Dalam keheningan kamarku, aku hanya bisa bertanya dan bertanya tanpa menemukan jawabnya. Benakku merona, tiap kali tak sanggup untuk melupakan kilasan demi kilasan kebersamaan sepanjang hari tadi. Sesekali terlintas tawa lepas Axl, sesekali pula teringat candaanya, terlebih kilasan-kilasan paras wajah dengan rambut panjangnya. Jemari tanganku bahkan kurasa seperti masih dalam erat genggamannya. Lalu kurasakan pula jantung ini berdetak tak beraturan, tiap kali terngiang tutur kata dari lelaki Si Penjual Tissue tadi.
Ya, tadi siang jemari tanganku digenggam. Aku sadar sepenuhnya. Tak ada amarah, bahkan benakku benar-benar berdesir. Sudah terlalu lama tak ada laki-laki yang menggandengku. Sejak lulus SMA bahkan. Tapi Axl? Dengan santainya menarik dan menggenggam jemari tanganku. Tulus. Tak ada niatan apapun, bahkan tak kulihat setitik emosi ataupun maksud tertentu, selain membantuku menyeberang. Bahkan dengan begitu noraknya mengajakku foto-foto bersama, menempelkan pipinya pada pipiku. Untuk sejenak kupegang pipiku, serasa wajah itu masih menempel pada pipiku. Aduuuh… kenapa bisa seperti ini?
Sekali lagi benar apa yang Tasya bilang, Axl memang keren. Kuakui. Ajaib kalau menurutku. Jarang kutemui laki-laki yang tingginya lima sampai sepuluh centi di atas tinggi badanku yang mencapai 175 centimeter. Kulihat juga tadi kulitnya kuning bersih ketika hanya mengenakan kaos yang kebesaran. Jauh dengan waktu angkat junjung kemarin yang terlihat begitu dekil. Wajah dinginnya ternyata menyimpan kelembutan yang begitu tenang. Wajahnya terlihat berbinar manakala cambang dan bewoknya di cukur bersih. Axl bahkan terlihat begitu manis tiap kali tersenyum. Tawanya khas. Candaanya selalu dapat mencairkan suasana. Pendek-pendek kalimat yang diucapkannya selalu menyisakan makna. Hidungnya mancung dan poninya… koq masih ada ya, laki-laki yang manjangin rambut bahkan dengan poni di bagian depannya? Axl… benarkah namamu Axl?
Apakah benar Axl hanyalah seorang sales? Baru kali ini kutemui seorang sales yang begitu santun. Axl tak banyak cakap seperti sales-sales yang sering kutemui pada umumnya. Kalimatnya lebih sering pendek-pendek, seperlunya, bahkan terkadang seperti sekenanya. Namun jika disimak lebih lanjut, ucapan-ucapannya seperti berima, enak didengar ketika sampai di telinga. Kalimat-kalimatnya bukanlah kalimat sales pada umumnya. Kalimat-kalimatnya menyisakan pukau yang mengendap hingga ke dasar gendang telinga. Axl bukanlah sales biasa. Aku yakin.
Tapi kenapa seorang sales mau ikut angkat junjung barang? Sampai-sampai kukira kuli panggul saat kami kembali bersua di kasir kemarin. Seragam yang dikenakannya juga seragam resmi, bahkan sama dengan sopirnya, dengan logo dan tulisan yang sama pula. Tapi kenapa bercelana pendek selutut? Aneh. Tak pernah ada sales dengan seragam seperti itu. Juga rambutnya. Belum pernah juga kutemui sales dengan rambut panjang sebahu. Bukan. Axl pastilah bukan sales, bukan pula kuli panggul. Lalu siapa Axl sebenarnya?
Tasya pasti tahu jawabannya. Sahabatku ini lebih dahulu bekerja di klinik dan lebih mengenal Axl. Tasya pasti bisa menjelaskan. Tapi sejauh ini pula, Tasya selalu bilang kalau Axl adalah seorang sales. Itu artinya, Axl memang seorang sales, bukan sopir apalagi tukang panggul.
Ah, sudahlah. kenapa jadi membicarakan seorang Axl yang tak kukenal?
Kucoba untuk mengalihkan pikiranku dengan menonton acara televisi. Tak ada yang menarik. Kumatikan dan segera aku rebahan di tempat tidur. Lagi-lagi pikiran ini kembali melayang pada semua yang terjadi tadi siang, berputar-putar pada sosok Axl yang tak kuketahui sama sekali selain pekerjaannya sebagai sales dan tinggal di Bogor.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Axl jauh lebih keren dibanding dokter-dokter yang sering menggodaku. Jauh lebih baik menurutku. Axl hanya melakukan yang seharusnya dilakukan. Tak ada maksud lain. Sesederhana itu. Axl juga lebih sopan. Tak sekalipun menyanjung apalagi mengagumiku. Semua yang dilakukan sehubungan dengan pertemuan-pertemuan kami, baik yang sengaja maupun tidak, selalu tulus.
"Tapi senyumnya? Aduh… kenapa jadi terbayang-bayang senyum khas ala Axl? Kenapa jadi seperti ini? Kenapa juga bisa sampai lupa menanyakan namanya yang sebenarnya sih? Lupa minta nomor ponselnya?" protesku pada diri sendiri sambil mengamati ponselku.
"Lalu bagaimana aku akan bisa menghubungi kalau tak punya… loh, koq, casingnya kebalik?" kejutku mendapati sarung telepon selulerku yang terpasang terbalik.
"Haaa… kartu nama siapa ini? Koq bisa ada disini? Terselip pada casing ponselku? Koq bisa casingnya terbalik? Ini pasti sengaja dibalik dan kartu nama ini sengaja diselipkan di sini. Tapi… ulah siapa?" lagi-lagi aku hanya menemukan tanya tanpa jawab.
"Bentar-bentar… ini… kartu nama koq modelnya kayak gini? Hanya nomor telepon, tanpa ada nama, selain tulisan : BUTUH TISSUE?!? HUBUNGI 0 817 817 817."
Setelah memutar otakku untuk sekian detik waktu, pada akhirnya aku bisa tersenyum menyadari ketidaktahuanku, ketidakmengertianku atas apa yang terjadi.
"Ada aja idenya…" gumamku sambil memperhatikan kartu nama di hadapanku. Kubaca dan kubaca lagi. Kulihat dengan seksama. Hanya senyum yang tersisa.
"Oh, pantesan aja, tadi bilang kalau aku bisa menghubunginya. Ok deh, kutelpon aja, sekalian ucapin makasih buat semuanya."
Segera kusimpan nomor yang tertera pada kartu nama tersebut. Bergegas hendak menelponnya, tapi…
"Eh, tadi bilang mau ngerjain laporan dulu sampai jam sepuluh… kenapa sampai malem sih? Ya udah, besok aja."
Dalam hening benakku kembali tertuju pada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Kemudian kembali kuruntut peristiwa demi peristiwa yang terjadi sejak kemarin.
Perihal empat kali perjumpaan yang terjadi kemarin, anggap saja sebuah kebetulan, ketidaksengajaan yang menjadikan kami bertemu dan bertemu lagi sampai empat kali. Kecuali nasi udukku yang dibayari kemarin, tidak ada yang disengaja, pun dikehendaki agar terjadi.
Tapi cerita di depan jendela perihal cappuccino, kereta dan senja, adalah pangkal dari semua yang terjadi hari ini. Aku mengikuti usulan Tasya untuk naik kereta terlebih karena rasa penasaranku dengan Kereta Pakuan.
Sebelum itu, kemarin malam aku sempat dibuat penasaran dengan secangkir cappuccino dengan gula setengah sendok dan diaduk 30 kali ala Axl. Nah, untuk yang satu ini, belum ada jawabnya. Trik apalagi yang dilancarkan sampai-sampai akan selalu ada cerita yang mesti kutunggu dan berharap untuk mesti kembali bertemu?
Aduuuh… ampun deh!
"Hmmm… saatnya balas dendam!" pikirku ketika jarum jam merujuk pada angka sepuluh.
Sengaja aku berlama-lama untuk tidak segera menghubungi Axl. Anehnya, semakin kuulur waktuku, semakin saja jari telunjuk ini ingin segera menekan tombol dial.
Akhirnya aku menyerah dan menghubunginya pukul sepuluh lebih sepuluh menit.
"Hallo… selamat malam…" suaraku agak gugup.
"Hai… akhirnya menelepon juga…" suara yang akhir-akhir ini begitu akrab di telingaku itu dapat kudengar dari balik ponsel.
"Hai juga… Eh, koq tahu akan kuhubungi?" sahutku singkat mengingat segala kecanggungan yang membuyarkan segala rencana pertanyaanku.
"Hihi… ponselku selalu kumatikan selepas petang sampai pukul delapan, biar bisa istirahat dan terbebas dari gangguan customer. Ini hari sengaja tetap kuaktifkan karena pasti ada yang mau telpon, dan itu pasti kamu… hahaha…"
"Berarti boong dong, katanya masih ada kerjaan…"
"Wah, kalau bicara soal kerjaan, tak ada habisnya kerjaan di sini. Ini juga sambil input orderan buat dikirim besok."
"Berarti mengganggu dong?"
"Ya udah, ini saya tutup aja kalau begitu…"
"E… eh… jangan…" potongku.
"Maksudku, biar kumatikan dulu komputerku, jadi bisa menemanimu." terangnya begitu tenang.
"Ups… kirain…"
"Kirain apa? Menutup ponsel? Nanti kepalamu bisa meledak, hehe… masih mau tanya-tanya kan? Atau mau yang lain?" potongnya tahu apa yang kupikirkan.
"Yang lain apaan?"
"Banyaklah yang lain, nanti Sherly bisa terbang lho!"
"Loh… koq, tahu juga namaku?" protesku keras.
"Iyalah, kan tertera di bajumu kemarin… hehehe…"
"Curang!!!" teriakku.
"Hihihi…"
"Yee… malah ketawa…"
"Maaf ya, Sher… kemarin jadi merepotkanmu ikut menata kardus di gudang klinik."
"Ngga-ngga, saya yang minta maaf, gara-gara terburu waktu jadi menabrakmu, jadi kerja dua kali kan kemarin?"
"Hehe… ya udah… berarti kita impas ya untuk insiden di gudang? Terus maaf juga ya, sudah titip kartu nama di casing ponselmu."
Kali ini giliran aku yang tertawa lepas mengingat kartu nama ajaib yang ternyata sengaja diselipkan pada casing telepon selulerku yang kemudian juga sengaja dibalik.
"Hahahahaha…. Sumpah ya, baru sekali ini kulihat ada kartu nama tapi tanpa nama…"
"Hihi… semua juga bilang begitu kalau lihat kartu namaku… tapi cukup efektif kan?"
"Cerdas… Kreatif… Ajaib…" sanjungku.
"Makasih, buat sanjungannya, Sher. Berikutnya, maaf ya, tadi udah menggandeng Sherly sampai depan pondokan."
"Yee… modus ya tadi!!!" lagi-lagi kuprotes keras.
"Tapi sukses kan? Jadi tahu tempat tinggalmu kan?"
"Tau gitu tadi ogah digandeng!!!"
"Hehe… maaf ya, tadi tidak sengaja koq, spontan aja… abis ngga enak ama Mang Ujang, kita berlama-lamaan disana cuma buat minum kopi, sementara Sherly sepertinya masih pengin tanya-tanya kan? Terus malah bengong tadi setelah bayar kopi. Ya udah, saya tarik keluar aja. Eh, malah keterusan ngga mau dilepas tadi." jelasnya panjang lebar.
"Masak sih… emang bener ngga mau dilepas tadi?" sedikit protesku.
"Iya, kan udah kulepas waktu sampai di luar, trus malah ganti Sherly yang pegangi lenganku kenceng banget, ngga mau melepas, sampai nggak sadar kan, kalau sudah berdiri di depan kamarmu tadi?"
"Hihihi… iya juga ya… sampai ngga sadar tadi…"
"Sekali lagi maaf ya, nggak ada niatan apa-apa, spontan aja tadi."
"Iya, ngga apa-apa."
"Ya udah, masih banyak permintaan maaf buat yang lain-lainnya, tapi besok lagi ya… udah malam, kita sambung besok lagi… Sherly istirahat ya…"
"Okey… janji ya… besok kita sambung lagi?"
"Siaaap… buat drg. Sherly Putri Titiani… besok kita lanjutkan lagi."
"Curang… curang… curang!!!"
"Hehehe… udah dulu ya… jangan sampai kangen… have a nice sleep and sweet dream…"
Ada senyum di ujung bibirku setelah Axl menutup perbincangan kami. Sedikit tanyaku kutemukan jawabnya. Ada sedikit kelegaan dalam begitu banyaknya ketidak-mengertianku atas apa yang terjadi. Satu persatu kebingunganku terurai. Sekali lagi aku hanya bisa tersenyum.
Ironi dari senyumku, justru kini suara dari sosok lelaki yang baru kukenal ini memenuhi kepalaku. Gaungnya seperti memenuhi gendang telinga hingga otak kepalaku. Lalu bayang-bayang wajah itu juga seolah hinggap dalam setiap yang kutatap.
"Kangen? Maksudnya apaan?" gerutuku ketika mengingat kalimat terakhirnya.
"Aduh… kalau ini bukan kangen… tapi penasaran…" lagi-lagi protesku.
Aku yakin, Axl bukanlah seorang sales biasa. Ada sesuatu yang membedakan seorang Axl dengan sales-sales pada umumnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang sengaja disembunyikan, seolah tak ingin orang lain tahu, juga tak ingin aku tahu.
Begitu damai. Begitu tenang. Demikian kesan yang kutangkap dari tiap gaung suara serta bayang-bayang wajah lelaki yang baru kukenal dua hari ini.
Cerdas, namun tetap santun. Hangat, namun tetap sopan. Ajaib. Demikian kusimpulkan sejenak perjumpaanku dengan sosok lelaki misterius ini.
Dalam keheninganku, suara-suara itu justru semakin terngiang begitu jelas, membuat kedua bola mata ini sulit terpejam. Bayang-bayang senyumnya tiap kali kami bersitatap seolah membekas pada dinding, lantai, pintu, jendela, bahkan hingga langit-langit kamarku.
Detik berikutnya kurasakan benakku bersemi, turut menjadi tenang tiap kali mengingat kembali kilasan demi kilasan peristiwa kebersamaan kami dan terlebih percakapan hangat walau cuma sesaat tadi. Axl sungguh ajaib. Tulus perbuatannya menjadikan benak ini turut menjadi damai.
Rasa-rasanya seperti bermimpi, namun semua ini begitu nyata terjadi. Aku menyerah. Kupejamkan bola mataku dan membiarkan semua terlintas dalam benakku.
Malam semakin larut, heningnya menembangkan kidung sayu tentang perjumpaan, kebersamaan, perpisahan, yang kesemuanya berujung pada… kerinduan.
"Kangen? Tadi Axl juga bilang ngga boleh kangen. Koq bisa tau? Bisa baca pikiranku? Ajaib!"
Sepanjang hidupku, baru kali ini aku betul-betul menjadi lupa dengan segalanya, bahkan lupa sekedar untuk menanyakan nama seseorang yang baru kukenal. Aneh rasanya. Axl tahu namaku, nama lengkapku bahkan, hanya dari melihat sekilas baju seragamku.
Ah, kenapa aku sampai kembali lupa untuk menanyakan nama? Apakah betul namamu Axl seperti yang Tasya bilang?
Terserah. Aku menyerah. Biarlah kupanggil Axl untuk saat ini. Siapapun namamu yang sebenarnya, aku tak peduli. Biarlah kunikmati hal-hal baik yang telah kaulakukan kepadaku seharian ini. Untuk ketulusan, kesederhanaan, kehangatan hingga keajaiban sikap yang telah kautunjukkan, terima kasih.
Pada akhirnya dapat kuakhiri satu hari ini dengan penuh rasa syukur. Betapa aku telah diingatkan kembali perihal hakikat hidup. Bahwa hidup ini akan menjadi lebih indah kala dinikmati, bukan sekedar dijalani. Bahwa perbuatan jauh lebih baik dibanding sederet kata, pun kalimat yang terkadang justru mengaburkan makna yang sesungguhnya.
Terima kasih Axl, atas tuturan dan ajaran sekilasmu perihal semua ini, perihal senja, kereta dan cappuccino yang masih juga menggantung makna dan artinya. Terima kasih pula untuk kebersamaan sepanjang hari ini, hingga hariku menjadi lebih berwarna.
…Dan pada akhirnya, baru kusadari sungguh,
kalaupun ada satu pekerjaan yang terbilang berat saat ini,
adalah berhenti sejenak sekedar untuk tidak memikirkanmu…