

"Gimana?" lanjutnya.

"Speechless!" potongku spontan.

Untuk beberapa saat kami saling terdiam. Lelaki itu meminum cappuccino miliknya dengan begitu damainya. Kedamaian itu dapat kurasakan dari senyumnya yang ditujukan kepadaku. Mulutku sendiri masih tercekat. Tak ada satu kata pun dapat kuucapkan setelah melihat pemandangan senja tadi.

Pandanganku juga masih terpukau oleh kemilau senja itu, lalu berganti pada lelaki yang tak bosan-bosannya membagikan senyum kedamaian kepadaku, lalu pada senja di balik jendela itu lagi. Setelah sekian lama kami terdiam, lelaki itu bersuara,

"Pulang, yuk… Udah kelamaan disini. Kaga enak sama Mang Ujang."

Selepas senja yang bergulir begitu mempesona tadi, kepala hingga otakku serasa begitu penuh, hampir meledak kurasa. Aku hanya pasrah, bahkan menurut saja ketika jemari tanganku digenggamnya dan kami segera meninggalkan Kedai Mang Ujang.

Dalam gejolak ketidakmengertianku akan kejadian demi kejadian sepanjang hari ini, aku menjadi lupa dengan segalanya. Aku bahkan tak sadar, siapa yang menuntun dan mengantarku pulang, tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku.

Genggaman tangan itu baru dilepas manakala kami sudah berhenti tepat di depan kamar pondokanku. Sambil tersenyum, lelaki di hadapanku ini mohon diri. Aku hanya menganggukkan kepala sambil membalas dengan senyuman.

"Sudah malam, pulang dulu ya, silahkan istirahat, tidur nyenyak dan semoga mimpi indah." tuturnya lirih.

"Eh, satu lagi… nanti jangan menghubungiku sebelum pukul sepuluh malam ya, soalnya banyak laporan yang harus kuselesaikan malam ini… Ok? See ya…"

Lagi-lagi aku hanya sanggup membalas dengan senyuman, tanpa tahu betul maksud perkataan terakhirnya. Untuk sepersekian detik waktu, bahkan sempat kubalas lambaian tangan tadi sampai akhirnya lelaki itu tak kelihatan, berbelok di depan gang pondokanku.

Kemilau senja beserta segala rona pesona yang baru saja kulihat tadi, membuatku kehilangan kata-kata. Ditambah sederet kalimat yang begitu sederhana dari mulut seorang lelaki misterius yang baru kukenal itu, seolah membius imajiku. Mulutku seperti terkunci.

Begitu banyak pekerti, nilai-nilai yang dapat kupetik dari sekian detik waktu berlalunya senja. Takjub, kagum, terpesona dan terlebih membawaku pada satu kesadaran, betapa begitu banyak hari-hariku yang telah hilang terbuang dan kulalui begitu saja seturut agenda kerja yang selalu menumpuk di hadapanku.

Begitu banyak yang telah berlalu. Juga kesadaran akan hari-hari sepiku. Hidupku berasa bagai mesin bernyawa, atau bisa jadi nyawaku sudah terprogram seperti mesin, lengkap dengan segala rutinitas keseharianku. Aku jadi seperti melupakan diri sendiri, melupakan kehidupan pribadiku.

Pekerjaan menjadikanku lupa dengan hakikat sederhana tentang hidup, tentang kehidupan. Aku jadi tak bisa mensyukuri hal-hal kecil dalam keseharianku, kesendirianku, kesepianku. Bahkan aku sampai lupa, sudah berapa malam-berapa hari, berapa bulan-berapa tahun, hidup dalam kekang rutinitas pribadiku, menutup diri, bahkan lupa kalau aku tidaklah hidup seorang diri.

Hari ini mungkin tak ubahnya hari Sabtu biasa, akhir pekan biasa, yang tiba-tiba menjadi begitu panjang dan melelahkan kulalui bersama kehadiran sosok lelaki penjual tissue yang baru kemarin kukenal, bahkan sampai saat ini sekalipun tak kuketahui namanya.

Sebuah ironi ataupun elegi, aku tak lagi peduli. Faktanya, tuturan sederhana dari mulut seseorang yang awalnya kukira hanyalah seorang yang biasa, tiba-tiba menjadi penuh rasa.

Ajaib, penuh pukau, demikian kalau boleh kutambahkan atas semua yang telah dilakukannya untukku sepanjang hari ini. Lewat sikap dan penuturannya, aku seperti disadarkan, betapa hidup ini haruslah disyukuri, dinikmati dan diberi makna lebih seturut hembusan nafas kita.

Rasanya, hari ini akan segera berakhir setelah mandi air hangat dan rebahan di istana pembaringanku. Namun dari banyaknya hal yang telah kulalui, banyaknya hal yang terjadi, terlebih banyaknya hal yang tak begitu kupahami hari ini, tidak akan mudah bagiku untuk segera memejamkan mata.

Tujuh jam terakhir yang kulalui terasa seperti sudah tujuh hari, tujuh bulan, atau tujuh tahun bahkan. Tujuh jam terakhir yang kulalui berasa begitu panjang. Terlalu banyak kejadian yang baru kusadari dan kupahami terjadi selama tujuh jam terakhir ini.

Ironisnya, semakin aku mencoba untuk menyadari dan memahami, ternyata semakin banyak lagi yang tak kumengerti. Akhirnya kucoba memutar kembali ingatanku dan mengurai satu per satu yang terjadi sepanjang hari ini.

Tentang pesona senja yang kulihat dari balik jendela Kedai Mang Ujang, itu adalah kali pertama kulihat dan kusadari indahnya cakrawala senja, lengkap dengan rona jingganya, dengan penjelasan yang begitu sederhana namun cukup mengena, dari sosok seorang sales yang baru kemarin kukenal.

Seajaib itukah pukau yang kautunjukkan sampai-sampai diri ini terlena, lupa dengan segala sesuatunya, bahkan hingga tak sadar ketika kau gandeng dan kau antar hingga depan pondokanku tadi?

Sedikit sebagai catatan, banyak yang mengenalku, tapi tak banyak yang tahu dimana pondokan tempat tinggalku. Adakah cara yang lebih ampuh sekedar untuk tahu dimana aku tinggal selain menanyakannya secara langsung?

Andaipun bertanya seribu kali kepadaku secara langsung, lelaki penjual tissue itu pasti tahu dan sepenuhnya sadar, jika aku tak akan mungkin memberi tahu dimana tempat tinggalku.

Ajaib!

Lelaki misterius ini memiliki caranya sendiri, hingga diri ini begitu iklas menuntun dan menunjukkan dimana pondokan tempat tinggalku.

Aku juga baru saja tersadar sepenuhnya, betapa jemari tanganku digenggamnya sepanjang perjalanan pulang tadi. Tak ada emosi, tak ada gejolak rasa di hati, selain empati dari sosok seorang penjual tissue yang mendapati keheranan, ketakjuban dan kekagumanku pada pesona senja yang baru saja ditunjukkannya kepadaku tadi.

Aku tak marah. Justru sepenuhnya sadar, ketika kurasakan jemari kami saling bergenggam untuk kutuntun menuju pondokanku. Ada kedamaian kurasakan, spontan dan tanpa emosi. Axl tadi benar-benar kutuntun, seolah dibiarkannya diri ini untuk melanjutkan kekagumanku akan pukau dan keajaiban yang kulihat dari rona senja yang bergulir di batas cakrawala.

Perpisahan yang menyisakan sekeping rindu. Demikian kalau boleh kusimpulkan tentang akhir dari perjumpaan kami. Begitu tenang, hingga mulutku masih begitu sulit sekedar untuk mengucapkan kata terima kasih. Aku hanya sanggup membalas dengan lambaian tangan dan senyuman.

Lelaki penjual tissue, siapakah sebenarnya namamu? Apakah benar namamu Axl? Seumur-umur, baru kali ini aku merasakan sebuah penasaran yang seolah tiada ujungnya. Bagaimana bisa aku lupa untuk satu hal yang mendasar, lupa untuk sekedar menanyakan nama, ketika mengenal seseorang yang baru kutemui? Lagi-lagi… Entahlah…

…Hari ini,

kusadari sungguh tentang pentingnya arti sebuah nama.

Tanpa nama,

yang tersisa hanyalah tanya.

Namun, apalah artinya nama,

dibanding semua yang telah dilakukannya…