Chereads / Beautiful Sacrifice / Chapter 8 - BAB 7. KULKAS TAPI ....

Chapter 8 - BAB 7. KULKAS TAPI ....

BAB 7. KULKAS TAPI ….

"Assalamu'alaikum, Bunda," seru dua klan Alatas lainnya. Siapa lagi jika bukan Ayah Omar dan juga Alif. Aku menjawab salam keduanya dengan wajah semasam perasan jeruk. Meski sudah terbiasa dengan kebiasaan keluarga Alatas, tetap saja ada perasaan jengkel.

Bunda dan Cenna menjawab salam sambil menggelengkan kepala dengan kebiasaan lelaki Alatas.

Sedangkan, Athar. Lelaki itu menjawab salam dengan wajah datarnya.

Ayah Omar, seperti biasa langsung mendekati bunda Safira dan mencium keningnya dengan sayang. Keduanya saling melemparkan senyuman penuh cinta.

"Haduuuh ... mata Cenna tercemar." Cenna langsung menutup kedua matanya dengan geli.

"Ishh, lebay deh kak," gerutu Alif.

"Biarin."

"Eh, siapa nih gadis cantik? Masya Allah, Bunda. Alif ridho dihalalin sama dia," cerocos si bungsu sambil menatapku terpana. Benarkah??? Aku secantik itu? Perasaan biasa saja deh. Ah … kenapa wajahku memanas?

"Nggak boleh! Dia punyaku," ucap Athar dingin. Tatapannya menusuk tepat di netra Alif.

Apa maksudnya??? Apa dia marah karena Alif menggodaku? Tapi kenapa? Bukannya dia cuek padaku sedari tadi? Cemburukah? Itu … tidak mungkin, bukan?

Arghhh, pusiing.

Keluarga Alatas dan segala keunikannya.

"Eitss, Bunda kayaknya ada yang gosong nih," goda Alif jenaka.

"Kamu bakar apa Lif?" timpal Ayah Omar geli.

"Bakar hati, Yah. Masak Ayah nggak mencium aroma cemburu?" seloroh Alif lagi.

Yang digoda hanya memalingkan wajah. Dan berlalu menuju arah luar tanpa berkata satu katapun demi menggapi godaan Ayah dan adik jahilnya.

"Kak Karin, tolong bantu Kak Athar ya?" pinta Cenna lirih.

Aku hanya sanggup mengangguk sebagai jawaban. Situasi barusan membuatku bingung.

Benarkah, si kulkas diam-diam posesif padaku?

Tapi kenapa?

Dia bahkan enggan menatap wajahku.

Ah, biarkan sajalah.

Kalau kata si Ana, let it flow. Ups salah ya, kalau si Ana itu let it go. Uhh, biar saja. Sebelas dua belas ini. Beda tipis.

"Kamu jangan jelalatan ya, inget kamu itu calon istriku," ucap si kulkas tanpa perlu menoleh ke arahku.

"Baik," ucapku malas.

Siapa juga yang jelalatan, enak aja si kulkas nuduh-nuduh. Kalau orang terpesona sama kecantikanku, apa itu salahku? Apa karena aku jelalatan. Huffft, sabar... sabar..., ucapku dalam hati. Ya, mana berani aku mengatakan isi hatiku.

"Aku tidak menuduhmu, aku hanya tak suka ada lelaki lain yang menikmati kecantikanmu," ucap Athar lagi, kali ini ucapannya menggetarkan kalbuku. Apa itu artinya dia ....

Entah kenapa, wajahku terasa panas.

"Apa kamu sakit? Wajah kamu memerah? Pasti karena kena sinar matahari. Ayo cepat kita ke mobil. Di mana kalian memarkir mobil?" ucapnya beruntun. Aku tak tau ternyata dia secerewet ini.

Aku terpaku menatapnya. Wajah khawatirnya begitu mempesona. Aku sampai lupa untuk berkedip.

Si kulkas, kenapa bikin baper sih? Kan, aku jadi lumer. Nih, ya. Ibarat kata hati aku ini es crystal yang tadinya sempat membeku akibat si kulkas. Kini, masuk ke dalam teh hangat. Duhhh, lumer. Dan jadi siap disajikan. Eh....?

Duh, kenapa jadi ngelantur sih?

"Udah sih tatap-tatapannya," gerutu si mulut jahil. Siapa lagi di keluarga Alatas yang hobinya ngejahilin kalau bukan si bungsu.

Dengan kikuk aku bergerak menjauh dari si kulkas yang kini tak dingin lagi.

Belum sempat aku beranjak menjauh, sebuah tangan menahan ujung lengan kemejaku.

"Duduk dekat aku aja," titah si kulkas. Aku mengernyit bingung dengan perubahan sikapnya pasca kedatangan Ayah dan Alif.

"Belum muhrim, Abang," tegur bunda Safira membuatku menunduk malu.

"Habisnya Alif ngeselin, Bun." Wajah cemberut si kulkas bikin aku geli. Ternyata si kulkas bisa berekspresi lain selain datar ya ....

"Adek kamu cuma bercanda, Sayang."

"Mukanya ngeselin banget," gerutu si kulkas dengan wajah makin berlipat. Eh, tapi kok masih ganteng sih ....

"Ih, Abang aja ya baperan."

"Ishh, awas aja kalau berani nikung. Aku masukin lagi kamu ke perut Bunda," ucap Si kulkas membuat semuanya terkekeh dengan ucapan absurbnya.

Aku memalingkan wajah demi menyembunyi-kan senyumanku. Ternyata lelaki kulkas itu manis juga.

"Sayang, kamu sudah nggak sakit kan?" tanya si kulkas ke arahku secara tiba-tiba. Aku hanya menatapnya bingung.

Sayang??? Aku terpaku. Kayaknya aku salah dengar kan ....

"Sakit? Aku tidak ...."

"Ini tadi aku lihat mukanya Karin merah, Bun. Jadi aku pikir dia kepanasan. Jadi aku ajak masuk mobil aja. Kan kasihan dia," ucapannya tanpa menunggu penjelasanku.

Bunda tersenyum penuh arti. Begitupun yang lainnya. Ada apa sih? Mereka aneh banget deh.

"Alhamdulillah, bunda seneng deh kalau abang perhatian sama Karin. Karena tidak lama lagi kalian akan jadi suami istri. Sayangilah dan bahagiakanlah pasangan kalian dengan cara yang baik sesuai ajaran Rosul dan tuntunan dari Al Qur'an," nasehat bunda begitu menyentuh sanubariku. Mampukah aku menjadi istri yang baik kelak?

"Ya sudah, panas nih Bun. Kasihan Karin, aku nggak mau kalau calon istriku sakit," ucap si kulkas sambil melirik ke arahku. Ada senyuman lembut yang menghiasi wajah tampannya.

Kenapa dia berubah semanis itu deh ... bikin baper aja. Duh, hati ... semoga kamu kuat ya ....

Aku kembali menunduk tak berani menatap wajahnya yang mempesona.

Dewi hatiku sudah salto dari tadi. Kenapa sih, Abang. Kamu manis banget. Ntar jadi es cream lo. Kan bahaya buat kesehatan jantung aku.

Kami pun masuk mobil. Aku duduk di tengah antara bunda Safira dan Cenna.

Sepanjang perjalanan pulang, Cenna tak habisnya bercerita tentang pengobatan Mas Athar, aku hanya diam memperhatikan. Aku tak mau melewatkan sedikit saja informasi tentang pengobatan calon imamku. Aciee, calon imam.

Sesekali aku melirik ke arah kaca spion yang ada di depan. Lelaki kulkas itu terus saja menatapku, membuat detak jantungku kian tak menentu.

Dudukku jadi gelisah.

"A-apa dia kesakitan?" tanyaku gagap. Leherku seakan tercekik, namun aku harus tau apa dia menjalani pengobatan dengan baik? Aku takut setiap prosesnya menyakitinya. Karena aku dengar seorang yang cedera bagian punggung dan pinggangnya akan mengalami rasa sakit saat terapi. Lebih sakit dibanding yang lainnya.

Semua menatapku tak percaya. Apa aku salah sudah menanyakannya?

Apa aku terlalu ikut campur? Mendadak aku jadi serba salah. Sungguh, aku tidak berniat menying-gung mas Athar atau yang lainnya. Aku hanya perduli pada si kulkas itu.

"Ma-maaf," ucapku sebelum semua orang salah paham padaku.

"Tidak, kamu nggak salah. Sungguh, bunda senang kamu perduli dengan kondisi Athar," ucap bunda Safira dengan haru. Matanya berkaca-kaca dan dengan reflek dia memelukku lembut.

"Ohhh, kakak ipar. I love you," seru Cenna dan ikut memelukku. Jadilah aku diapit anak dan bunda ini. Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang hebat. Kenapa reaksi mereka berlebihan sekali?

Kulirik ke arah depan, si kulkas menoleh ke arahku dan tersenyum bahagia. Apa ucapanku juga menyentuh hatinya yang beku???

Untung saja Alif dan Ayah Omar sudah balik ke kantor dengan mobil mereka sendiri, kalau tidak mungkin keduanya hanya akan merusak momen ini dengan celetukan gaje keduanya.

Ah, biarlah mereka bertingkah semau mereka. Yang jelas saat ini, hatiku menghangat. Semoga kehidupanku dengan si kulkas itu dimudahkan oleh Allah. Karena yang jelas saat ini aku tak rela melepas lelaki kulkas yang nyatanya berhati sehangat pelukan bunda Safira. Aku balas tersenyum padanya.

"I love you," gumamnya tanpa suara. Aku terpaku menatapnya. Senyumnya semakin lebar. Duh ... Abang, Eneng diabet ini ....