Menyingkirkan kenangan itu Dalam pikirannya, Dava membasahi handuk dan mengusap wajah serta rambutnya dari noda darah dengan berulang kali sampai benar-benar bersih.
Dia kemudian melihat dirinya dari pantulan kaca, memperhatikan dengan detail setiap lekungan wajah, tumpukan Rambut, dan kumis dari noda darah yang masih tersisa dan dengan segera membersihkan kembali jika ada yang terlihat dan menempel.
"Ayo lah hilang." Bisiknya, sangat berbahaya bagi seorang non-gereja untuk berlumuran darah seperti dia. Walaupun monster berkeliaran di pinggiran kota, biasanya Hanya monster kecil. Seperti bayangan, manohara atau puaka air.
Bayangan adalah monster sebesar anjing dan hanya memangsa hal-hal kecil, dan bahaya yang mereka pancarkan hanyalah untuk anak kecil. Karena dia memikat mereka dengan lidahnya yang seperti permen, atau biasanya serangga merah kecil dan lalu menggigit Mereka dari belakang dan membawanya pergi. Itupun hanya pada waktu tertentu, waktu memangsa mereka sangat terbatas matahari, karena badannya yang hitam dia Hanya bisa memangsa dalam cahaya bulan sehingga lidahnya bisa menyamar layaknya serangga.
Manohara dan puaka air juga sama, hanya ikan besar yang memangsa dalam perairan. Seperti hiu atau buaya, mereka memangsa tapi dapat mudah dikalahkan Jika memiliki peralatannya, dan lagi Mereka juga bahaya untuk anak kecil.
Dikota besar, sebesar Dorian ini jarang sekali berkeliaran monster besar. Karenanya jika dia terlihat berlumuran darah orang akan menyangka aku membunuh manusia, bukannya karena melawan monster atau melawan mutant.
Dan penjagaan pemburu cukup ketat belakangan ini, semenjak naiknya jumlah monster-monster mereka jadi menambahkan personel pemburu untuk jaga-jaga.
Mutahil baginya untuk tak perduli darah ini. Harus segera dibersihkan. Orang-orang mungkin Hanya melihat tapi para pemburu, mereka berburu.
Kembali dia menggosok wajah dan mukanya. Darah yang dia keluarkan begitu kental dan lengket hingga membutuhkan berkali-kali bilas hingga warnanya pudar dibadannya.
Handuk yang awalnya berwarna cream usang, berubah menjadi maron darah. Sabun yang dia pakai telah habis dan saat dia ingin membasuh kembali wajahnya, air yang mengucur tiba-tiba mati.
Dia mengetuk-ngetuk saluran pipa pada keran itu, tapi yang keluar Hanya percikan kecil, sisa-sisa dari yang tadi dia pakai.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar mandinya dengan keras.
Dor! Dor! Dor!
Dia langsung berlari menuju pintu dan menahannya.
Apakah pemburu Sudah disini? Sejak kapan mereka tahu darah itu? Jangan-jangan ada yang mengintip ke kamarnya selama ini?
Dia bersiap-siap membuka pintu itu. Menempatkan badannya tepat dititik buta pintu, dia akan membiarkan pemburu masuk lalu menusuknya dari belakang. Dia mengeluarkan silet yang dia bawa dalam sakunya dan menodongkannya keluar, siap untuk menerkam mereka dari belakang.
Dan saat di membuka pintunya, terdengar suara lantang dari sebelah pintu itu.
"Hah.. kamu sudah gila." Kemudian seseorang menarik pintu itu kembali, terdengar suara bantingannya menggema dalam koridor. "Siapa yang mau masuk kesana. Kamu pikir aku mau mandi bareng denganmu? Huh, jangan mimpi.."
Ternyata Lizzy, dia pikir, dan bersantai..
Ternyata hanya Lizzy. Bersyukur sekali dia mendengar suara Lizzy yang mengoceh kali ini, dan bukan pemburu bisu yang hendak menerkam mangsa.
Menyandarkan badannya pada pintu, dia perlahan duduk dan menghelakan nafas. Beruntung aku kali ini, dia berpikir, beruntung sekali dia, tidak ada yang membuka kamarnya.
Melihat tangannya yang telah siap membunuh, dia tersenyum dan kembali memasukan siletnya diantara saku celananya. "Ironis…" dava berkata, Dia yang ingin dibunuh sekarang jauh lebih siap untuk membunuh. Apakah ini manusia? Hanya sebatas hasrat membunuh dan dibunuh.
Klek…Klek…
Suara apa itu? teringat lagi dia pada lizzy. Tapi bukannya itu suara kunci?
"Lizzy bunyi apa itu?." Dia langsung berdiri dan berbicara menghadap pintu. "Oii. Lizzy."
"Aku hanya mau bilang, air tadi sudah aku matikan. Kamu terlalu lama mandi makannya aku cabut salurannya."
"Kamu barusan mengunci pintu ini? Lizzy. Jangan bercanda denganku." Aku berkata dan melihat mukanya di celah pintu "Sekarang juga. Buka Lizzy."
Dia tersenyum, dengan senyum yang mengolok-olok. "Hehe.. Sudahku Bilang bukan waktu itu. Kalau kamu menghabiskan lagi air akanku kunci didalam."
"Jangan Sekarang lizzy. Aku ada perlu."
"kamu selalu Bilang itu." Lizzy berkata dan pergi menuju koridor sambil melambaikan tangannya. "Kalau sudah bisa keluar bilang aku ya…"
Dasar! Anak itu. Tidak tahu kah dia kamarku sekarang seperti tempat pembunuhan. Kalau dia saja yang buka tidak apa, tapi kalau sampai orang lain bisa jadi bahaya. Mereka mungkin akan langsung melapor pada pemburu, dan lansung mereka berlari-lari kesini. Atau bahkan mereka para pemburu bahkan sudah mencium darahnya, dan sedang dalam perjalanan kesini…
Para pemburu memiliki menciuman yang sangat tajam, atau lebih tepatnya aura yang sangat besar. Mereka dapat merasakan aura bahkan lebih dari satu kilometer. Aura darah, monster dan orang dapat mereka rasakan dan kalau ada bahkan satu pemburu sedang iseng berpatroli kewilayah ini, kebagian luar kota, Cukup satu saja yang merasakan. Mereka akan segera memanggil yang lain dan memulai pemburuannya. Dan saat mereka berburu, mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan mangsa mereka.
Kepala dava berdenyut-denyut. Letih dia memikirkan kebodohan anak itu. Padahal umur Lizzy sudah dua puluh tahun tapi tingkahnya lebih keanak-anakan dibandingkan dengan adiknya dulu.
Entah mungkin karena orang tuanya tidak mengajarkan, atau karena mereka jarang ada disini, yang pasti tingkahnya yang keanak-anakan sungguh merepotkan.
Sekarang yang dia harus lakukan adalah mencari jalan keluar, tapi dimana? Dia melihat kamar mandi itu, memperhatikan setiap lekukan ruangannya, setiap kayu yang terpasang, apa mungkin dia copot atau ada celah diantara kayu-kayu itu?
Dia mencoba menggeserkan keran, berharap dibelakangnnya ada sebuah jalan rahasia. Tapi sia sia
Kemudian dia mencoba mendorong kayu-kayu itu, tapi sia-sia pula dan yang terakhir dia mendobrak pintu kamar mandi itu. Namun semua itu sia-sia.
Pintunya bahkan tidak bergerak sedikitpun. Mungkin benar mereka menamakannya kayu besi, karena kayu itu layaknya besi.
Dava duduk kembali pada tempatnya tadi, dan mulai berifkir. Sampai akhirnyaterbesit sebuah ide. Dia bangkit, berjalan kemudian berhenti.
Dia tepat berada dijendela kamar mandi. "Semoga saja semua berjalan lancar." bisiknya, sembari berharap kalau ini merupakan pilihan yag benar.
Mengeluarkan kepalanya dia menoleh ke kanan dan kiri.
Disana, pikirnya, itu kamar aku Hanya dibatasi oleh dua kamar.
Tapi saat dia Melihat kebawah, jauh sekali rasanya dia dan tanah.
Dia meludah untuk melihat seberapa jauh tanah itu.
Cuh.. satu.. dua.. plakk…
Hanya dua detik! Hanya butuh dua detik untuk dia jatuh dan menabrak lantai di bawahnya. Davapun menjadi ragu dengan niatannya, walaupun ini sepertinya cara yang tercepat untuk kembali.
Kemudian dia menarik kembali kepalanya dan kembali berfikir ditepian jendela.
Untuk apa aku takut? pikirnya, bukankah aku memang sejak awal ingin bunuh diri? Kenapa mundur sekarang. Kalau aku berhasil aku bisa segera membersihkan Darah dan kita aman, tapi kalau aku gagal dan mati juga tidak ada ruginya. betul! Kenapa aku takut.
Dengan itu maka dia membulatkan tekatnya dan keluar dari Jendela.
"Tapi," bisiknya dalam hati, "semoga saja aku sampai. Bagaimana nantinya nasib Lizzy kalau aku sampai ditangkap pemburu."