BAB 5. MULAI NYAMAN
Sudah sebulan aku tinggal di rumah mewah keluarga Alatas. Rumah besar namun penuh kehangatan sebuah keluarga. Sungguh aku merasa sangat beruntung berada di sini.
Bunda mengisi kekosongan jiwaku atas kasih seorang ibu. Begitu juga Ayah Omar, meski terlihat dingin namun lelaki penuh karisma itu sangat hangat saat berada di antara keluarganya. Khususnya di depan Bunda. Sangat terlihat sekali, lelaki itu sangat menggilai istrinya sendiri. Aku berharap, bisa memiliki cinta sebesar keduanya.
Ayah Omar mampu mengisi rasa laparku akan sosok seorang ayah. Meski, aku punya ayah sendiri. Namun kehadirannya dalam hidupku sepalsu wajah plastik artis yang lagi rame diberitakan melakukan pansos akibat ucapan sang suami Galih Ginandjar tentang 'Ikan Asin' nya. Siapa lagi jika bukan Kumalasari?
Aishh, kenapa jadi ngeghibah sih, rutukku dalam hati.
Singkat kata, keluarga ini memberiku pengalaman akan harmonisnya sebuah keluarga yang utuh.
Alif, juga bak adik yang tak kumiliki. Meski tak tinggal serumah dengan orang tuanya, lelaki tampan itu sering mampir ke rumah utama. Entah itu saat sarapan atau saat makan malam.
Candaan garingnya sering membuatku terkekeh geli. Bunda sampai bingung padaku yang tertawa kala Alif melemparkan joke garingnya. Karena hanya aku yang terkekeh geli.
"Kok kamu bisa ketawa sih Rin?" tanya bunda dengan wajah bingung.
"He ... he ... Karin kasihan saja bun, lihat wajah kecewanya Alif. Lihat dia sudah berusaha melucu tapi nggak ada yang ketawa. Kata guru Karin, shodaqoh itu bisa dengan tersenyum pada orang lain. Shodaqoh yang gratis, Bun."
"Karin kan belum bisa shodaqoh dalam bentuk rupiah, jadi nggak ada salahnya bikin orang seneng kan Bun? Alif pasti seneng pas dia ngelucu terus Karin ketawa. Ya kan Lif?" tanyaku penuh harap.
Alif malah kian cemberut. Wajahnya sudah berlipat-lipat. Bunda dan Ayah tertawa terpingkal-pingkal. Aku mengernyit bingung pada keduanya. Apanya yang lucu dari ucapanku???
"Ya Allah Karin, Ayah pikir kamu sama anehnya dengan Alif. Ternyata begitu?" ucap Ayah Omar kembali terkekeh geli, kini dia bahkan mencengkeram perutnya.
"Ho-oh, bunda pikir bakal ada yang segaring Alif. Ternyata kamu masih normal, Nak," kekeh Bunda memeluk Ayah dan dihadiahi kecupan lembut dari Ayah di sela kekehannya. Keduanya berangkulan. Aku memalingkan wajah karena malu. Meski sebulan ini aku sudah sering melihat pemandangan romantis itu, namun aku belum juga terbiasa.
"Ihh, kalian mah selalu bully Alif. Alif mogok bicara pokoknya," gerutu si bungsu dengan wajah masamnya.
"Eh jangan dong Lif, " ucap Bunda cepat.
"Iya, jangan Lif. Ntar nggak ada yang Ayah bully," ujar Ayah Omar dengan seringainya. Ayah Omar memang selalu merudung Alif jika ada kesempatan. Begitupun sebaliknya. Namun, aku sungguh tahu kedekatan keduanya.
Kalau istilah anak jaman dulu, Benci tapi rindu. Marah tapi sayang.
"Terserah Yah ... terserah. Alif capek." Alif beranjak dari tempat duduknya dengan wajah malas.
"Oh ya, Kak. Besok kak Athar dan Cenna balik lo," ucapnya sebelum berlalu dari ruang keluarga.
Setelah melemparkan bom lelaki yang beda dua tahun dariku itu menyeringai dan berlalu begitu saja setelah mengucapkan salam. Tentu saja, ditujukan kepada Bunda tersayang, seperti kebiasaan lelaki keluarga ini. Setidaknya dua lelaki tampan keluarga Alatas yang kutahu. Siapa lagi jika bukan Ayah Omar dan Alif? Karena aku memang belum bertemu dengan keluarga yang lain.
Kesibukanku bekerja di salah satu rumah sakit lumayan menyita waktuku. Oh, ya. Aku belum cerita ya kalau aku sudah diterima kerja sebagai perawat di rumah sakit The Healty. Rumah sakit milik keluarga Wijaya. Ya, keluarga ayahku. Masih keluarga jauh sih. Aku mendapatkan rujukan dari Bunda bukan dari Ayahku. Karena pemilik rumah sakit itu, sahabat Bunda. Tante Almira. Yang juga istri dari Paman Ilyass. Paman Ilyass ini keponakan Ayah Omar. Entahlah aku jadi bingung memanggil mereka apa? Silsilahnya membingungkan buatku.
Namun berhubung usia mereka tak jauh beda dengan Bunda dan Ayah, aku memanggil mereka Om dan Tante saja.
Tante Almira bahkan menyuruhku kuliah lagi di Magister (S2) Keparawatan. Awalnya dia memintaku kuliah ulang kedokteran biar sama dengan bunda Safira dan juga Cenna. Tapi aku merasa sayang saja dengan apa yang sudah aku pelajari. Jadi aku memilih melanjutkan S2 saja.
Kini aku sudah tahu siapa Cenna. Dia ternyata calon adik iparku. Saat pertama mengetahuinya sungguh aku merasa sangat konyol pernah cemburu padanya.
Dan kini, besok calon suamiku dan calon adik iparku akan datang. Entah kenapa debaran di dadaku kian menggila. Ada apa ini?
Seperti apa rupanya? Bagaimana sifatnya? Apa sedingin Ayah dan Alif jika bertemu orang selain keluarganya? Apa selembut Bunda? Apa dia akan menerimaku? Bagaimana kalau dia menolakku karena tak secantik Eleanor?
Pertanyaan-pertanyaan berkelabatan di kepala-ku. Membuatku kian gelisah.
Ya, aku kembali takut. Takut ditolak.
Bagaimana kalau dia tak menyukaiku? Apa aku harus kembali ke kota asalku? Kembali ke kehidupanku yang semula?
Berat rasanya kini jika itu yang akan terjadi. Aku yang awalnya sangat keberatan dengan perjodohan ini, sekarang malah enggan jika perjodohan ini berakhir. Namun aku bisa apa jika lelaki itu menolakku?
Ya Allah, aku pasrahkan semuanya hanya kepada-Mu ... hanya Kaulah yang tau, apa yang terbaik bagi umat-Mu.
"Hei, kamu kenapa? Dari tadi Bunda perhatikan melamun terus," tanya Bunda penuh kekhawatiran. Apa aku akan kehilangan perhatian seorang ibu lagi?
"Hei, kenapa malah nangis?" tanyanya lagi kian khawatir. Aku memeluknya dengan erat. Aku takut tak akan bisa merasakan kembali pelukan hangatnya.
"Karin sayang, Bunda," isakku. Aku sungguh tak mampu menahan laju air mataku. Hatiku sudah terisi penuh oleh kasih sayang Bunda dan Ayah. Sanggupkah aku, jika kasih keduanya terenggut dariku.
"Bunda juga sayang Karin. Bagi Bunda, Karin sudah bunda anggap anak perempuan Bunda sendiri," ucapnya di sela belaian lembutnya di punggungku. Terasa sangat hangat. Ya, perasaanku menghangat akan kasih sayangnya.
"Ka-karin, takut kehilangan kasih sayang Bunda dan Ayah. Ba-bagaimana kalau Mas Athar menolak Karin?" tanyaku terbata.
"Jadi kamu melamun dan bersedih karena itu?" Aku hanya mengangguk dalam pelukannya.
Dia merenggangkan pelukan kami, menatap kedalaman mataku. Kulihat netranya yang penuh dengan kasih sayang. Ingin rasanya aku tenggelam ke dalamnya.
"Dari ketiga anak bunda, Bunda sangat yakin dengan pribadi anak sulung bunda, dia tak pernah mengecewakan Bunda."
Aku mencari kejujuran di matanya. Dan mata itu sejernih sumber air yang mengalir di pegunungan. Menyejukkan dan murni. Tak ada kebohongan di sana.
"Karin takut tidak pantas bersanding di sampingnya. Karin hanya anak haram yang tak diinginkan," ucapku getir. Ya, statusku yang hina membuatku merasa tak pantas bersanding dengan pewaris keluarga Alatas.
"Semua manusia sama derajadnya di hadapan Allah. Hanya keimanannyalah yang membedakan-nya. Jadi jangan pernah merasa lebih rendah dari siapapun. Asal kamu tahu, Athar juga terlahir di luar pernikahan." Aku menganga tak percaya.
Itu tidak mungkin bukan? Aku melihat kasih sayang yang luar biasa terpancar dari kedua pasangan ini. Bagaimana mungkin ...???
Athar tidak mungkin anak haram kan???
Aku pasti salah dengar.