Chereads / Kemanusiaan dalam maut | Janji sang Iblis / Chapter 3 - Chapter 3: awalan baru

Chapter 3 - Chapter 3: awalan baru

"Aku butuh mandi." Dia bergumam, selagi melihat dirinya pada cermin. Wajahnya yang pucat tertutup oleh darah, rambutnya basah dan baju putih yang dia kenakan sekarang berwarna merah karena tenggelam dalam genang darah.

Pasti sudah lama ketika dia tenggelam dalam genangan darahnya sendiri, karena seluruh badannya sekarang telah terbalut oleh darah, dan setiap kali dia berjalan terasa rembasan air dalam sepatunya, menciut saat dia injak dan mengembung ketika dia angkat, seperti spons yang menyerap air. Hanya saja ini bukan spons atau air, tapi Darah dan sepatu.

Setelah memastikan butuh mandi, dia membuka laci meja dan melihat Hanya tersisa potongan kecil sabun. Dia mengambil potongan itu dan kemudian handuk usang miliknya, yang tersimpan pada gantungan jaket tepat disebelah meja. Kemudian berjalan keluar untuk ke kamar mandi yang di sediakan penyewa apartment di lantai dua.

Iya, aku harus membersihkan noda darah ini, pikirnya, atau orang-orang akan segera Curiga Darah siapa semua ini. Tidak apa-apa kalau mereka hanya curiga. Tapi kalau mereka memanggil para pemburu? Akan menjadi masalah karena sekalinya pemburu sudah berburu, mereka tidak akan berhenti.

Koridor diluar, meski pagi tidak mendapatkan cahaya sedikitpun, Semua jendela yang ada hanyalah untuk kamar. Koridor inipun menjadi gelap dan samar. Hanya sebuah lampu yang bergantung pada setiap tiga meter, menerangi itu juga hanya untuk bentuk jalan dan pintu-pintu kamar.

Dava mempercepat langkahnya saat dia berjalan menuju kamar mandi umum, dengan perasaan yang berat dan menegangkan.

Semenjak kejadian.. itu.. (sampai Sekarang dia belum berani menyebut namanya) kegelapan membuatnya bergetar. Seakan dia berjalan melalui mimpi, walau menenangkan tapi membuatnya takut.

Sesampainya disana, ternyata cahaya matahari masuk menerangi kamar mandi umum itu. Dia merasa tenang. Telihat seluruh bentuk ruangan kamar mandi itu, dengan keran dan shower, dan jendela besar yang masuk dari langit-langit kamar mandi dan depan.

Dava berdiri di depan wastafel dan memutar kenop keran. Ketika mendengar percikan suara air dia teringat pada adik, Ellanor.

Mereka sering bermain, dia dan ella, Di sungai, dekat pada apartment yang Sekarang dia tinggali. Makannya dia teringat ella setiap ada percikap air. Ella tidak tinggal bersamanya, dia tinggal di desa Tempat keluarga mereka berada. Jadi hanya beberapa hari dalam sebulan bisa ella menjenguknya ke kota. Dia diantar oleh ayah kita yang sekalian menjual kayu dari desa.

Dava sering melihatnya datang, saat pagi hari seperti hari ini. Biasanya mereka datang dengan kereta kuda. Dua kuda didepan menarik bongkahan-bongkahan kayu desa, dan bongkahan kayu tersebut sekilas Terlihat biasa saja seperti halnya kereka kuda yang lain dengan barang biasa. Tapi saat mendekat, jelas nampak ada dua orang didepan kereta kuda itu, satu orang tua dengan kupluk hijau dan satu lagi anak kecil dengan ikatan Rambut yang berkilau.

Saat mereka melihatku dari jendela kamar mandi, Ella biasa menyelinap diantara kayu-kayu dan berdiri jinjit sambil berseru "Iiiii kakak belum mandi! bauu…" kemudian melambai terus hingga sampai pada depan apartment.

Dava tertawa dan melambai balik padanya. "Iya nii, aku mandi dulu yaaa.."

Kemudian dengan terburu-buru dia mengeringkan badan dan memakai pakaian terbaiknya untuk menyambut mereka. Menyisir rambutnya, memakai parfum dan merapihkan pakaiannya. Dia tak ingin mereka tau hidupnya dalam kesulitan.

"Kakak…." Ella berlari dan memeluk dava. "ayo kita main kak."

"Sebentar Ella, kamu harus beres-beres pakaianmu dulu."

"Ok." Ella dengan riang mengambil tasnya dari tangan ayahnya, dan menyeret tasnya masuk.

"Udah ella gausah biar kakak saja yang bawa." Ayah berkata.

Tetap ella tidak mendengar, dan berusaha sekuat tenaga menyeret masuk tasnya hingga masuk kedalam pintu apartment. Walaupun dia berumur baru lima tahun dan tas yang dia bawa dua kali lebih besar dari badannya, dia tetap menarik tas tersebut. Sampai akhirnya berhasil masuk kedalam pintu apartment, lalu baik dava maupun ayah tidak lagi dapat melihat kaki mungilnya menarik tas kesulitan.

"Ingat ini dava, beberapa bulan ini monster banyak berkeliaran. Kamu harus terus melihat adikmu bahkan saat bermain disekitar sini."

"Iya, iya, iya." Dava mengangguk, "Aku tau ayah. Karena itu aku beli ini." Dia menoleh pada besi di samping celananya.

"Revolver!" Ayahnya terkejut, kemudian berbisik dengan hati-hari "Kamu tahu kalau gereja sampai melihat kamu, non-gereja mempunya Ini… kita bisa mati."

"Tenang yah. Mereka tidak akan tahu." Dava berkata, memastikannya. "Lagi pula sekarang aku bertambah aman bukan dengan ini, kalau ada monster tinggal aku tembak."

"Kamu tidak mengerti dava, Besi tidak akan membuatmu lebih aman, justru sebaliknya." Ayah membuang nafas, tak tahu apa lagi yang harus dia nasehati pada dava, lalu berjalan kembali pada keretanya. "Jangan sampai kamu gagal pada adikmu seperti kamu gagal pada pekerjaan mu disini, nak. Untuk kerja kamu bisa mencarinya lain waktu, tapi kalau adik…"

Kemudian dia naik dan memecut kedua kudanya, dan perlahan kereta tersebut maju, layaknya gunung kayu yang bergerak, satu roda demi satu roda.

Dava dan Ella berdiri tepat di depan pintu masuk, dibawah teriknya matahari mereka terus melambai kepada ayah dan ketika mereka hendak masuk, dava menoleh dan kembali melihat ayahnya.

Untuk sesaat terlihat oleh dava, keletihan ayahnya, seorang penebang pohon yang hidupnya hanya untuk memberi makan keluarganya. Dia tidak menginginkan apa-apa dalam hidupnya. Tidak ada dosa atau kebaikan dalam dirinya, hanya seorang pekerja yang menafkahi keluarganya, dan untuk sepersekian detik itu, matanya berkaca dan hatinya bersedih, mengapa tidak dia diberi kemudahan? mengapa para dewa tidak memberinya rahmat?

Ingin rasanya dia menangis, dan memanggilnya kembali. "Tidak, jangan kau bersedih, Aku akan membawa bebanmu ayah. Aku akan membantumu. Tunggulah sebentar saja, hingga aku bekerja dikota baru nanti aku bantu." Kata-kata itu Sudah terkumpul dalam lidahnya, tapi kenapa tak kunjung terucap.

"Kenapa aku tak berani menyampaikannya." Bisik dava "Tunggulah, tunggu, akan kubuktikan padamu. Aku akan berhasil!"

Lalu Ayah menengok dan melihat Dava, yang berdiri setengah masuk kedalam apartment, dan kembali wajahnya berubah, dengan senyuman dan topeng.

kalau bukan karena Ella yang memanggilnya masuk, Dava mungkin tak tahankan diri untuk menangis, atau mungkin memanggil ayahnya, mungkin juga memohon maaf atas kesulitanya. Tapi yang pasti, dava hanya terdiam waktu itu, dan kemudian masuk tampa membalas senyum ayahnya.

Sedikit yang dia tahu bahwa ini adalah pertemuan terakhir dia dan ayahnya.

Setelah mereka berpisah dengan ayahnya, Dia dan Ella kemudian membereskan barang-barangnya. Menaruh jaket pada gantungan, sepatu pada rak sepatu dan berganti pakaian dengan piayama rumah.

"Kak, ayo kita main." Dia menarik-narik ujung baju dava. "Aku ingin main dekat sungai itu. Di desa tidak ada sungai, aku penasaran ingin main sebelum nanti beku."

"Sudah sore ini ella. Besok kita main pagi-pagi bagaimana?" Aku mengelus-ngelus kepalanya, dan menunduk agar sejajar dengan wajahnya. "Ya?"

Dia menggelengkan kepala, "Tidak mau. Aku maunya sekarang, dari kemaren dijalan terus. Aku mau main."

Sejenak dava berfikir, Apakah bijak bermain pada sore ini. Bukankah Sekarang monster sedang banyak, dan minimnya patroli dari gereja membuat susah meminta tolong pada siapapun.

Dia ragu, mungkin sebaiknya kita tunda dulu mainnya, atau main dikamar dulu juga bisa, Tapi kemudian tangannya memegang revolver di pinggangnya dan keraguan dihatinya hilang.

Seolah revolver itu memberikan keyakinan. Dia berasa menjadi kuat, tangannya sigap menembakkan timah besi pada siapapun yang mengancam, dan kalau yang terburuk menjadi nyata, dia bisa dengan mudah lari bersama adiknya. Kalau monster terlalu kuat dia dapat lari bersamanya. Tapi itu saja sudah mustahil untuknya, karena revolver ini bukan sembarang senjata.

Revolver ini merupakan Barang gelap. Selundupan dari arsenal para pemburu, dan mereka bukan lah pasukan biasa gereja. Mereka adalah pasukan elit pemburu monster. Mustahil senjata buatan mereka lemah. Kalau saja senjata ini buatan non-gereja mungkin dia sedikit khawatir, tapi ini bukan.

Besinya diberkati oleh pendeta gereja, dan telah ditempa oleh pengrajin gereja dewa kebajikan. Tidak, aku tidak akan kalah, berfikiran hal seperti ini saja sudah menghina dewa. Aku harus berdoa memohon ampun dan perlindungan, lalu berangkat dengan yakin, kita pasti aman. Pasti!

"Baiklah Ella, kita main." Dava berkata dan tersenyum. "Tapi sebelumnya kita harus berdoa dahulu agar aman."

Terlihat senyum lebar di muka ella, "Iya kak, ayo cepet."

Mereka berjalan menuju pojokan kamarnya, disana tersimpan dupa dan lambang gereja dewa kebajikan, Sabit dan bilah.

Lalu mereka berlutut di lantai kayu, tubuhnya tegak dengan kedua tangan memohon dan matanya tertutup sembari mereka mengucap doa dengan tulus.

Setelah selesai berdoa, mereka keluar dan bermain.

Dava merenggangkan badannya pada rumput, dan kakinya berselonjor pada sebuah batu. Suasana sore ini sungguh menenangkan dia, seluruh penat dan keletihannya selama ini hilang. Semua khawatirannya untuk mencari pekerjaan hilang. Hanya kenyamanan yang lapang dia rasakan. Rumput memeluk badannya dengan hangat, seakan melindunginya dari dingin angin sore. Kicauan burung-burung menghilangkan kesunyian yang membisu, yang selama ini dia alami di meja kamarnya.

"Ahhh…. Ini baru hidup." bisiknya. Kemudian mengeluarkan buku dari saku jaketnya.

Sembari membaca, Ella terus tertawa, dan menunjukkan kepadanya serangga-serangga yang dia dapati dari rumput. Setelah dia bosan mencari serangga, Ella melempar batu kepada sungai, dan setiap kali dia mengenai ikan dia tertawa. Tenang lah dava, mendengar tawanya itu.

"Ini liat kak. Ada ikan."

"Iya ella, ikannya bagus-bagus ya." Matanya tetap terpaku pada buku.

"Ini liat ada serangga."

"Iya, yah bagus."

"Ini kok aneh serangganya."

"Memang macem-macem serangga itu gapapa."

"Tapi warnanya merah…"

"Iya. iya memang begitu ada yang merah, biru, kuning. Jangan ganggu kakak dulu ya ella, kakak lagi baca."

Anak-anak, pikirnya, suci dan naif. Melihat sedikit saja yang tidak mereka ketahui langsung khawatir. Ohhh ella... coba saja kamu tahu ella, soal dunia ini, soal kesulitan-kesulitan yang akan kamu hadapi.

Sungguh tak tahan aku bahkan untuk memikirkannya. Tak tega aku melihatmu, tumbuh sepertiku, merasakan kekecewaan ayah, menjadi aib keluarga karena meganggur saat yang lain bekerja, bahkan untuk makanpun bersusah payah. Jangan, jangan kamu menjadi sepertiku. Harus lah kamu dapat belajar dalam gereja, mendapat posisi, menjadi anggota, bukan untukku tapi untuk dirimu sendiri.

Pikiran-pikiran ini melayang dalam benaknya. Buku dihadapannya menjadi samar dan rabun, dari tadi yang dilakukan hanyalah berfikir, sampai akhirnya lonceng bell terdengar, menandakan hari sudah malam.

Langit berubah menjadi merah, "Sudah saatnya pulang." pikirnya. Tiba-tiba wajahnya mendadak pucat setelah mendengar lonceng.

Hening...?

Semua seakan mendadak bisu setelah lonceng berbunyi.

Tiba-tiba dia tersadar sesuatu

Ellanor!

Dia bangkit,melihat sekitarannya dan berteriak "Ellanor! Ella!"

berlari ke arah sungai dia tetap

Berteriak memanggil. "Ellanor! dimana kau.."

Sampai Nafasnya habis. Dia menatap ke atas tapi Pandangannya kabur, dia berteriak dan suaranya serak. Badannya sudah lelah berlari ke arah sungai. Tapi tetap dia berlari dan mencarinya.

"Ellanor!" Dia memanggil sekali lagi. "Dimana Kau.."

Matanya perlahan berkucuran air, dan dia terjatuh pada tanah. Dia tahu. Dia tahu betul. Kalau sore hari seseorang hilang, Pasti dia telah…

Tidak, aku tidak boleh menyerah. Tidak untuk Ellanor. Dia bangkit dan menoleh kesampingnya, sungai mengalir deras. Dia berlari dan hampir terjun kedalamnya, kalau bukan karena ikat rambutnya yang tepat dibawah kakinya.

Dia mengambil dan melihatnya tergenang dalam darah. Menoleh kembali pada jalan setapak, dia menyusuri perlahan jalan tersebut. Melihat setiap bunga yang mengembang, rumput yang bergoyang dan air yang terciprat. Hingga akhirnya dia melihat tetesan darah.

Tubuhnya merinding. Dia dibawa, pikirnya, monster bangsat..

Menaruh tangan pada sabuknya, dia mengambil revolver dan mengokangnya. Kemudian berlari mengejar si penculik.

Semuanya tak dihiraukan, yang ada dipikirannya hanyalah Ellanor. Setiap detiknya, bahkan sepersekian detiknya adalah butiran emas dalam perang, itu yang pernah dia dengar dari salah satu khutbah gereja milikinya. Sang pengkhutbah pernah menjelaska, jangan lah disia-sia kan untuk bersedih atau menyerah, berperang lah meski dengan dirimu sendiri, menangkan lah pertempuran itu dengan segala cara.

Dia yakin akan hal itu dan akan berjuang tapi ada yang membuatnya ragu, Apa ini termasuk perang? Apakah keteledoraku termasuk pertempuran? Atau ini memang kehendak para dewa? Rahmat mereka? Apakah bisa aku menolongnya? Atau memang aku berhak mendapat hukuman?

Pikiran demi pikiran menguasainya, memperlambat langkahnya, membuatnya putus asa.

Tidak. Tidak! Mustahil dewa sekejam itu. Aku telah berdoa, mustahil mereka meninggalkanku diwaktu-waktu ini. Disinilah justru dewa menunjukan berkahnya. Betul! Ini dia maksud dari berkah mereka, membantu kita saat terpojok. Ya! pasti…

Tiba-tiba tetesan darahnya berhenti. Terengah-engah mencari nafas, dia berhenti dan melihat darah itu menghilang pada sebuah semak.

Semak itu bergoyang- bergetar, dan terdengar gonggongan darinya.

Dorrr…!

dia menembakkan revolvernya ke langit. Seketika terlihat sebuah bayangan kabur dengan cepat, bayangan seekor anjing, matanya kuning dan langkahnya ringan layaknya angin. Untuk sepersekian detik, terlihat pada bayangin itu, mulut yang berdarah.

Wajahnya mendadak berubah pucat. Badannya terkujur kaku dan revolver ditangannya jatuh dan terlantar pada tanah. Dia merasa nyawanya telah melayang. Dia tahu. Dia tahu persis apa yang akan terjadi ketika membuka semak itu. Tapi demi Ellanor dia harus memastikan.

Langkah demi langkah dia berjalan maju. Kakinya seakan menolak bergerak, dan akhirnya tangan dia yang menyeret kakinya untuk melangkah.

Waktu terasa melambat untuknya, detik demi detiknya seakan menyayat dirinya, dan dalam cahaya bulan dia sampai pada semak itu.

Perlahan dia buka dan kepinggirkan semak itu, dan disana terlihat Ellanor.

"Ohh ellanor…" tangisnya dalam rembulan…....