Di perjalanan aku terus berpikir kenapa aku baru tahu kalau kakakku itu seorang mata - mata, bagaimana cara kakqk bisa lari dari keluarga Li padahal keluarga Li termasuk ke dalam mafia pemberontak
"Apa yang kamu pikirkan Sani?" gumam Sonu menatapku dari kaca jendela mobil
"Aku? Tidak ada"
"Apa kamu masih terkejut kalau aku seorang mata - mata?"
"Ya bisa dikatakan seperti itu"
"Sudah ku duga..."
"Kakak kenapa bisa terlihat patuh dengan mereka!!"
"Patuh? Itu hanya trik Sani, kakak pergi dengan kalian saja kakak tidak memberitahukan mereka, kakak bilangnya kalau kakak ada pertemuan perusahaan" gumam Sony santai
"Kalau mereka tahu kakak bohong bagaimana?"
"Itu tidak akan terjadi, manipulasi lah caranya" gumam Sony santai
"Oohh pantas saja..." desahku pelan
"Jadi kak Sony mau diturunkan dimana?" gumam Fadil pelan
"Di bukit itu saja"
"Oh baiklah..."
"Ooh ya Sani, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Sony serius
"Rahasia.."
"Beritahu kakak Sani!!"
"Apa sih.. Kan aku udah bilang rahasia ya rahasia!!" protesku kesal
"Sani beritahu..."
"Maaf kak Sony kita sudah sampai.." gumam Fadil memotong pembicaraan Sony
"Ohh baiklah.." esah Sony membuka pintu
"Aku harap kalian berdua tidak melakukan hal yang konyol" gerutu Sony menutup pintu dan berlari memasuki hutan belantara
"Huuuh syukurlah, makasih kak"
"Tidak masalah, kalau kakakmu tahu apa yang akan kita lakukan pasti dia akan menentang" gumam Fadil menjalankan kembali mobilnya, aku melihat di kursi belakang dan mencari barang yang mencurigakan
"Kamu cari apa?"
"Mencari suatu pelacak atau apapun, takutnya kakaku meletakkannya di dalam mobil"
"Tenang saja, kalau ada alat apapun mobil ini akan menonaktifkan sendiri"
"Tapi kenapa kalungku tidak terdeteksi?"
"Karena tidak sedang dilacak jadi tidak ada pemberitahuan"
"Oh begitu ya..." desahku terduduk di kursi ku
"Jangan khawatir Sani"
"Hmm baiklah... Jadi dimana markas kita?"
"Di belakang gunung ini..." gumam Fadil menekan gas mobil
"Kenapa kakak ngebut?"
"Ini sudah hampir malam Sani, kalau kita tidak segera di markas mereka akan menemukan kita" gumam Fadil serius
"Ohh sudah jam tujuh ya" desahku pelan
"Ya makanya kita harus cepat - cepat kesana!!"
"Ohh baiklah...Emang masih jauh?" desahku pelan
"Tinggal di depan itu saja" gumam Fadil membelokkan mobil ke dalam hutan belantara. Tidak lama kemudian kami berada di depan sebuah gua yang tersamar karena ditutupi oleh semak dan pohon lebat
"Mari kita turun... Kamu langsung saja ke ruangan, aku akan menyiapkan anggota yang jadi umpan" gumam Fadil berlari masuk ke dalam gua
"Oh mmm baiklah" desahku berjalan ke dalam gua itu,
Di dalam gua aku melihat sebuah ruangan yang berisi sofa, meja, kursi, lemari makanan, dan kulkas. Di ujung ruangan terdapat sebuah pintu yang terbuat dari tanah, aku mendorong pintu itu dan melihat ternyata di balik pintu itu adalah ruangan persenjataan. Aku segera mengambil beberapa senjata yang aku butuhkan
"Sani... Sani!!!" teriak Fadil di luar ruangan
"Aku didalam!!" teriakku kencang
"Huufftt ku kira kamu di culik" desah Fadil di belakangku
"Aku dari tadi mempersiapkan senjataku kak"
"Oh baguslah, ayo kita berangkat"
"Sekarang?"
"Ya, ini sudah tengah malam. Umpan sudah memberikan sinyal"
"Oh baiklah" desahku mengambil chip di kalungku dan mematikan chip itu
"Tidak kamu buang saja kalung itu!!"
"Nanti kalau sudah saatnya, mana tidak mau aku masih istri Han dan juga aku masih terikat kontrak dengan Han" gumamku dingin dan berjalan keluar markas
"Bukannya kamu sskarang punya tiga laki - laki ya?"
"Ya tapi aku tidak menganggap mereka suamiku, aku ingin hidup sendiri. Lagipula aku bukan boneka yang bisa mereka permainkan dengan mudah" gumamku menaiki pohon di depanku
"Tapi bukannya kamu baru jadi mainan si kembar itu ya?" sindir Fadil dingin
"Iya... Tapi ya udahlah aku malas bahas itu, janji setia masa kecilku itu bukan yang sekarang" gumamku dingin
"Makamya kalau mengucapkan janji setia tuh dipikir lagi jangan asal ngomong"
"Ya ya kakak aku tahu" gerutuku kesal mendengarkan ocehan Fadil
"Eehh Sani tuh umpan sedang bertarung dengan musuh!!"
"Ohh..." dedahku turun dan membunuh anggota salah satu mafia dengan cepat dan naik ke pohon lagi
"Kamu masih saja cepat ya Sani padahal kami lama tidak bertarung"
"Ya begitulah, kalau aku tidak bisa mempertahankan keahlianku aku tidak pantas menjadi ketua mafia " desahku pelan dan kembali melanjutkan perjalanan
"Hmmm ..." desah Fadil
"Oh ya kak, emang sekutu kita udah bertemu musuh utama?"
"Kata Lan sih belum, cuma gak tahu lagi gak ada kabar"
"Oh ya semoga saja mereka tidak mati oleh musuh, apalagi kekuatan musuh setara denganku" gumamku kembali menghabisi musub di depanku
"Ya sih apalagi dengan rencana mereka, aku tidak yakin mereka bakal menang tanpa bantuanmu Sani"
"Ya aku tahu..." desahku memasukkan pedangku ke tempatnya
"Lalu kenapa kamu meminta pertolongan mereka berdua kalau kamu bisa melawannya sendiri?"
"Mereka orang yang ku kenal, kemarin kalau bukan karena Satria udah aku lakukan dari dulu, dan kalau Satria ada saat ini akupun tidak mungkin melakukannya"
"Dan aku harap Satria tidak ada di perang ini..." desahku pelan
" Ya semoga saja..." desahku menghentikan langkahku dan melihat ada seseorang di depanku
"Lama kita tidak bertemu ... Sani..." ucap seorang pria di depanku, aku melihat di depanku berdiri teman lama di perang mafia saat aku masih remaja dulu
"Ohh... Bima ya? Kamu sekarang ikut pemberontak ya?" gumamku dingin
"Ya, ku kira kamu ikut mafia pemberontak"
"Aku? Aku tidak ikut mafia manapun"
"Oh benarkah? Aku tidak percaya dengan perkataanmu!!"
"Kalau tidak percaya ya terserah, aku ada urusan jadi jangan ganggu aku..." gumamku dingin
"Oohh maaf kamu harus melewatiku dulu ..." gumam Bima dingin
"Benarkah? Aku tidak ingin membunuh orang lemah" gumamku dingin
"Heeh apa kau jadi pengecut Sani..."
"Heeh pengecut ya..." gumamku berlari dan menebaskan pedangku
"Ka... Kamu!!"
"Kan sudah aku katakan jangan ganggu..." gumamku memasukkan pedangku kembali dan kembali berjalan
"Sudah tahu kamu kalah dengan Sani tapi tetal saja melawan" gumam Fadil mengikutiku dari belakang
Tiiinngggg
Tiba - tiba terdengar suara handphoneku berbunyi dengan keras, aku membuka handphoneku dan ternyata ada pesan dari Han
Satria ada di tanganku, kalau kamu ingin mengambilnya dariku maka kita harus bertemu~ Han
"Hmmm..." desahku pelan
"Ada apa?" gumam Fadil bingung
"Satria di tangan Han"
"Benarkah? Kenapa bisa?"
"Gak tahu, Han ingin bertemu denganku..." gumamku membunuh orang - orang yang berlari ke arahku
"Kalau itu jebakan bagaimana?"
"Gak tau, mungkin Satria ada disini terus sembunyi - sembunyi mencari ayahnya" gumamku pelan
"Kamu tidak khawatir?"
"Khawatir kenapa juga, kalau Satria terluka aku akan membunuh Han"
"Tapi kalau kamu terlalu santai nanti Han akan membunuhnya loh!!"
"Ya aku tahu itu" desahku pelan
"Kamu masih saja sadis ya Sani..." gumam seorang pria di atas pohon
"Haiissh pengganggu lagi.." gerutuku kesal
"Aku hanya ingin berjumpa denganmu apa itu salah?"
"Apa maumu?" gumamku dingin
"Aku hanya ingin melihat wajahmu untuk terakhir kalinya sebelum aku membunuhmu" gumam seorang pria yang memakai topeng
"Topeng? Kayaknya aku pernah lihat ya tapi dimana?" gumam Fadil pelan
"Hahaha kalian tidak akan tahu aku siapa!!" tawa pria itu dingin
"Dia Dino, si pemakai topeng itu"
"Oh ya dia kalah melawanmu ya?" gumam Fadil bingung
"Ya.. Pria yang emosian itu"
"Hei aku sekarang hebat ya!!" protes Dino menyerangku
"Oohh yang meminta ampun padamu saat perang mafia dulu ya?" gumam Fadil dingin
"KALIAN!!!" teriak Dino menyerangku dengan dua pedangnya
"Oh dengan dua pedang sekarang ya? Tidak ku duga, tapi... Kekuatanmu masih tidak sebanding denganku!!" gumamku menebaskan pedangku dan Dino terjatuh di tanah
"Heeh membuang - buang waktuku saja" gerutuku kembali melanjutkan perjalananku
Semakin lama dipikir semakin benar perkataan Fadil, kalau aku tidak segera merebutnya kembali nanti Han bisa jadi membunuhnya apalagi masih ada Rafaela yang menyebalkan itu nanti anakku di sakiti lagi olehnya, jadi aku harus cepat - cepat menemui Satria