Dava sampai dikamarnya letih dan terengah-engah. Nafas habis dan pandangannya kabur karena terlalu payah.
Mengambil kursi meja, dia duduk, dan untuk sementara kehilangan tenaga untuk bahkan tegak dalam duduknya. Dia hanya bisa tersandar lemas pada kursi tersebut. Dihadapannya, kamar yang berlumur darah.
"Dasar, Lizzy." dava berkata disela-sela nafasnya. "Coba saja dia buka pintu kamar mandi, semua ini mungkin telah selesai sekarang. Tidak! Mungkin sekarang aku sedang makan dan bersantai dalam kamar ini. Bukannya malah bersusah payah untuk bernafas."
Dava telah masuk ke kamarnya dengan memanjat jendela. Dia keluar dari kamar mandi dengan Hanya handuk dan mengaitkan tangannya pada bata-bata yang membangun apartment itu, perlahan dari satu bata ke bata lainnya dia memanjat, seperti cicak saja, pikirnya, dia memanjat. Beruntung sekali dia karena tidak ada orang lain diluar saat ini. Semuanya sedang pergi, entah untuk bekerja, berjualan atau berburu, tapi yang jelas jalanan kosong siang itu, seperti siang hari biasanya.
Walau saat dia rencanakan seakan terlihat mudah, hanya kaitkan satu tangan pada bata dan yang lain bergerak, kemudian kakinya berpindah pada bata yang lain, begitu seterusnya, tapi saat Barusan dia mencobanya sangat berbeda dari yang diharapkan.
Tangannya licin karena sabun dan hampir beberapa kali dia melakukan terjun bebas pada lantai bawah. Usaha Kakinya tidak lebih mudah, karena sehabis mandi kakinya yang biasanya kasar menjadi licin bersih, dan setiap kali dia menginjak bata berlumut kakinya terselip. Butuh hampir beberapa menit dia berusaha untuk bahkan maju satu langkah, namun akhirnya dengan perlahan dia berhasil menyeberang ke kamarnya dengan selamat.
Pada waktu itu terdengar olehnya lonceng berbunyi, menandakan waktu telah siang. Rasanya baru saja dia selesai mandi pagi, tapi sekarang hari telah berubah, dan sinar lembut yang masuk menghangatkan badannya telah berubah menjadi panas dan membakar.
Dia bangkit dan menutup jendela kamarnya. Entah mengapa sinar matahari membuatnya tidak nyaman, baik untuk dilihat maupun dirasa semenjak kejadian itu.
Setelah mendapat kembali nafasnya, dava berbalik dan menatap genangan darah yang dia tinggal semalam. Genangan Darah itu telah mengental, dinginnya malam telah membuatnya lengket dan menggumpal.
Lantai kamarnya hampir semua tenggelam dalam darahnya, warna kayu muda yang membuat kamar itu seolah hidup telah tertutupi oleh maron pekat, dan saat dia usap sebagian dari kayu tersebut, darah itu seakan-akan telah meresap dalam hingga seratnya. Garis-garis serat kayu itu telah Penuh terisi darah.
Dia membuka handuknya, membungkuk dan menggosokkan sisa-sisa darah dilantai. Entah apa yang dilihatnya, tapi ada yang aneh dengan darah-darah ini. Tekstur, warna dan bahkan volume darahnya tak mungkin sebanyak ini. Darah sapi yang sebanyak ini, bukan orang, pikirnya, dan kenapa darah ini seakan meresap pada apa saja yang dia sentuh. Handuknya Penuh tersimpan darah meski baru beberapa usapan saja.
Akhirnya Lantai telah dia bersihkan. Tapi cipratan-cipratan yang lainnya belum. Dia membuang handuk yang penuh darah itu, kedalam tempat sampah dan mengambil baju yang dia kenakan sebelumnya.
"Ini Cukup kalau hanya membersihkan cipratan-cipratan kecil." Dia berkata, Kemudian melipatnya hingga seperti lap.
Pada meja belajar terlihat buku catatan miliknya. Di sebelah kiri buku catatan itu ada setumpuk buku, tersusun rapih dan berjumah sekitar delapan.
Dindin di sebelah kanan meja itu melekat pipa putih keabu-abuan yang menonjol jelas dari tembok kayu dibelakangnya. Lampu dinding tersambung dari pipa itu.
Sedikit Darah terlihat disana. Dia mengambil buku catatan dan mengusap sampulnya dari darah. Dia tidak bisa mengingat kejadian malam itu. Kenapa begitu banyak darah, kenapa meja belajarnya tak tersentuh darah tapi catatannya terkena. Seakan ada Kabut tebal yang menutupi kejadian malam itu, seperti ada yang menginginkannya lupa pada malam itu. Dia Hanya mengingat Bahwa dia melakukan bunuh diri tapi Hanya sebatas itu, tidak lebih.
Menaruh kembali catatan bukunya, dia kemudian mematikan lampu dinding. Lampunya memiliki gaya klasik barat. Ukurannya kecil dibandingkan dengan lampu pada umumnya, dan hanya dilapisi kaca dari sisi depan dan pinggirnya. Dia berjalan kepojokan kamarnya lalu memutar meteran gas dari instalasi mesin yang terlihat menonjol pada dinding temboknya. Perlahan roda gigi dan bantalan mesin itu berputar
Clink! Clang!
Dan untuk beberapa menit, dava memperhatikan meteran gas itu turun,
3… 2… 1… 0…
Dan lampu dinding beserta lampu kamarnya padam. Tiba-tiba mulut vertical sang mesin terisi oleh sebuah koin, dan dia ambil. Warnanya kuning tua dan memiliki kilau perunggu. Bagian depan koin diukir dengan tulisan "Republik Durin." Dan ada angka "1" terukir dibelakangnya.
1 sen, pikirnya, mata uang paling dasar dari Republik Durin. 1 sen ini setara untuk satu hari gas, satu biji roti, satu kilometer kereja kuda, dan satu hari kerja para buruh pabrik. Meskipun ada tiga Jenis koin lainnya, silver dan mas, dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan adalah ini. Seseorang harus membeli beberapa barang berbeda hanya untuk menghabiskan satu koin. Memang begitu kehidupan di kota Dorian.
Berjalan kembali pada meja belajarnya, kali ini pandangannya tertuju pada Revolver putih yang tergeletak pada mejanya.
Dava tak tahan selain bertanya, mengapa tidak bunuh diri dengan revolver? Mengapa aku begitu cepat mengahiri diri hingga menggunakan silet? Semua ini menjadi mistery baginya. Entah mengapa tapi semakin hari, semakin dia lupa sakit yang apa yang dia alami sampai harus mengahiri dirinya sendiri.
Dia mengambil revolvernya pada tangan, dan memerhatikan tiap ukirannya. Kemudian duduk dan berfikir.
Click..Click..Click.. tangan kanannya secara tak sadar bermain dengan pelatuk revolver, menarik pelatuk dan kemudian melepaskannya kembali pada silindernya.
Dia ingat akan pertemuannya dengan Iblis, janji yang dia tawarkan kepadanya. Rasa khawatir dia akan kegelapan, dan kehampaan putih yang berupa mimpi itu. Tapi apa ganti yang Iblis tawarkan? Itu dia telah lupa.
Karena tak kunjung ingat dia kemudian, menaruh kembali revolvernya pada meja dan membersihkan sisa Darah yang terlihat pada tungku dikamarnya.
Tungku itu terlihat besar dan memiliki cerobong hingga langit-langit kamar. Berguna sebagai penghangat juga tempat memasak, tungku itu juga terbuat dari perunggu dan memakan sebagian besar Tempat dikamarnya.
Tepat sebelah tungku, terletak ornamen-orname ibadahnya. Tetapi Dupa dan lambang gereja kebajikan telah jatuh dan hancur. Dia mendekat pada pojokan kamarnya dan mengambil lambang gereja kebajikan. Sabit dan bilah. Simbol kebajikan…
Wush! WUsh! WUSH!
Terdengar suara api dalam tungkunya berkobar. Dia telah melemparkan lambang itu pada api. Dan api itu melahapnya dengan tamak, membara hingga keluar dari tempatnya, seakan tertawa bahagia, mengingatkannya pada sang Iblis…
Dia tersenyum dan pintu kamarnya tiba-tiba terbuka....