Silau. Itu yang pertama kali dia rasakan. Entah mengapa semuanya putih. Dava kesulitan melihatnya tampa merasakan sakit. Dia sedikit membuka pandangannya. Setengah tertutup dia memaksakan matanya untuk terus terbuka, melawan silau sorotan cahaya-cahaya itu. Maka perlahan matanya membiasakan diri dan sudut-sudut ruangan itu terbentuk.
Semua ini putih, pikirnya, tak ada cahaya yang masuk dan keluar, tak ada bayangan yang membayang, hanya putih yang terbentang sejauh mata memandang. Seakan-akan lautan, putih itu tidak memiliki batas, membentang jauh mencapai ufuk barat dan timur.
Dia berbalik, dan masih, hanya putih yang membentang. Dia menunduk, putih. Dia menatap langit, putih. Dia berjalan, menuju putih. Akhirnya dia berhenti dan bertanya.
Dimana aku?
Apa mati?
Apa ini surga?
Pertanyaan demi pertanyaan mengitari pikirannya tampa henti. Apakah ini kematian? Jika iya, berarti aku benar. Tak ada sesuatu lebih dari kematian dan saat kita mati, selesai.
Aneh, maut Hanya sebatas dari ini. Dava mengharapkan lebih banyak sakit dan darah dari ini. Dia kemudian turun dan memegang tanah tempatnya beranjak. Dia genggam tapi kosong.
Apa ini?
Kembali dia genggam, mengambilnya dengan keras dan memastikan bahwa kali ini benar-benar dia genggam. Tetapi saat diambil, tanah seakan menghilang, lenyap dari tangannya. Ini bukan tanah, pikirnya, kemudian dia bangkit dan melanjutkan jalannya.
Melihat ke kanan ke kiri dia berharap ada sesuatu selain putih yang bisa dia rasakan. Tapi entah kenapa perasaannya disini terasa seperti tak asing. Tiba-tiba dari kejauhan ada sebuah titik hitam,
"Apa itu?" Dia mempercepat jalannya dan titik itu mendekat.
Ruangan putih disekitarnya terasa diam statis, tak bergerak bahkan terpengaruh. Derap kakinya yang menginjak tanah putih, tak berbunyi kecuali menggemakan kesunyian yang seakan-akan mengurung ruangan itu dalam kapsul waktu. Tak berubah, tak berkembang dan tidak juga mati.
"Jadi ini artinya keabadian," dia berfikir, kemudian termenung, "Untuk apa hidup kalau hanya akan menjadikan kehampaan. Itu bukan hidup, Hanya tidak mati saja."
Dia melamun dan tiba-tiba berlari. mungkin ketakutannya pada pikiran tadi, Atau mungkin yang lain, membuat dia berlari mengejar sosok tersebut.
"Tidak." Dia berkata "Aku tidak akan menjadi kehampaan, aku sudah hidup terlalu lama untuk itu. Aku tidak akan membiarkannya kembali lagi."
Kemudian langkahnya berubah dari jogging menjadi sprint, begitu bersungguh-sungguh dia berlari sampai terfikir olehnya bahwa dia bisa dari ruangan ini, meluncurkan diri pada sosok itu dan memintanya untuk kembali.
Nafasnya memberat, dadanya sakit dan kakinya menjerit. Tetap dia paksakan untuk lari. tapi untuk apa? Untuk siapa? Dari siapa dia lari selama ini?
Pikirannya terus melayang, berbisik untuk membuatnya berhenti. Tapi seluruh badannya, jiwanya bergetar ketakutan. Kemanusiaanya membuat dia lari. Instingnya untuk hidup membuat dia lari, dan terus lari hingga sosok hitam tersebut berubah menyerupai orang dalam pandangnya.
"Oii kamu.." Dia berteriak memangil.
Anehnya, semakin dia mendekat, semakin tak asing sosok itu.
"Oii bentar.." dava memanggil. Kemudian sosok itu berbalik dan dia berhenti. Seluruh badannya menggigil, dan dia menatapnya lurus.
"Iblis…" bisiknya
Iblis berbalik, dan mendekat. Seketika cahaya putih ruangan tersebut seakan tertahan masuk kedalam dari pandangannya.
Bayangan pekat hitam menyelimuti seluruh badannya, tangan kakinya hanya segumpal hitam yang membentuk, dan dari wajahnya uap abu mengepul menggumpal mengisi tempat yang semestinya wajah berada.
Dava termangu diam tak kuasa mengerakkan apa-apa dalam tubuhnya. Lututnya tak kunjung bergerak. Tangannya meluruh mengantung pada pundaknya, dia seakan terpaku oleh pandangan sang Iblis.
Semakin mendekat dia, semakin dava merasakan insting yang lebih untuk kabur, melarikan diri kembali pada cahaya dibelakangnya. Namun entah mengapa dia tidak bisa dan yang lebih aneh jiwanya menjadi lebih tenang semakin dia mendekat.
Jiwanya terpanggil pada dia, tapi insting menolaknya kembali. Terus pertarungan jiwa ini dia rasakan, membelah badannya dari kepala hingga kaki. Sampai akhirnya dia tepat berada di hadapannya.
"Kenapa kau menolak anakku?" Suaranya menggema pada sudut-sudut ruangan
"….." dava terdiam, tak Kuasa untuk berkata dan Menggelengkan kepalanya.
"Sini, duduk." Dia mengayunkan tangannya pada tanah, dan sebuah kursi putih muncul dari dataran putih itu. "Duduk."
Mengambil kursi itu, dava duduk dan melihat sekitarnya. Sekelilingnya hitam seketika, cahaya seakan tertahan masuk kedalam lingkaran mereka, dia bahkan bisa melihat kilatan-kilatan kecil cahaya yang mencoba masuk.
"Apa aku mati?"
Dia menggelengkan kepalanya.
"Apa kamu Iblis?"
Dia menganggukan kepalanya.
"Apa mau mu?"
Dia tersenyum dan berkata "Kamu anak yang ditinggal rahmat dewa. Kamu lahir terkutuk oleh hidup. Seluruh kematian yang disekelilingmu merupakan kebusukan para dewa. Mereka memberi tampa mengambil, mereka memberkahi tampa perlu imbalan, itu semua dusta belaka."
"Apa? Aku tak mengerti? kutukan? Rahmat dewa? Apa semua itu." Dava berkata sambil mendekat, dalam hatinya timbul kecurigaan, dia tahu bahwa dia terkutuk, dia tahu bahwa kematian disekitarnya adalah kutukan, tapi untuk menuduh dewa, menyalahkan semua padanya?
"Mereka yang kau sebut para dewa." Dia berkata, suaranya bertambah dingin "Hanyalah munafik. Mereka memberi kepada sebagian dan mengambil sebagian lainnya, mereka memberkahi dengan imbalan yang teramat berat. Hidupmu anakku, adalah kutukan dari berkah yang mereka berikan. Karena setiap berkah harus ada kutukan, dan kutukan itu mencari siapa dari kalian manusia yang semestinya paling di berkati. Kau adalah dosa para dewa."
"Mustahil." Aku berkata. "Mana mungkin aku mempercayai mu. Dewa lah yang membuat semua ini, mereka kebalikan hal dari semua yang jahat di dunia ini. Tidak mungkin mereka begitu kejam, ini pasti kesalahanku, pasti kesialanku sendiri yang membuat hidupku sengsara."
Seketika matanya membara. Api keluar dari sela-sela matanya dan seluruh abu pekat itu berubah menjadi bara api. "Diam dan liat! Pernahkah kamu bertemu dewamu?"
Dava terdiam. sungguh dalam hidupnya belum pernah dia melihat dewa, berkah mereka hanyalah dogeng untuknya, bahkan kesatria gereja tidak pernah menampakan diri dalam desanya. Mereka terpaksa bertarung sendiri dengan monster dan mutant. Darah dan besi lah yang paling mendekati berkah untuknya ketimbang cerita jauh soal kebajikan para dewa. Maka terdiam lah dia tak sanggup menjawab sang iblis.
"Siapa yang kau liat dihadapan mu sekarang." Dia menunjuk dadanya, dan mengepakan bayangannya. Pekat hitam dari kepakannya menyelimuti tempat terakhir cahaya putih masuk, membuat dia duduk sendiri dalam kegelapan. "Aku yang paling nyata bagimu, aku yang paling berhak dipanggil berkah para dewa untuk, dan aku juga yang selalu ada disisimu."
Dava kembali terdiam, berfikir dan melihat sekelilingnya, warna putih ruangan itu telah dirobek olehnya, terlihat cakaran-cakaran yang membekas, dan warna hitam pekat telah menggantikan tembok-tembok ruangan. Lalu dia kembali dan melihat Iblis dalam-dalam. "Kalau begitu, apa mau mu?"
"Janji setara antara dua mahkluk." Dia tersenyum, dan wajahnya berkobar membara layaknya api bertemu minyak. "Keadilan yang selama ini kamu inginkan. Kehidupan tampa sakit."
"Lalu apa yang kau akan dapat dari ini?" Dava berkata dengan keraguan yang ditutup-tutupi.
Senyumnya berubah menjadi tawa, tawanya menjadi kekehan, dan tangannya menjadi perjanjian.
Dia mendekat hingga nafasnya tercium olehku dan berkata "Kepercayaan mu."
Badan dava tiba-tiba terkujur kaku mendengar itu. Sejak tadi sang iblik membara yang dia rasakan hanya takut, instingnya berkata lari, kematian terpampang jelas didepannya dan saat sang iblis berkata janji semua ini seakan menjadi lebih nyata dari sekedar hidup.
Dihadapkan dua Pilihan maut, dia merasa seluruh kekuatan dalam badannya ingin melarikan diri, dia tahu janji dengan iblis hanya akan mendapatkan kematian yang mengenaskan, tetapi tidak berjanji pun berarti memeluk kehampaan ruangan putih. Walau seluruh badannya memanggil kehampaan itu, menantikan kematian.
Jiwanya tidak. Jiwanya terpanggil tawaran sang iblis. Jiwa yang tak diberkahi. Jiwa yang dikutuk para dewa. Tergiur akan Janji setaranya.
"Aku tau apa yang harus aku pilih." bisiknya.
tekatnya telah bulat maka diterjanglah segala yang menahannya. Dia ambil tangan sang iblis. Dan janji setaranya dimulai…
Sang iblis tertawa terbahak dan tersenyum "Semoga beruntung.."
Tiba-tiba seluruh kegelapan terhisap kedalam tangannya, bara apinya sang iblis hilang, seluruh ruangan berlari menuju kehampaan dirobek masuk kedalam pusaran tangannya. Kursi putihnya seketika habis temakan oleh pusarannya. Dia berusaha menjauh tapi perlahan dirobek kedalam. Wajahnya terasa ditarik terkoyak, badannya terbelah dan kaki tangannya terpisah berbenturan masuk kedalam pusaran hitam. "Aaaaa…" dia berteriak, melihat badannya hancur, melebur menjadi satu, yaitu hitam…
(dan hal yang terakhir dia dengar adalah tawa iblis yang menggema)
————————————————————————
Dia tersentak bangun, kepalanya sakit, dan matanya samar. Mencoba berdiri, dia memegang ujung barang dibelakangnya dan perlahan membuka kembali matanya. Tampa dia sadari, dia telah kembali. Kasur, meja, Tempat duduk semuanya masih ada.
Merasa ada yang basah dibawah, dia melihat kebawah kakinya, dan darahnya masih menggenang di lantai.
"Itu ternyata bukan mimpi." pikirnya, Kemudian melihat tangannya, dan sayatan disana Hilang, hanya Membentuk luka panjang.
Terdengar suara ayam berkokok dan dia melihat jendela. Matahari Pagi perlahan menjulur masuk dalam kamarnya. Tiba-tiba dalam genangan dibawah ada yang menyilaukan, sebuah pantulan, dia melihat dan mengambil siletnya.
"Mungkin silet ini juga sebuah kutukan. Supaya para dewa bisa membuang dengan cepat kutukan yang Mereka buat." Dia membuang nafas, lalu berjalan mendekati jendela. Melihat para anak Kecil bermain, dan berifkir, sungguh hari yang melelahkan…