Chereads / Beautiful Sacrifice / Chapter 5 - BAB 4. MEET ALATAS FAMILY

Chapter 5 - BAB 4. MEET ALATAS FAMILY

BAB 4. MEET ALATAS FAMILY

Sepanjang jalan menuju rumah keluarga Alatas, Ayahku selalu memamerkan senyuman lebarnya. Dan sungguh itu sedikit membuatku takut.

Seperti apa mereka?

Bagaimana tanggapan mereka? Karena bukan si cantik Eleanor yang nantinya jadi calon menantu mereka?? Kecewakah???

Kenapa aku mendadak gelisah. Aku takut mendapati penolakan dari mereka.

Mungkin aku sudah terbiasa mendapat penolakan dari Ayah dan keluarganya, namun sanggupkah aku dengan penolakan yang baru?

Aku takut, sungguh.

"Sebentar lagi kita sudah sampai. Ayah senang, akhirnya salah satu anak ayah ada yang menjadi bagian dari keluarga Alatas." Senyuman lebar kembali menghiasi wajah ayah. Jantungku kian bertalu dengan cepat, demi mengetahui sebentar lagi kami akan segera tiba di kediaman keluarga Alatas. Aku kehilangan kata, hingga tak mampu menjawab perkataan ayahku barang satu kata saja.

Mobil memelan saat kami memasuki sebuah halaman rumah yang luas. Halamannya saja seluas ini, pikirku kagum. Apalagi kala mataku mendapati bagunan megah nan indah. Gaya arsitekturnya terkesan hangat. Apakah penghuninya sehangat kesan pertama rumah ini???

Semoga saja. Doaku dalam hati.

Mobil berhenti tepat di samping rumah mewah ini.

Suasananya lengang. Aku berharap penghuni-nya tidak ada di rumah. Jadi Ayah tidak punya alasan menitipkanku di rumah ini.

Namun, ternyata harapanku tidak terkabul. Dari arah pintu kulihat seorang wanita berhijab syar'ie menyambut kedatangan kami dengan senyuman hangat terukir di wajah cantiknya.

"Turunlah, itu nyonya Alatas. Calon mertua kamu," kata Ayahku.

Ayahku membuka pintu terlebih dahulu, lantas kuikuti. Nenek mengikutiku meski dengan ragu. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Bagi kami, rumah di depan kami ini sangat besar. Kami merasa tak pantas saja.

Saat kehadiran kami semakin mendekati istri tuan Alatas, wanita itu semakin sumringah. Dengan tak sabar dia mendekatiku dan memelukku dengan hangat. Mendadak perasaan gelisahku menghilang. Terganti dengan perasaan nyaman dan hangat. Aku merasa ... diterima.

Kulirik nenekku, dia terharu hingga matanya berkaca-kaca. Senyuman manis terpatri di wajahnya yang sudah keriput.

Aku lega, sungguh. Ini pertama kalinya aku merasa diterima oleh seseorang selain nenekku.

Pelukan calon mertuaku seperti ... pelukan seorang ibu yang amat sangat kurindukan. Jadi, seperti ini rasa pelukan seorang ibu? Entah kenapa mataku menghangat. Tak terasa air mata membasahi pipiku tanpa sanggup kucegah.

"Assalamu'alaikum, Bunda," bisikku balas memeluknya dengan ragu.

"Waalaikum salam, Sayang," bisiknya lembut. Suaranya meneduhkan, kueratkan pelukan kami. Kepalaku tanpa sadar menempel di bahunya. Terasa nyaman, ya Allah.

Dadaku terasa sesak oleh rasa yang baru kini kurasakan. Rasa haru bertemu seorang ibu. Beribu terima kasih kupanjatkan kepada pemilik bentala yang Agung. Allah aza wajalla. Atas kesempatannya memberiku kehangatan seorang ibu.

"Kau merebut wanitaku," ucap suara datar menginterupsi kedekatanku dengan calon ibu mertuaku. Wanita yang memelukku ini terkekeh geli mendengar ucapan seorang lelaki paruh baya yang masih nampak ketampanan dan kegagahannya.

Kami melepas pelukan secara perlahan seakan tak rela mengurai segala rasa.

"Sayang, kau menakuti calon menantu kita," ucap wanita cantik di sebelahku dengan lembut.

"Nenek, maaf jadi mengabaikanmu," ucapnya menyapa nenekku. Wanita cantik itu mendekati nenek dan mencium telapak tangan nenek dengan penuh kasih sayang. Nenek terlihat terharu diperlakukan demikian baik oleh pemilik rumah yang besar ini. Sungguh penerimaan keluarga ini di luar bayanganku.

Wanita itu menciumi kedua pipi nenek dengan lembut. Aku menatap tak percaya pemandangan di depanku.

Nenek tak kalah kagetnya, kulihat tubuhnya membeku. Namun, senyuman bahagia perlahan menghiasi wajah tuanya.

"Nenek selamat datang di rumah kami. Semoga nenek dan kamu ...."

"Karina, tan_" jawabku, namun terpotong oleh interupsinya.

"Bunda saja, Sayang. Tadi sudah manggil Bunda kenapa sekarang manggil tante?" ucapnya tak suka.

"Karin, takut Bunda tak suka," cicitku, tadi pas pertama panggil dia bunda itu semata reflek saja. Lalu aku menyadari kelancanganku makanya aku memanggilnya tante.

"Bunda malah nggak suka kalau kamu anggap bunda ini orang lain. Anggaplah bunda ini sebagai pengganti ibumu, Sayang," ucapnya penuh kelembutan.

"Dengan senang hati, Bunda," sahutku senang.

"Oh ya, ini suamiku. Omar Alatas. Ayahnya Athar, Athar itu calon suami kamu," terangnya memperkenalkan lelaki yang tadi menginterupsi kami.

Lelaki yang masih menyisakan pesonanya itu tersenyum lembut pada kami. Segera kucium telapak tangannya dengan hormat.

"Anak kamu luar biasa, Hen," ucap lelaki itu ke arah ayahku yang semakin lebar senyumannya. Ada kebanggaan tersirat di wajah ayahku.

Tapi apa peduliku?

"Tentu saja," jawab Ayahku sumringah.

"Jadi ini calon menantu kami bukan? Kenapa aku baru melihat anakmu yang ini. Bukannya anakmu bernama Eleanor?" selidik tuan Alatas.

"Eleanor sudah punya calon, jadi tidak mungkin menikahi putramu," jawab Ayahku tenang. Aku menatap tuan Alatas dengan seksama.

Apa dia tidak suka dengan kehadiranku yang menggantikan Eleanor? Kecewakah?

"Hei, jangan bicara di sini. Karina dan nenek pasti capek karena perjalan mereka," kata Bunda mengingatkan kedua lelaki itu.

Kamipun digiring memasuki ruang tamu. Ruang tamunya sangat indah. Kami duduk di sofa empuk. Sangat nyaman, pikirku dalam hati. Kuraba sofa yang kududuki, terasa lembut di tanganku.

Tak lama seorang wanita paruh baya membawakan minuman dan beberapa cemilan yang tertata di piring cantik.

"Terima kasih, Buk," ucapku kala dia meletakkan minuman di depanku. Dia tersenyum ke arahku.

"Ini calonnya Athar, Bik," ucap Bunda dengan senyuman di bibirnya.

"Alhamdulillah, bibik ikut senang buk," ucap wanita yang ternyata pembantu di rumah ini.

"Saya ke dapur dulu, Buk. Permisi," ucapnya lagi dan berlalu dari hadapan kami.

"Bunda denger kamu mau tinggal di sini ya, sampai tanggal pernikahan kalian," ucap Bunda membuatku kaget. Aku bergerak salah tingkah. Tak tau harus bicara apa. Aku takut wanita baik hati ini salah paham padaku.

"Maafkan saya, Bunda. Saya terlalu gegabah. Saya bisa tinggal di kontrakan saja. Saya tidak mungkin tinggal di rumah lelaki yang belum sah buat saya," kataku formal.

"Jangan seformal itu. Kamu jangan khawatir soal tinggal serumah dengan Athar. Karena dia sekarang melakukan terapi di Jerman ditemani Cenna."

Cenna? Siapa?

"Alif juga jarang pulang ke rumah kalau kakaknya tidak di rumah."

"Tapi khusus hari ini, aku pulang Bun," ucap suara bariton dari arah pintu. Seorang lelaki tampan dan terlihat masih muda. Apa dia adik dari Athar. Tampan, batinku.

"Ih, Alif baru datang kok nggak salam," tegur Bunda kepada lelaki tampan itu.

"Assalamu'alaikum, Bunda," ucap lelaki itu dengan seringai jahil ke arah sang bunda.

"Wa'alaikum salam," jawab kami semua. Kulihat Tuan Alatas menjebik kesal.

"Kenapa kau meniru gaya Ayah?" gerutunya membuatku terkekeh dalan hati. Jangan sampai calon mertuaku mengetahuinya. Bisa-bisa aku dicoretnya sebagai kandidat calon menantu.

Eh???

"Ck, siapa juga yang meniru Ayah. Nih ya, dari aku bisa bicara. Kalau aku salam pasti kayak gitu. Emang sudah berubah ya, Bun?"

Bunda terkekeh mendengar perdebatan suami dan putranya. Keluarga yang harmonis. Kapan aku bisa merasakan suasana sehangat ini??

Apakah jika aku menikah dengan Athar, aku bisa merasakannya??

Apakah Athar akan menerimaku???

Dan siapa Cenna?? Kenapa wanita itu yang menemani Athar terapi?? Sepenting apa wanita itu??

Ada rasa asing yang merambati sanubariku kala mendengar lelaki itu tak sendiri. Ada seorang wanita yang menemaninya. Apa ini???