Apa… Mati!?
Jarinya menarik dan menekan, menarik dan menekan, dan terus dia ulangi, tapi hasilnya tetap sama, revolvernya tidak menembak. Pelatuknya tidak berfungsi.
Click… Click…Click…
Bunyi itu terus mengulang tampa ada penutupan. Suara ledakan yang dia harapakan tidak datang.
Tidak mengetahui apa lagi yang harus dia lakukan, dava menekan pelatuk besi itu hingga jarinya tak kuat lagi untuk bergerak.
Kemudian sebuah ide melesat dalam benaknya. Sebuah ide gila yang tak terpikir. Dia akan menggunakan ganggang revolver itu untuk bertarung, dengan memegang selongsong pendek revolver, ganggannya akan cukup keras untuk dipakai memukul.
Dava mengembalikan besi itu dalam sakunya dan mengatur kembali genggamannya. Setelah dia menggenggamnya dengan erat, dia menariknya keluar dari saku.
Sesaat sebelum dava memukul kepala sang pemburu itu terdengar sebuah suara memanggil.
Ini suara madame smith!
Dia menoleh pada suara itu, terlihat madame sudah membuka pintu dan menariknya kedalam. Sebelum pemburu itu dapat mengerti apa yang sedang terjadi madame sudah mengkhubahi mereka dan menyuruhnya untuk pergi.
"Kalian ini pemuda-pemuda." katanya, dengan tangan pada pinggang dan suara lantang. "Tidak adakah kerjaan lain kalian? Hanya menggangu pelanggan-pelanggaku saja kalian. Sana pergi!"
Mereka terkejut, begitu pula dava. Matanya berkedip-kedip tak percaya, Dia memandang madame kemudian para pemburu. Aura pemangsa para pemburu seketika itu berubah. Mungkin ini pertama kalinya ada seorang rakyat yang berani melawan mereka. Akhirnya para pemburu mundur.
"Hahaha…" Sang senior tertawa terkejut, sambil menjauh dari pintu sang pemilik toko. "Baiklah madame smith. Baiklah kita akan pergi."
"Bagus. Sana! kembali saja pada sudutmu, jangan ganggu pelangganku lagi." Madame berdiri di pintu, menghalangi dava dari pandangan mereka.
Sudut mulut mereka muncul, melengkung membentuk senyuman. Tampak kekaguman di wajah mereka. "Terima kasih dava atas kerjasamanya. Kau juga madame."
dia membungkuk lalu pergi meninggalkan dava dan madame smith berdua dalam toko.
Seketika bada dava melemas, pundaknya membungkuk dan kakinya tak kuasa ingin duduk.
Hampir saja hidupnya berakhir disini, pikirnya, perjalanan hidupku berhenti. Beruntung sekali ada madame disini, kalau saja dia tak berani untuk berbicara mungkin aku sudah….
Menghelakan nafas, dava menarik salah satu kursi dan duduk. Kursi itu, seperti halnya kursi yang lain, tidak ada yang istimewa, hanya kursi kayu tampa bantalan pada tempat duduk dan sandarannya.
Sehingga saat bersandar membuat tulang-tulang dava terasa ngilu tak nyaman. Tulang ekornya yang menonjol tidak membuat yang lain menjadi mudah, karena membuat dia harus duduk satu sisi setiap waktunya.
Toko itu juga tidak mengagumkan sama sekali. Semua tembok yang mengarah pada jalan memiliki kaca-kaca besar yang membuat Pelanggan Melihat kue-kue atau roti. Semua bisa Melihat proses pembuatan roti-rotinya, dengan bahan-bahan dan segala peralatannya di pamerkan. Madame smith pernah berkata kalau ini merupakan salah satu publikasi supaya orang dapat percaya pada roti yang dibuat. Tapi sejujurnya, tampa semua itu orang-orang akan tetap membeli karena ini satu-satu toko roti enak yang murah.
Saat masuk ke dalam toko, lantai kayu, meja bundar kecil serta kursi-kursi kecil juga menghiasi toko roti itu. Bunga-bunga juga selalu disiapkan oleh madame pada setiap mejanya, sehingga ketika masuk kedalam toko harum bunga akan segera menyambut. Dan ini semua belum ada apa-apa kalau dibandingkan dengan harga roti yang madame jual. Benar-benar tidak seimbang dengan nuasa tempat yang madame telah bangun. Walau hanya membeli satu buah roti madame tetap memperbolehkan mereka tinggal dan bahkan bermain disini.
Begitu nyaman rasanya disini, dan banyak sensasi nostalgia saat mencium bunga-bunga madame. Madame juga hanya mengambil bunga putih untuk tokonya, entah karena memang wangi, atau karena awet, yang pasti itu membuat seluruh tokonya putih indah bagaikan surga. tempat paling nyaman untuk berintirahat dari keributan pasar.
"Tidak sekarang pemburu," bisiknya dalam hati," panggilan maut mu telah gagal."
Kemudian dia tertawa, sambil menyandarkan seluruh badannya pada kursi.
"Jangan tertawa kamu." Madame duduk, menuangkan air padanya seraya berkata. "Tadi itu hampir sekali kamu di culik oleh pemburu. Jangan pernah lagi kamu menantang maut dava, Nanti pada akhirnya semua juga akan kalah jadi tidak usah di tantang."
"Menantang maut? Hahaha." Jawab Dava sambil tertawa. "Itu tadi sangat tipis madame. Seperti ini," —dia memperlihatkan kedua telunjuk jarinya pada madame— "Aku hampir saja diculik oleh pemburu, dan itu semua hanya karena aku berbau darah. Kalau bukan karenamu madame, aku mungkin Sudah mati dan lizzy sekarang akan…"
"Iya, iya cukup." Madame berkata, dan melambaikan tangan kepadanya sambil menoleh ke arah lain. "Tak usah di bahas lagi. Lagi pula mana mungkin aku biarkan mantan anak buahku di culik."
Walau dia padai menyembunyikan perasaannya tetap dava masih bisa Melihat dengan jelas, perasaan lega di wajahnya, Mungkin dia lega karena telah berhasil menyelamatkannya, atau mungkin karena alasan lainnya tapi yang pasti dia telah menyelamatkan dava dan itu lah yang terpenting sekarang.
"Ngomong-ngomong, tadi kamu bicara soal darah. Apa maksud mu?" Dia bertanya.
"Tidak bukan apa-apa," dava melambaikan tangannya, berusaha menghentikan asumsi madame. "Hanya saja kemarin, Lizzy pulang membawa ayam, entah dari mana. Lalu kami potong tampa mencari tahu siapa pemilik ayamnya. kami potong dan makan. Mungkin karena buru-buru kesini aku lupa membersihkan darah yang menempel pada bajuku."
Tersadar Dava pada ucapan madame. Dia mungkin sudah keceplosan mengatakan darah kepada madame. Semestinya tidak dia katakan tentang darah itu. Karena tidak mungkin, dia menjelaskan bahwa dia bunuh diri, atau bau darahnya entah mengapa terus melekat padanya.
Itu tidak masuk akal. Pertama darah yang dicuci tapi masih mengeluarkan bau, dan yang kedua soal dia bunuh diri. Jadi Pilihan dia hanyalah membual walau pada madame, teman lamanya.
Menyipitkan mata, dia mendekat lalu berbisik. "Darah tidak mengeluarkan bau setelah dicuci, apalagi kamu sudah berganti baju, yakan?"
Dava terdiam bodoh, mendengar madame berkata hal itu. Dia tidak bisa menjawab apapun. Kebohongannya terpampang jelas di dahinya. Dia telah lupa bahwa kemarin dia juga telah datang ke toko madame untuk membeli roti. Mungkin madame menyadari bajunya yang berubah, atau mungkin umur dan pengalamannya yang membocorkan kebohongan dia, yang jelas dia sudah tertangkap basah dengan kebohongannya.
"Hahaha." Madame tiba-tiba tertawa terbahak, "Dari dulu memang kamu tetap saja sama ya… selalu saja termenung saat kamu berbohong.." Dia melanjutkan tawanya sampai hampir jatuh dari kursinya.
Dava hanya bisa menggaruk-geruk kepalanya, malu dan tak berani untuk mengatakan apa-apa karena kebohongannya telah terbongkar oleh madame…