BAB 1. HARUSKAH KARINA BERKORBAN?
Karina POV
Karina putri wijaya, begitulah namaku tercatat dalam akte kelahiran. Tertulis nama Wijaya di sana. Satu-satunya yang mengingatkanku siapa nama ayah.
Hanya itu yang kutahu. Selebihnya aku tak pernah mengenal mereka.
Hendra Wijaya selaku ayah tidak pernah mengakuiku sebagai anak. Apalagi keluarga Ayah.
Bagi mereka, kelahiranku hanyalah aib dan noda bagi mereka yang selalu menjunjung tinggi nama baik keluarga. Aku hanyalah noda yang merusak kesempurnaan nama Wijaya.
Tak tahukah mereka, aku juga tidak mau terlahir seperti ini. Aku dan ibuku hanyalah korban kebiadaban seorang Hendra Wijaya. Kalau bisa memilih, aku ingin terlahir dari pasangan yang saling mencinta dan memang menginginkan kehadiranku, bukannya hasil perkosaan yang sama sekali tak diinginkan.
Setelah menodai ibuku yang saat itu masih di bawah umur. Dia tega mengusir ibuku dan nenek yang memang bekerja sebagai pembantu di rumah besar Wijaya. Tentu saja karena, mereka tak mau semua orang tahu kebusukan salah satu keturunan Wijaya.
Ibuku pergi dalan kondisi hamil diriku. Usianya bahkan masih tujuh belas tahun. Terlalu belia untuk menanggung beban hidup berupa seorang anak. Harusnya dia menggugurkan saja aku.
Namun, ibuku terlalu baik hati. Dia mencintai dan rela mengandungku. Dia sangat menyayangiku.
Dia tak perduli gunjingan orang atau cibiran mereka. Dia tetap mempertahankan janin yang dikandungnya. Yaitu aku.
Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Karena tak mau masyarakat mengejekku yang terlahir tanpa ayah. Nenek membawaku ke sebuah desa kecil. Membesarkan aku seorang diri. Dia selalu mengatakan kalau kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan. Dan semua orang di kampung tak mempermasalahkannya.
Kini usiaku, sudah genap 20 tahun. Aku baru saja lulus akademi keperawatan. Alhamdulillah, dengan dibantu tetangga, aku bisa bekerja di rumah sakit Fatma Medika di kota Gresik. Tak terlalu jauh dari desaku.
Aku bisa bernafas lega, meski gajinya tidak terlalu besar. Namun, aku bisa mengurangi beban yang nenekku tanggung.
Nenek sudah semakin tua, sudah seharusnya dia hanya menikmati masa tuanya dengan bersantai saja. Dan itu yang aku upayakan.
Aku tak tau angin apa yang kini berhembus. Lelaki yang sudah menelantarkanku dan ibuku. Kini berada di gubuk kami. Aneh memang.
Dia tersenyum menatapku. Namun aku hanya menatapnya tanpa ekspresi. Jujur aku bingung mau menyambutnya bagaimana?
Aku tidak mengenalnya. Bahkan ini adalah pertemuanku yang pertama dengannya.
"Kamu pasti Karina, kamu cantik sekali, Nak," ucapnya saat aku berjalan mendekat ke arah Nenek dan lelaki paruh baya yang masih terlihat jelas kegagahan dan ketampanannya.
Dia memelukku dengan erat. Harusnya aku merasa terharu kan? Namun, entahlah hanya kehampaan yang kurasakan.
Dari kecil aku mendamba pelukan seorang ayah. Namun, kenapa rasanya tak sehangat yang aku bayangkan?
Tak tuluskah pelukannya?
Aku masih diam, tak menanggapi semua ucapannya. Entah apa saja yang dia katakan. Telingaku terasa berdenging. Tak ada suara yang kudengar. Hanya dengungan.
Nenek membimbingku duduk, karena aku hanya diam terpaku.
"Ayahmu datang karena ingin menikahkan kamu Nak. Dia punya kenalan yang punya anak lelaki yang mencari seorang gadis baik-baik," kata Nenek menceritakan kembali maksud kedatangan Ayahku.
Ternyata begitu? Apakah dia sebaik itu ingin menikahkanku? Bukankah dia punya satu lagi anak gadis? Kenapa bukan anak kesayangannya saja? Kenapa harus jauh-jauh datang mencariku?
Sepertinya ada yang aneh. Aku menoleh menatapnya. Lelaki kejam yang sudah mengusir ibu dan nenek.
Rasanya ada yang salah. Aku yakin, lelaki ini mempunyai niat terselubung.
"Kenapa aku? Bukannya ada kak Eleanor? Kalau memang lelaki itu layak dinikahi, kurasa Ayah tak akan jauh-jauh mencariku? Ada apa? Jujurlah!" ucapku malas.
Kulihat tuan Hendra Wijaya terkejut dengan responku. Apa dia berpikir aku sebodoh itu?
Aku boleh tinggal di kampung. Namun, bukan berarti pemikiranku juga kampungan. Anda salah Tuan. Aku tak sepolos yang Anda pikirkan.
Kudengar dia menghela nafas panjang. Wajahnya menunduk sedih. Sekarang, drama apa lagi yang sedang dimainkannya?
"Eleanor, sudah memiliki kekasih. Tidak mungkin baginya menerima lamaran itu."
"Namun, aku belum ingin menikah juga. Aku baru saja bekerja. Jadi, kurasa aku tidak terlalu tertarik, Tuan," ucapku menekankan panggilan 'tuan' untuknya.
Aku tak mau lancang memanggil lelaki berdarah biru sepertinya dengan sebutan 'Ayah'. Takut mengotori kesempurnaan hidupnya.
"Hei, jangan memanggilku 'Tuan' aku ini ayahmu, Nak. Panggil saja Ayah," ucapnya dengan senyuman palsunya. Aku tau dia terpaksa mengakuiku sebagai anaknya.
Aku jadi kian penasaran apa yang membuatnya rela merendahkan diri, membujukku. Entahlah. Tapi aku yakin seratus persen kalau ada udang di balik batu.
"Baiklah Ayah. Aku minta maaf, tapi aku sungguh tak bisa menikahi anak teman Ayah. Aku mau menikahi lelaki yang aku pilih sendiri," sahutku penuh ketegasan.
Enak saja, dia baru datang sudah mau mengatur hidupku. Menyuruhku menikahi lelaki yang bahkan belum aku lihat bagaimana orangnya.
"Ayah, mohon Nak. Kamu mau ya, menikah dengan anak teman Ayah. Sejujurnya, Ayah berhutang padanya. Dia mau memberi ayah pinjaman asal anak ayah menikahi anak tertuanya," ucap ayahku. Akhirnya, dia mengakui juga akan maksud tersembunyinya.
"Ayah jamin, setelah menikah. Hidupmu akan berkecukupan. Kamu bisa membahagiakan nenekmu."
Kalimatnya terdengar masuk akal. Dia benar, nenek terlalu lama menderita. Jika aku menikahi orang kaya, secara tidak langsung aku juga akan menikmati kekayaannya kan?
Sayangnya, aku terlahir tanpa ada sifat materialistis. Aku tak peduli dengan harta. Aku hanya ingin bahagia.
"Baiklah, sebelum aku menerima permintaan Ayah. Aku mau bertemu dengan lelaki itu terlebih dahulu. Kalau dia memang pantas untukku. Maka aku mau menikahinya. Namun, jika menurutku dia tak layak maka Ayah tak bisa memaksaku. Selama ini, aku tak berhutang apapun padamu. Kaulah yang berhutang padaku." Usai mengatakan itu aku beranjak ingin masuk ke kamarku. Badanku sudah gerah, seharian beraktifitas dengan para penghuni rumah sakit.
"Baik. Kuharap kau mau ikut dengan Ayah ke Jakarta saat ini juga." Aku terkejut dengan ucapannya. Aku batal bangkit. Aku berbalik kembali menatapnya tajam.
"Aku baru saja bekerja, aku tidak mungkin bisa seenaknya mengajukan cuti," sahutku tak terima.
"Bukannya kamu sendiri yang ingin menemui lelaki itu?" tanya Ayahku balik.
"Kenapa bukan lelaki itu yang menemuiku? Kenapa harus aku?" tanyaku sedikit emosi. Sekarang siapa yang butuh siapa? Pikirku dalam hati.
"Ka-karena lelaki itu tak bisa bepergian jauh," sahutnya sedikit gugup.
Sekarang apalagi yang dia tutupi? Batinku.
"Maksud Ayah apa?"
"Dia cacat, dia tak bisa bepergian jauh dengan kondisinya yang seperti itu?"
Lelaki itu cacat???
Sebenarnya, aku tidaklah melihat seseorang itu dari fisiknya. Namun, kalimat ayahku ini menyiratkan banyak hal.
Apa dia sengaja mendatangiku jauh-jauh dari Jakarta, hanya sekedar dengan niatan mengorbankanku?
Aku sudah bisa menebak, dia melakukannya dengan amat sangat terpaksa. Karena anak kesayangannya menolak menikahi lelaki cacat. Itu sangat jelas sekali tersirat. Seorang Eleanor yang sempurna mana mau menikahi lelaki cacat.
Makanya dia mau mengingat, kalau dia punya satu lagi anak gadis. Anak gadis yang selama ini tak pernah dianggap. Yang terpaksa diingat kembali karena dia membutuhkan anak yang tak dianggap itu sebagai pengganti anak kesayangannya untuk menikahi lelaki cacat. Lelaki cacat, yang sayangnya anak orang yang disegani Ayahku.
Licik bukan? Dia ingin mengorbankanku demi perusahaannya. Perusahaan milik keluarga Wijaya. Keluarga yang bahkan sudah membuang dan tak pernah menganggapku ada.
Haruskah aku berkorban demi keluarga itu? Keluarga yang sudah melabeliku debagai anak haram, bahkan sebelum aku lahir. Dan mereka pikir aku mau berkorban?
Sesuci itukah diriku bagi mereka?
Senaif itukah???
"Apa yang aku dapat dengan menikahinya? Apa yang Ayah tawarkan?" tanyaku dengan nada angkuh.
Lelaki licik ini tak pantas mendapatkan rasa hormatku. Tak secuilpun, meski dia ayah kandung-ku.