Ini adalah hari cerah yang dingin, jam menunjukan pukul tiga belas dini hari. Dava memandang lewat jendela kamarnya. Anak-anak kecil, sedang bermain dengan ikan kecil di antara genangan air sehabis hujan tadi. Sendu tawa mereka menggema kuat dalam lorong-lorong kamarnya. Dari jendela yang terbuka, Bau tanah basah tercium kuat, terbawa oleh hebusan angin February. Merasuki tulang-tulangnya, membuatnya mati rasa.
Cahaya siang membayang diufuk kepala dava, dan kehangatan yang dia dapat hanya sekedar pantulan jendela. Dingin itu, perlahan membuatnya kaku. Semakin enggan untuk bergerak. Semakin membuatnya nyaman duduk diujung kasurnya.
Menggantungkan kepala pada leher dan membungkukan badannya, hampir membuat dava tidur sepanjang siang itu. Hangat dari pantulan cahaya menembus kedalam Jendela dan terasa mengikat tulang dadanya untuk terus tegak. Walau dengan itu tetap rasa sakit menusuk dadanya
Dan akhirnya sakit itu lah yang membangunkannya. Sekali lagi dia memaksa diri untuk menutup mata, tetapi ruangan tampak makin putih dan menyilaukan. Di sudut kamarnya sama sekali tak ada keteduhan. Dan disela-sela itu semua menggema kembali tawa canda anak-anak kecil diluar.
Dia amat heran mengapa anak-anak itu tidak sekolah. Yang lain tampak seakan-akan tidak melihat, dan membiarkan mereka. Dia terus keheranan sampai akhirnya suara itu berhenti.
Dia merasa kesal. Tapi sedih pula. Kesal, karena harus terganggu. Namun sedih karena hilang kekesalnya.
Mereka, anak anak itu. Mengingatkannya akan hidup. Membuatnya merindu. Masa masa sebelum ini.
Cahaya perlahan menembus masuk jendala, seiring dengan bertambahnya waktu. Cahaya berjalan sampai akhirnya terpantul pada meja. Pantulannya menatap dia lurus-lurus, seakan-akan menunggu dia bangun, dan matanya tersilaukan dengan tatapan itu.
Dia menyerah dan akhirnya bangun. Dadanya makin lama terasa sakit. Kemudian dia berdiri dan mendekat kepada pantulan tersebut.
Dia duduk di meja kecil, dan melihat pantula cahaya itu.
Sebuah silet, putih menyilaukan, seolah-olah memanggilnya dalam pantulan itu, dalam bentuknya yang murni, yang memedihkan mata dan jiwa.
Dari laci meja dia mengambil buku, merobek sebuah lembar, dan membuka bungkusan siletnya lebar-lebar.
Lalu mengambil dan menaruh silet tepat dihadapannya, dia mengambil pena dan kembali duduk. Rasa tidak berdaya sepenuhnya menyelimuti dia.
Dava menenggelamkan penanya dalam botol tinta dan mengangkatnya kering sebelum kemudian menulis. Sebenarnya dia jarang menulis, terlepas dari pesan pendek. Karenanya hal ini masih baru untuk dia.
Menandakan kertas, dia menulis dengan ceroboh dan kecil.
"8 Februari…"
Entah mengapa rasa tidak berdaya itu kembali padanya.
Merenggangkan pinggang, dia kemudian merenung. Untuk siapa? Tiba-tiba pertanyaan itu terbesit, untuk apa dia menulis journal ini? Untuk masa depan? Untuk mereka yang belum lahir?
Pikirannya melayang tak bertapak, dan untuk pertama kalinya dia mengetahui beratnya hal yang dia lakukan. Bagaimana kita bisa berhubungan dengan masa depan? Memang sudah pada dasarnya mustahil pesan menembus ruang dan waktu. Antara masa depan dan sekarang tidak akan ada perbedaan dan pasti menyerupai masa sekarang, yang dalam hal ini tidak mendengarkan dia dan mungkin semua yang nanti dia akan tulis menjadi sia-sia.
Untuk beberapa saat dia memandang bodoh kertasnya. Meragukan niatnya menulis. Entah kenapa dia merasa kehilangan kemampuan untuk menulis, bahkan melupakan apa yang pertama kali dia sebenarnya ingin tuliskan. Untuk beberapa waktu dia telah menyiapkan diri untuk saat ini. Tidak terfikir olehnya yang dibutuhkan selain menulis itu sendiri adalah keberanian. Semestinya mudah, dia hanya menumpahkan bisikan benaknya kepada lembaran kertas, bisikan yang selama bertahun-tahun ini mengikutinya dalam gemaan.
Sekarang akan tetapi. Bahkan, percakapannya mengering. Ketukan detik, demi detik, kertas putih dihadapannya, dan sakit dadanya, itu saja yang bisa dia rasakan, jernih tampa gemaan, dan perantara.
Tiba-tiba dia mulai menulis, dengan rasa panik yang mendesak. Dia sendiri menyadari sedikit apa yang dia lakukan. Tulisannya segera memenuhi lembaran kertas dalam hitungan menit, menyandang huruf kapital besar pada awal kalimat dan melanjutkan dengan gaya lekukan anak-anak.
"8 February..."
"Mati. Kematian, adalah sebuah konsep kosong. Tidak ada gambar yang terlintas. Kegunaanya hanyalah, untuk yang hidup, sedang kematian itu sendiri tidak ada artinya. Antara nyatanya kematian itu Atau tidak nyata. Tidak ada yang tahu."
"Jika ia nyata, maka kematian tidak lebih dari tembok kosong. Jika tidak, bagi mereka yang meyakini, mungkin mereka ternyata benar, untuk orang-orang yang berbicara seolah yang mati terbebas dari penderitaan."
"jika itu benar. Aku tidak percaya orang mati menderita. Seolah-olah masih ada dalam mereka sesuatu untuk tidak dideritai. Tapi, Jika itu dusta. Maka kematian hanyalah Gerbang menuju sesuatu lain."
"Tidak ada "Ahli" dalam kematian. Kita semua sama, memulai dan mengahiri dalam keadaan Dungu, Bisu, Jahil. Hanya dengan sebuah metafor kita bisa nalar dengannya. Baik aku maupun yang lain, secara pribadi tidak akan merasakan kematian. Tidak peduli seberapa dekat dengannya, Kematian selalu pasti melampaui aku. Dan kematianku hanya untuk yang Hidup."
"Insting, menjauhkan kita dari Hidup, yaitu Kematian. Pikiran dan sifat manusia mengkungkung penalaran akan Hidup. Sejenak lupakan takut akan kematian, amati dari sudut pandang yang terlepas. Keberadaannya Maut, mengarahkan kehidupan, dan keduanya saling terikat satu sama lain. Tapi, untuk yang mati sendiri, kematian tetaplah Asing. Mustahil untuk diketahui."
"Pada akhirnya, ketidak mungkinan itu sendiri yang membuka Kemungkinan Bahwa dia dapat dituju. Membuat kematian bukan sebagai tujuan akhir tapi loncatan untuk yang lain. Awal yang baru. Awal yang kuinginkan…. "
"Untuk menghilangkan bisikan-bisikan itu, menghilangkan suara-suara itu, menghilangkan teriakan itu... "
Rasa sakit dalam tulang-tulangnya tiba-tiba membesuk dalam-dalam. Perlahan menggrogoti renggang dadanya. Ia menggigit keras-keras giginya, mencoba, berharap sakitnya akan hilang.
"Pergi, pergi, pergi." Dava berbisik dalam hatinya.
Tidak dapat menahan sakitnya, tidak punya kehendak atas dirinya. Dia menutup mata, dan airpun berjatuhan dari matanya.
Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal, dan dia menggigil kesakitan. Dengan semua upayanya sia-sia kembali dia Menundukan kepala, dan berharap semua ini akan berakhir….
——————————————————
Saat senja muncul akhir dari nasibnya mengikuti. Badannya menjadi tenang, tangannya meregang, dan hangatnya suasana menawarkan hati.
Dia menegakkan kepalanya, dan menyentuh cahaya sore. sentuhan cahaya itu menghangatkan pucat wajahnya.
Dia menghirup dalam-dalam angin sore, Dan untuk sesaat dia lupa. Lupa akan sakit. Lupa pada surat yang ditulis. Dan lupa pada nasib yang berakhir seperti ini.
Entah mengapa sore seperti ini, selalu mengingatkan dia akan masa kecil dulu. Mungkin karena pergantian warna langit atau perubahan suasana, dia selalu menantikan sore. Duduk dipelataran kamarnya, matahari tampak bulat sempurna.
Langit yang pada mulanya biru cerah perlahan tenggelam, memerah. Tiupan angin perlahan berubah mengikuti dan haluan lambannya perlahan tercekik habis.
Terasa nafas-nafas akhir siang, yang berganti tugas dengan malam. Sore sebagai puncak perubahan, sore sebagai tumpuan balik perubahan. betapa dia merindukan perasaan itu kembali.
Sekarang dia memandang lewat jendela, merindukan masa-masa itu. Kencannya, dengan senja. Dia meminta maaf karena tidak dapat melihatnya lagi. Perlahan, dan dengan pasti. Langit memerah, sampai merah cahayanya menyakitkan mata.
Diapun menutup mata, anehnya ruangan tampak hitam menyejukkan. Dihadapannya terhampar keteduhan, dan setiap lekukan ruang, pantulan cahaya redup, terlukis dalam bentuknya yang murni, yang memanjakan mata.
Pada waktu itulah, puncak senja. Dia menikmati setiap detik yang berlalu, sebelum pada akhirnya langit luruh menghitam Dan malam tiba.
Melanjutkan surat, ia mulai mengukir lembaran-lembaran baru.
"Aku tidak berhenti, walau teriakan itu Menggema dibalik benakku. Merongrong ku jatuh, dalam-dalam. Mungkin sudah saatnya memulai lembaran baru. Berganti layaknya langit. Jika ini takdir yang ditetapkan maka Biarlah sore! yang menyaksikan, lembaran baru Hidupku."
Dengan ini dia menutup kertas itu dan menyimpannya rapih di atas meja.
Lalu Perlahan, dia menarik lekukan bajunya hingga sikut. Udara dingin dan rembulan menemaninya, dan lewat jendela yang terbuka bau malam dan Tanah pekat masuk.
Perlahan nafasnya memberat. Menatap balik tatapan yang memanggilnya sejak awal, dan dengan setiap gerakan rasanya semakin berat. Dia mengambil kembali, silet yang terhunus tadi.
Tangannya bergetar. Mendekatkan silet itu menuju nadi, dia dapat merasakan dinginnya malam pada silet itu.
Tangan terus begetar dan dia terus berusaha untuk melawannya. Memaksanya untuk tenang, membuatnya menerima. Tapi, manusia tetap hanyalah hewan. Kita bahkan tidak dapat melebihi insting kita sendiri. Insting untuk hidup. Lalu terpaksa lah dia untuk mengokohkan kembali niatnya, dan melawan alam.
Saat hendak menebas urat nadinya sendiri. Tiba-tiba, teriakan-teriakan memekakkan telinganya.
bisikan, yang selama dia hidup menerpa kembali ingatannya.
Suara itu.
Lagi,
Dava… Davaa…davaaa…kemari....
"AAAaaaaa…"
Dia berteriak, menenggelamkan suara itu dengan miliknya. Panggilan itu menarik-narik dadanya, menariknya hingga terlepas, hingga keluar.
Tiba-tiba dia terdiam membeku tak bergerak, walau hati, mata, semuanya bergetar. Dia menggigit lidahnya, untuk menghentikan semua itu. Tapi hanya darah yang keluar dari sela mulutnya.
Seakan dengan itu membuang semua suara-suaranya. Seolah dia terbebas dari panggilan, teriakan dan raungan yang selama ini dia alami.
Seketika gigitan itu telah Membebaskannya, dia menghembuskan nafas dengan lega. Tangannya yang masih bergetar tadi, dia angkat untuk mencoba menghapus tetesan darah dari mulutnya.
Namun mulutnya terasa pekat saat dia hendak menghapus. Melihat pantulannya di kaca, mukanya telah berubah menjadi merah darah.
Dia lihat tangannya robek, terluka. Siletnya terjatuh menggenang dalam darah. Perlahan pandangannya menjadi samar.
Dia jatuh. Dan disela-sela akhir hidupnya, terasa sebuah tangan menahannya kepalanya terbentur. memeluk kepalanya kedalam pangkuan.
Dalam kesamaran matanya, dava melihat sebuah sosok hitam menunduk, melihatnya dari atas.
Sosoknya hitam, pekat dan dingin. Namun disaat bersamaan sejuk, damai dan menenangkan.
Kemudian dia berkata, "Kemari, Kemari anakku. Kau yang telah ditinggalkan rahma dewa… akan kuberikan milikku… sebuah perjanjian setara… sebuah keadilan..."
Dia tersenyum, dan disana dava tahu siapa dia…
Iblis…