Chereads / Jangan Panggil Aku : Axl / Chapter 5 - Jangan Panggil Aku : Axl

Chapter 5 - Jangan Panggil Aku : Axl

Derit ponsel membangunkan lelap tidurku. Kulihat jarum jam di dinding belum juga merujuk angka enam. Sambil bermalas-malasan kubuka dua pesan pendek yang masuk.

"Siapa juga pagi-pagi gini ganggu… haaa???" kejutku ketika membaca sederet kalimat dalam ponselku :

'Jika saja hari tidak hujan, mungkin aku sudah ada di terasmu, menyeduhkan secangkir kopi, lengkap dengan setangkup roti isi.'

Lalu disusul :

'Tapi aku di Bogor. Tiada hari tanpa hujan di Kota Hujan ini. Setidaknya, boleh kan kalau sesekali kupinjam payung milikmu? Biar tetep adem hati ini.'

"Hihihi… ada aja ide kelakuannya." gumamku. "Eh, jangan-jangan beneran sudah di teras!"

Segera kulihat dari balik jendela kamarku. Tak ada siapa-siapa. Akan ada kejutan apalagi untuk hari ini? Kubaca sekali lagi pesan pendek tadi, lalu segera kubalas :

'Payungku dipinjam Pak RT, kalo 'yang punya payung' boleh koq dipinjam!'

Tak berselang lama, pesanku langsung dibalas :

'Ohh…'

'Koq, cuma ohh?'

'Ohh… sekarang buka kredit payung juga? Cicilannya berapa per hari?'

'Hahaha…'

Seperti tergerak oleh rasa penasaran dengan kelanjutan percakapan sepagi itu, segera kutelepon Axl alias lelaki Si Penjual Tissue itu.

"Hallo?"

"Hihi… sudah bisa buka mata kan? Sekarang mandi, terus ngaca, senyam-senyum sendiri, jangan lupa pakai baju, pakai parfum… eh, enggak usah pakai parfum juga Sherly udah wangi… terus…" tuturnya.

"Terus apaan?" sahutku.

"Terus jangan sampai…"

"Jangan sampai apaan?"

"Jangan sampai kangen terus!!!"

"Hahaha… iya nih… kangen…" tawaku lepas sepagi itu.

"Hihi… udah dulu ya… disambung nanti…"

"E-eh… bentar… ini hari Minggu, libur kan? Punya acara apaan?" tanyaku memotong kalimatnya.

"Hihi… tidak ada hari libur. Kalau tidak kerja, nanti tidak bisa makan. Emang kenapa? Mau bantu?"

"Boleh?" tanyaku sambil berharap dikabulkan.

"Tapi hari ini ruteku cuma sekitar Bogor kota, tidak ada kiriman arah Depok."

"Ya ngga apa-apa!"

"Terus ke sininya gimana?"

"Naik kereta!"

"Hihi… mau bilang apalagi ya kalau memaksa gitu… tapi nanti tidak boleh mengganggu lho!"

"Iya… iya… siap… lagian di pondokan sepi kalau hari Minggu gini."

"Ya udah, jangan naik Pakuan, naik KRL biasa aja, turun di Cilebut, nanti kujemput di sana."

"Ok… makasih ya… sampai ketemu nanti…"

Entah spontanitas apa lagi yang kupikirkan tadi. Yang jelas, pagiku jadi ceria. Seolah segala yang kulihat turut bersuka. Ada daya berlebih, demi sebuah janji untuk sebuah pertemuan, yang entah akan seperti apa jadinya nanti. Satu hal yang pasti, sudah lama tak kurasakan semangat yang begitu terasa hingga segala sesuatunya tampak begitu riang sepagi ini.

Ada senyum di ujung bibirku ketika teringat diksi lelaki di seberang telepon tadi. Kalimat itu bagai sebuah pengukuhan, seolah diri ini adalah miliknya seorang. Sudah begitu lama tak kurasakan perasaan seperti ini. Terakhir kurasakan getaran-getaran jiwa seperti ini adalah saat masih berseragam putih abu-abu. Selepas SMA, kuhabiskan waktuku untuk menekuni buku-buku di bangku kuliah. Waktuku habis untuk belajar dan belajar. Bahkan selama hampir tiga bulan magang kerja di klinik hingga saat ini sekalipun, waktuku seolah habis untuk urusan kerjaan. Aku seperti lupa dengan kebutuhan diri ini, bahwa aku membutuhkan orang lain untuk bersama menjalani hidup.

Sesungguhnya, siapakah lelaki berambut sebahu yang sanggup mencuri benakku ini? Entahlah. Benakku seolah berteriak, kapan lagi? Ya, kapan lagi aku akan melanjutkan hidupku, menjalin hubungan dengan orang lain selayaknya manusia sebagai makhluk sosial? Dalam pendeknya pertemuan dan perbincangan-perbincangan kami, selalu kurasakan sebuah damai. Di ujung percakapan kami justru rasa sunyi yang menggelitik dan sedikit membuat biru benakku. Ada sekeping rindu di tiap akhir percakapan kami. Sikap tulus dan apa adanya dari lelaki berambut sebahu ini seolah membuatku ingin kembali sekedar berbincang lebih. Perasaan damai ini selalu menyisakan getar-getar sendu dalam benakku. Entahlah.

Kereta mulai bergerak perlahan. Sepanjang perjalanan, sengaja tak ingin kurencanakan apalagi memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Biarlah kejutan demi kejutan melengkapi hari ini. Terjadilah yang mesti terjadi. Kereta terus melaju. Tak lagi kupedulikan orang-orang yang berdiri dan semakin berjubel ketika memasuki stasiun berikutnya. Benakku cuma mengingat dan terus mengingat satu kata: Cilebut!

Tiba-tiba saja satu kata ini menjadi begitu indah terngiang dalam benakku. Seperti apakah daerah Cilebut yang sanggup menyandera otak pemikiranku saat ini? Ada apakah di Cilebut? Akankah kutemukan sesuatu di sana? Cilebut mungkin hanyalah sebuah daerah di pinggiran Kota Bogor yang tak terlalu banyak dikenal orang, tak juga kukenal. Entah kenapa satu kata itu menjadi begitu ajaib. Dalam lamunan permenunganku sepanjang perjalanan, satu kata ini terus dan terus saja terngiang memenuhi benakku.

Ya, tadi aku diminta untuk turun di Stasiun Cilebut, yaitu setelah Stasiun Bojong Gede atau sebelum Stasiun Bogor. Kereta terus melaju. Setelah beberapa stasiun terlewati, akhirnya sampai juga. Ada sedikit kegugupan manakala kedua kakiku hendak melangkah turun dari kereta. Setelah tolah-toleh, ternyata aku sudah ditunggu di luar peron. Lelaki berambut sebahu itu melambai sambil membagikan senyumannya ketika melihatku.

Sejarah kebersamaan kami hari itu pun segera dimulai. Kegamangan benakku langsung sirna, berganti dangan rasa damai dalam tawa dan canda bersama sosok lelaki yang baru kukenal dua hari ini. Bahkan kemacetan dan kesemrawutan angkot di Kota Hujan ini seolah tak lagi menjadi peduliku. Ada rasa nyaman dalam tulus tatapannya. Ada rasa damai dalam kesederhanaan sikap serta tutur katanya. Kusadari berikutnya, bahwa tawa dan canda sepanjang kebersamaan siang ini menyisakan rasa bahagia. Benakku begitu bersuka.

Beberapa orderan dikirim ke pasar dan sebagian lagi ke hotel serta restoran. Sambil menikmati suasana hiruk-pikuknya Kota Hujan, aku hanya mengikuti kemanapun kedua kaki lelaki berambut sebahu itu melangkah. Senyumnya tak pernah lepas tiap kali kami bersitatap.

"Masih banyak kirimannya?" tanyaku.

"Satu lagi, tapi minta dikirim ke gudang. Kenapa?"

"Oh, kirain masih banyak."

"Hihi… mau ikut bantu juga?"

"Boleh… ternyata enak juga yah, kerjaannya keliling kota… bisa ketemu macem-macem orang juga."

Jalanan Kota Bogor yang sempit dipenuhi oleh angkot yang hilir mudik seolah tanpa aturan. Untung kotanya adem, tak sepanas Ibukota, agak lega otak ini jadinya. Setelah menurunkan orderan terakhir, kami segera pulang.

"Selesai… yuk kita pulang."

"Terus mau ngapain?"

"Yee… kerjaan di rumah lebih banyak daripada di jalan. Nanti selagi input tagihan hari ini, jangan ganggu seperti kemarin lagi ya. Duduk aja yang manis. Sambil mijitin juga boleh… hihihi…"

"Ogah!!!"

"Hehe… tar tak pinjemin buku-buku kartunnya Cici deh, biar ada kegiatan…"

"Cici? Siapa Cici? Pacar?"

"Anak tetangga sebelah… hahahaha…"

"Oh…"

"Hihi… cemburu ya?"

"Hehe… tapi koq, buku kartun?"

"Udah yuk, tar lihat aja di rumah bisa apa."

Rumah itu tak begitu besar. Standar perumahan type 36, dengan dua kamar tidur, ruang tamu dan lorong sekaligus ruang santai, kamar mandi dan dapur di bagian belakang yang sudah dibangun ulang.

Tak ada perabotan di rumah tersebut, selain peralatan standar memasak di dapur, peralatan tidur dan peralatan kerja di ruang tamu. Sebuah kursi malas diletakkan di teras. Di sudut halaman, ada sebuah gazebo sederhana yang terbuat dari bambu, dengan kolam kecil lengkap dengan gemercik suara pancuran di sampingnya.

"Ini rumah apa kantor?" tanyaku tak habis pikir.

"Ya rumah, ya kantor sekaligus gudang… hehe…"

"Oh… gitu…"

"Di ruang tamu ini semua kukerjakan. Pojok belakang itu kamar mandi dan dapur. Kamar yang ini, jadi gudang sementara kalau ada kiriman datang dan belum sempat menginputnya. Kamar yang itu jangan dibuka, itu istana pembaringanku. Terus yang di luar itu gazebo, tempat kuhabiskan waktuku untuk menulis…" terangnya begitu rinci, seolah tak ada yang ditutupi di rumah itu.

"Oh, suka nulis juga ya, nulis apaan?" aku terkejut.

"Ya menulis apapun yang ingin kutulis."

"Liatin dong… biar ngga ganggu kerjaanmu… hehe…"

"Tuh, di laptop, tapi jangan buka folder kiriman ya, isinya rekapan darurat yang belum sempat kupindah ke komputer. Selagi baca-baca, biar kuselesaikan rekapan ini dulu ya?"

"Ok… di luar boleh?"

"Hihi… di lapangan depan juga boleh… kalau nggak takut digodain Mang Dadang, satpam kompleks… Aduuh… Aduuh… Aduuh…" teriaknya setelah kucubit sekenanya.

Folder demi folder kubuka. Rapi penataannya. Runtut penanggalannya. Kulihat sekilas isi file-file dalam folder tersebut. Aku bisa tersenyum sendiri.

"Ini lebih dari sekedar diary. Kalau disatukan sudah jadi biografi…" gumamku. "Tapi kenapa berhenti sampai akhir bulan kemarin? Tulisan tentang kemarin koq tidak ada?"

Kulihat lagi sampai pada folder terakhir. Jariku terasa begitu berat untuk membukanya. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu tentang diriku pada folder terakhir itu.

"Nah, ini dia… oh, belum diedit rupanya…"

Kubaca dan kubaca lagi dan lagi, tulisan dua judul yang terdiri dari beberapa halaman itu. Benakku ternganga. Tidak ada cerita di situ. Tidak ada kisah di situ, selain tulisan tentang diriku. Ya, tentang aku selama dua hari kami bersama kemarin. Bukan tentang runtut peristiwa yang terjadi, bukan pula tentang bagaimana semua itu bisa terjadi, tapi tentang aku, tentang penilaian seorang sales tissue terhadap diri pribadiku seperti yang kukutip sebagian kecil berikut ini :

Kalau ada malaikat yang turun ke bumi, pastilah perempuan yang ada di hadapanku saat ini. Tirus wajahnya menyimpan kelembutan yang seolah tak ingin ditunjukkannya kepada semua orang, bahkan mungkin kepada seseorang yang diinginkannya.

Tak hanya manis, perempuan berselubungkan selembut kulit yang putih bersih ini tentulah baik budi hatinya. Sikap diamnya adalah bentuk lain dari kerendahan hatinya. Pemalu tapi manja, sekaligus menyembunyikan kehangatan hati.

Sayu tatapan matanya, menyisakan sendu dari masa lalu yang pernah dilaluinya. Perih mungkin, tapi perempuan serupa malaikat di hadapanku ini memiliki senyum yang pasti akan menggetarkan benak lelaki manapun di bumi ini.

Kalaupun ada satu hal yang kurang di mataku yang jarang terpejam ini, hanyalah lurus rambut hitamnya yang sudah melebihi bahu. Andai saja tak lebih…

Ajaib. Kubaca lagi penggalan terakhir dari tulisan itu dengan penuh ketakjuban. Lalu kubaca sekali lagi, dari awal sampai akhir. Sampai baterai laptop berbunyi hampir drop baru kututup dan kubawa masuk.

"Sudah selesai, membacanya? Bosan? Atau mengantuk?" tanyanya ketika aku masuk.

"Baterainya drop, chargernya dimana?" sahutku.

"Tuh, ditancapin situ saja, masih cukup ruang koq, ini juga sudah mau kelar. Bentar ya?"

Untuk sesaat sempat kuperhatikan dengan seksama lelaki berambut sebahu yang duduk menghadap monitor tepat di hadapanku ini. Mulutku terasa seperti membeku. Begitu banyak hal ingin kutanyakan, namun bibir ini seperti terkunci. Aku hanya bisa terdiam memandanginya. Sampai akhirnya komputer itu dimatikan dan lelaki itu berdiri.

"Done…" tuturnya sambil mencabut colokan komputer.

Aku hanya bisa tersenyum tanpa dapat berucap sepatah katapun.

"Pindah depan yuk…" sambungnya, sambil tersenyum dan membantuku berdiri.

"Makasih ya…" bisikku.

"Buat apa?" tanyanya begitu datar.

"Buat semuanya…" sahutku.

"Maksudmu?" lanjut lelaki itu kurang paham.

"Entahlah… sejak kemarin aku berusaha memahami semua yang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan sampai detik ini sekalipun aku masih bingung, semakin bingung lagi setelah membaca tulisanmu yang terakhir… tentang aku." jelasku.

"Oh, itu… ada yang salah?" tanyanya begitu datar, begitu santai, seolah hal yang biasa.

"Jujur aku tak menyangka, kamu bisa memahami dan menilai diriku seperti itu, padahal baru kemarin kita bertemu. Sampai detik ini sekalipun bahkan aku tak tahu namamu…"

"Hehe… sudahlah, yang penting tidak ada yang salah dengan semua itu kan?" hiburnya begitu santai.

"Ajaib… semua yang kamu tulis itu benar adanya. Koq, bisa-bisanya kamu menyimpulkan diri pribadiku dalam sekejab waktu?" heranku.

"Hehe… Lagi belajar aja, belajar untuk menghargai perempuan. Tidak ada yang salah kan?" balasnya.

"Pantesan aja kamu seolah bisa tahu apa yang akan kulakukan, kuinginkan dan kubutuhkan. Seolah kamu bisa membaca jalan pikiranku, bisa mengerti isi otakku…"

"Sudahlah… aku hanya sedang belajar. Kamu tahu kan, kita tak bisa memutar ulang Sang Waktu, oleh karenanya, aku selalu berusaha untuk menikmati setiap detik waktuku semaksimal dan sebaik mungkin."

Ada rasa kagum dalam pendek kata-kata penjelasannya. Begitu sederhana, namun cukup mengena dan benar sekali adanya. Aku tersenyum.

"Tapi kenapa aku?" kembali kutanyakan keherananku.

"Takdir kali… hihi…" jawabnya begitu santai.

"Curang!!!" protesku.

"Nah… senyum gitu kan cakep… aduuh…" selorohnya sementara jemariku sontak mencubitnya.

Untuk sekian detik waktu kami saling terdiam, tenggelam dalam pertanyaan masing-masing. Entah apa yang ada dalam benaknya, aku hanya merasa sungguh damai berada di dekatnya. Entah apa pula yang ia rasakan, yang jelas aku merasa begitu nyaman bersamanya.

"Dika… namamu bukan Axl… tapi Dika, kan?" tebakku begitu puas setelah mendapati nama lelaki ajaib ini dari tulisan-tulisannya sendiri.

"Hihihi… "

"Malah ketawa!!! Curang kamu, Dik!!!" spontanku mencubit lengannya. "Tapi kenapa orang-orang pada memanggil kamu Axl?"

"Hihi… mulai dari mana ya? Jadi bingung kalau terlalu dekat seperti ini…"

"Dika jelek!!!" protesku

"Jelek-jelek gini ngangenin kan? Aduuh… Udah, Sher… time out dulu!" protesnya ketika lengannya jadi sasaran timpukanku.

"Sambil jalan-jalan yuk…" lanjutku.

"Kemana? KUA?" balasnya santai.

"Jelek… Jelek… Dika jelek…"

"Aduuh… udah, Sher… udah." protesnya ketika tinjuku menghujami lengannya.

"Dika jelek!"

"Hihi… ke warung depan yuk… laper…" ajaknya.

Entah apalagi yang akan terjadi satu hari ini. Satu hal yang pasti, benakku begitu bersuka siang ini. Seolah aku lupa dengan segalanya. Kubiarkan semuanya mengalir sambil kunikmati semua ini.

…Akhirnya aku tahu,

Dika adalah nama panggilanmu,

wahai lelaki berambut sebahu

yang mewarnai hari-hari sepiku…