Chereads / Kemanusiaan dalam maut | Janji sang Iblis / Chapter 6 - Chapter 6: Sesuatu yang baru

Chapter 6 - Chapter 6: Sesuatu yang baru

Spontan Dava berpaling, dan melihat Pintu kamarnya sudah terbuka lebar.

Lizzy, baru saja membanding pintu kamarnya terbuka. Matanya melebar dan nafasnya terengah-engah. Dia terkejut melihat dava sudah berada di kamarnya, dan juga merasa bersalah melihatnya ada disini.

Terpampang senyum diwajahnya. Dia memberi setengah senyuman, senyuman memaksa.

Mungkin karena merasa bersalah, atau mungkin karena menganggap semua ini lelucon, atau bahkan mungkin karena dia tidak tahu harus melakukan apa lagi selain ini. Tapi yang jelas dia memaksa senyumnya, sembari menggaruk-garuk kepala.

"Hehe….He…" bisiknya canggung dan berjalan mendekat. "Jadi kamu berhasil keluar dari kamar mandi Dava?"

"Apa kamu benar-benar menanyakan hal itu Lizzy." Dava mengerutkan dahinya dan ekspresinya mengeras. Berdiri, dia berbalik dan menutup kembali Tungku perunggu yang terbuka di sudut kamarnya.

"Ayolah Dava. Jangan lah kamu marah dengan ku." Lizzy dengan manja membujuknya.

"Marah!?" Dia menolehnya, lalu mendekat...

Lizzy tersentak, mendengar suara dava melonjak. Belum pernah dia melihatnya begitu marah. Bahkan saat kejadian adiknya, dia hanya nestapa, seperti kehilangan arah bagai orang linglung, Tidak mengetahui dimana rumahnya berada. Tidak seperti ini. Ada yang membara dalamnya mencari sesuatu untuk dilahap.

Kedua tangan dava menggenggam badan Lizzy erat-erat.

Lizzy melangkah mundur, berusaha perlahan untuk keluar dari kamarnya, dari genggamannya. Tapi dava menangkap dia ditengah-tengah langkahnya, dan lizzy berhenti mencoba untuk mundur lagi.

Badannya terasa ditekan. Tangan dava bukan seperti ini, pikirnya, Tangannya selalu saja lembut. Tidak pernah dia merasakan tangannya begitu dingin walau sudah lama memengang tungku yang membara tadi.

Dan perlahan rasa dingin itu menjulur dari lengannya menuju pundak, tangan, dan akhirnya badan.

Lari? Tidak! Aku baru saja menguncinya di kamar mandi, seberapa kejam aku sampai tidak bisa lagi percaya kepadanya, hingga harus lari dari amarahnya. Tidak, aku tidak harus begitu.

Tetap dia mengukuhkan niat bahwa dava ini adalah sahabatnya, mungkin dia hanya akan membentaknya sebentar, lalu dia akan kembali seperti biasa. Karena memang biasanya pun begitu, pikirnya, sembari berusaha menghilangkan pikir-pikiran lain, Walau dalam sudut pikirannya dia yakin bahwa dava telah berubah.

Bukan! Bukan berubah, tapi ada yang bertambah dari dirinya, tapi apa itu?

Lizzy dengan ragu membalas tatapannya, dan menoleh ke arahnya. Wajah mereka berdua hanya dipisahkan oleh sejengkal jari, nafasnya yang berat terdengar jelas oleh Lizzy.

Takut? tidak, bukan itu. Benci? Tidak, itu juga bukan.

Lizzy dengan bersusah payah, mencoba mengerti orang didepannya. Orang yang Sudah dia kenal selama yang dia ingat, orang yang tumbuh Bersama dengannya, Orang yang membantunya saat sakit, Menghiburnya saat bersedih. Sahabat yang sekarang tidak dia kenali.

Untuk beberapa saat dava menatapnya, tubuhnya yang lebih pendek membuat dava harus menunduk untuk bisa jelas melihatnya. Sambil masih menggenggamnya dava melangkah lebih dekat.

Kurus dan tipis, hanya itu yang dia rasakan. Lengan-lengannya begitu kecil, seakan hanya kulit yang membalut daging. Kulitnya pucat, entah dari lahir atau karena kurangnya matahari, dia tidak pernah bisa memastikan. Matanya walau Indah, coklat dan bulat, tapi nampak cekung dan hitam.

Dia genggam badannya erat-erat, Begitu lemah dan rapuh.

Jiwanya yang berdebar-debar dari api amarah perlahan luruh. Tidak lagi dia ingin membentaknya. Membuatnya takut dari dia.

Pelan-pelan dadanya terasa hampa, bagai bara yang membakar kayu, hanya abu yang tersisa untuk kemudian ditiup angin. Amarahnya perlahan terganti oleh iba, dan berubah lagi menjadi sesal.

Dia menyesal. Berapa lama sudah lizzy dipegangnya? Dengan hati yang berdebar-debar, nafas yang mendengus, dan tangan yang dingin.

Tersadar dia akan aura membunuhnya. Dia telah muncul dan menunggu mangsa, dan amarahnya yang berdebar tidak membuat keadaan membaik.

Tapi lizzy, gadis yang penurut dan baik, hanya diam dan menunggunya, seperti rusa yang membiarkan dirinya diterkam singa, dia hanya diam dan pasrah atas takdir.

Tidak! Dava tiba-tiba melepaskan tangannya. Hanya setipis lembar kertas jarak yang tadi memisahkan dia antara lizzy. Dia mundur dan duduk pada ujung kasurnya.

Mengikuti isyaratnya lizzy pun ikut mundur hingga sampai pada pintunya.

Setelah beberapa menit, keadaan semakin canggung. Lizzy pada mula hanya ingin bergurau soal kejadian kamar mandi itu, dan bertanya bagaimana dia bisa keluar.

Karena setelah beberapa saat lizzy mengunci pintu itu, dia perlahan membukanya kembali dan menuggu dava untuk keluar.

Duduk di depan pintu kamar mandi lizzy lama-kelamaan menjadi khawatir, dan akhirnya membuka kamar mandi. Ketika Lizzy tidak mendapatinya disana, dia menjadi panik, Melihat Jendela terbuka dia berlari dan mencarinya diluar jendela. Dia bahkan sampai ke lantai bawah untuk mencarinya, dan akhirnya berlari ke kamar dava, berharap menemukannya tak terluka. Karena itu dia mendobrak pintu dan masuk kedalam. Tapi mungkin itu semua tidak tepat untuk sekarang. Untuk apa pula dia menceritakannya?

Akhirnya Lizzy mendekat kembali dan memulai pembicaraan untuk menghilangkan suasana canggung yang membelenggu mereka sekarang ini.

"Maaf dava… Aku tidak mengira kamu akan memanjat keluar jendela."

"Sudah tak apa." Dava berkata, tangan bersandar pada kaki dan wajahnya menunduk seolah malu pada dirinya tadi.

Melihat dava murung dalam kasurnya, membawa dia kembali pada kejadian-kejadian beberapa tahun lalu. Saat dia dibuang orang tuanya karena kejadian adiknya, mereka menghapus namanya bahkan dari silsilah keluarganya. Bahkan ayahnya merasa lebih malu memiliki anak dari pada tidak memiliki keturunan.

Merasa traumanya kembali dihiupkan pada keadaan ini, lizzy akhirnya mendekat dan duduk tepat sebelahnya. Walau masih tersisa sebagian kecil hatinya yang menolak untuk mendekat.

"Jadi…" dia memeluknya dari samping "Berhasil juga kamu kabur dari kamar mandi."

Sedikit terkejut oleh pelukannya, dava perlahan menoleh kearah Lizzy. Tersimpul manis senyum diwajahnya, tulus tidak seperti saat pertama masuk.

"Pasti!" Dava membalas senyumnya dan juga pelukannya. "Aku ini Dava. Harus membutuhkan lebih dari pintu untuk menghalangiku masuk ke dalam kamar ku sendiri." Kemudian tertawa dengan tawa yang dibuat-buat.

Lizzy membalas tawanya, "Hehe…" kemudian bergerak lebih mendekat dan memeluknya sepenuh badan.

"Oiya Lizzy." Dava teringat dan mencoba lepas dari pelukannya. "Lonceng gereja sudah berbunyi sudah saatnya aku pergi."

Saat dava hendak berdiri, lizzy mengencangkan pelukannya. "Sebentar. Sebentar lagi." Dia berbisik, seolah malu di dengar oleh orang lain selain mereka.

Menghela nafas, dava akhirnya menurut dan diam. Dari dulu memang dia itu hanya anak-anak, manja dan Banyak tingkah.

Kemudian dia tersenyum sendiri, terhibur dengan pikirannya.

"Setidaknya masih ada kamu disini." Bisiknya…