Chereads / Beautiful Sacrifice / Chapter 4 - BAB 3. QUE SERA SERA

Chapter 4 - BAB 3. QUE SERA SERA

BAB 3. QUE SERA SERA

Karina menatap nanar dinding kamar kontrakan yang disewakan ayahnya. Lelaki yang katanya menyesali perbuatannya. NYATAnya hanya memanfaatkannya. Dia sadari itu. Namun, dia tak pernah menyangka ayahnya akan setega ini padanya.

Matanya menatap sekeliling kamar yang hanya muat diisi satu buah kasur single. Kasur busa yang sangat tipis. Sangat tidak layak untuk dipakai. Kontrakannya memang siap huni. Namun kondisi furniturenya luar biasa. Luar biasa memprihatinkan maksudnya.

Lemari kayu yang sudah lapuk dengan pintu yang tidak bisa tertutup sempurna.

Kasur single yang lepek karena entah sudah berapa umurnya.

Kamar ini juga bau apek, tanda fentilasinya yang buruk. Plafon yang sudah menggelembung, tanda sering terkena curahan hujan.

Apa kalau hujan juga di sini banjir? Sepertinya begitu, melihat dinding yang agak kotor di bagian bawah.

Bahkan kondisi rumahnya dulu ribuan kali lebih bagus dari ini.

Sofanya juga sudah tak berbentuk. Lalu dapur yang cuma muat satu orang di dalamnya. Ya, Allah....

Miris. Satu kata yang ada di benak Karina.

POV Karina.

"Nak Hendra yakin kita harus tinggal di sini? Bukannya rumah kalian masih banyak kamar yang kosong?" tanya nenekku dengan pandangan tak percaya. Jangankan nenek, aku saja tak bisa menerima diperlakukan begini. Mulutku sudah gatal ingin protes.

"Ayah ini, niat memintaku menikah dengan anak teman ayah nggak sih?" tanyaku sinis. Jangan kira kami bisa diperlakukan seenaknya. Kami memang orang kampung, namun kami nggak kampungan. Nenek menyekolahkanku di sekolah terbaik di kota Gresik. Meski aku bukan lulusan terbaik, nilaiku termasuk berada di urutan kedua dari semua lulusan di sekolahku. Kalau ditanya soal wawasan aku yakin, tak kalah dengan Eleanor yang katanya anak kota metropolitan.

"A-apa maksudmu, Nak," sahutnya terbata, nyata sekali dia tak menyangka aku akan berontak akan pemberiannya.

"Rumah ini. Lihatlah baik-baik Ayah. Menurut-mu apakah ini layak menjadi tempat tinggal keturunan Wijaya yang selalu ayah bangga-banggakan?" ucapku sarkas. Wajahku menampilkan ekpresi mencemooh.

Ya Allah, maafkan Hamba-Mu ini, yang tidak pandai bersyukur. Bukan maksud Hamba menolak pemberian Ayah. Namun, aku ingin memberinya pelajaran, bahwa anaknya yang sudah puluhan tahun dibuang bukanlah anak yang bisa dia tindas. Demi Nenek, aku rela menjadi pengganti putrinya tersayang untuk menikahi lelaki yang katanya cacat. Namun, jika tinggal di tempat sekumuh dan sekotor ini lebih baik aku kembali ke rumah kami di kampung. Di sana lebih layak untuk kesehatan nenek.

"I-iya kan untuk sementara sebelum keluarga Alatas menerimamu sebagai pengganti Eleanor," jawabnya terbata. Matanya tidak berani membalas tatapan mataku. Jelas sekali dia menutupi sesuatu.

"Jadi, Ayah tetap memberiku kontrakan bobrok ini?" tanyaku berlagak histeris. Mataku sampai melotot nyaris lompat. Uhhh, rasanya otot mataku bakalan kram nih, batinku terkikik dengan pemikiran ngawurku.

"K-kan sementara Ayah bilang," ucapnya sedikit terdengar seperti cicitan. Oh aku menikmati ekspresinya. Andai ibuku melihat ekspresi memelas ayahku, seseorang yang sudah pernah melecehkannya dan melukainya begitu dalam. Sungguh, kegelisahan ayahku rasanya seperti jamu untuk luka dan sakitku.

Ini belum seberapa Ayah, batin dewiku genit menaik turunkan alisnya. Oh, apakah dewi itu bagian dari diriku?? Ringisku ngeri.

"Kalau begitu, saat ini juga kami akan kembali ke Gresik lagi," ancamku sambil menarik tangan nenekku lembut. Sedang tanganku yang satunya menyeret koper kami yang tak begitu besar.

"Hei ... Karin. Tunggu!" bentaknya gusar. Dia mungkin tak percaya aku akan meninggalkan kontrakan bobroknya dan pergi begitu saja.

Siapa yang coba dia bohongi??

Karina putri wijaya, bukanlah anak manja atau anak yang rapuh. Aku tumbuh seorang diri. Tanpa bimbingan ayah dan ibuku. Hanya nenek yang kupunya. Jadi tak ada alasan bagiku gentar akan apapun. Termasuk melawan ayahku, kalau dia keterlaluan.

Aku akan sopan kepada siapapun yang bisa menghargaiku dan juga nenekku. Dan yang dilakukan ayahku berkebalikan dari ucapannya.

Dia, Hendra Wijaya. Menurutku tak lain hanyalah seorang yang munafik. Dan aku sangat benci golongan itu. Dia lebih baik, mengatakan kata kasar jika memang dia tak suka dan terpaksa berbaik kata denganku. Jangan sok baik, padahal dalam hatinya menggerutuiku.

Menjijikkan.

"Jangan pergi, baiklah kita akan cari kontrakan yang lebih bagus dari rumah kalian di kampung," dengusnya. See, dia mengatakan hal manis namun dengan intonasi menjengkelkan di telingaku. Apa ya? Emm, terdengar tidak tulus.

Aku memutar badanku menghadapnya. Aku tersenyum manis. Namun dalam hati, sudah kurancang sesuatu yang akan membuatnya darah tinggi.

"Aku mau tetap menikah dengan lelaki itu dan tinggal di Jakarta. Namun, aku punya dua syarat." Dia menatapku dengan pandangan penuh selidik.

Aku akan membuatmu menyetujui apapun permintaanku. Kau tak punya jalan lain selain menurutiku, Ayah, dewi batinku menyeringai. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Aku meringis melihatnya. Duh, another me.

"Apa syaratmu? Jangan aneh-aneh deh," ucapnya sedikit terlihat tak suka.

"Pertama, aku mau tinggal dengan Ayah dan keluarga besar ayah. Bukankah tempatku memang di sana kalau ayah memang sudah mengakuiku sebagai anak? Aku benar 'kan, Yah?" tanyaku dengan pandangan sendu. Dia terlihat serba salah.

"Tapi Ayah tak bisa membawamu ke rumah yang sama dengan istri ayah. Dia pasti akan membuatmu tak nyaman. Apalagi Eleanor, kamu pasti akan terganggu dengannya," elak ayahku mencoba membuatku berubah pikiran. Baiklah, untuk sementara aku tak akan memaksanya untuk tinggal di rumah besar itu. Lagipula apa yang dikatakan Ayah ada benarnya. Aku juga belum siap bertemu dengan istri Ayah. Dia pasti membenciku. Di dalam kepala wanita itu, Ibuku adalah perusak rumah tangganya. Apalagi kehadiranku pasti membuatnya gusar.

Namun, aku bukannya mengalah begitu saja.

"Kalau begitu biarkan aku tinggal di rumah keluarga Alatas. Ayah bisa mengatakan supaya mereka dan juga aku bisa saling mengenal lebih jauh sebagai alasanku tinggal di sana. Menurut Ayah, bagaimana?" ucapku memberinya solusi. Aku yakin Ayah tidak akan menyetujuinya. Dan akhirnya aku bisa kembali lagi pada dunia nyamanku. Pulang ke kota yang kata ayahku adalah kampung. Belum tau aja, di Gresik semua penduduknya makmur. Tidak kalah dengan kota besar lainnya. Bahkan anak lulusan SMU saja bisa bekerja dengan bayaran yang lumayan. Enak saja mengatakan kotaku sebagai kampung.

Namun, aku tak menyangka jawaban Ayahku berbeda dari bayanganku.

"Baik. Ayo Ayah antar kamu ke sana," ucapnya antusias.

Bagaimana ini?? Kenapa Ayah justru setuju dengan ucapanku? Apa yang akan dipikirkan keluarga itu tentangku? Belum menikah saja sudah nebeng di rumah mereka.

Pasti, mereka bakalan illfeel denganku. Pasti itu, batinku kalut. Kemana dewi batinku? Kenapa di saat genting begini dia malah sembunyi? Awas saja kalau dia muncul lagi, bakal aku sleding pake bola bekel. Eh salah, pake bola bowling. Biar mampus sekalian, gerutuku sendiri dalam hati.

Ayah berlalu mendahuluiku yang hanya mampu terpaku. Sungguh ini di luar prediksiku. Kurasa, aku menyerahkan diriku sendiri ke sarang penyamun.

Bagaimana kalau mereka menyakiti nenek?? Atau lebih parahnya menghina nenek. Tidak. Aku tidak akan membiarkannya terjadi.

"Ayah, kurasa kita cari kontrakan yang bagus saja. Kurasa itu sama saja. Asal bukan kontrakan bobrok tadi," selaku. Namun, Ayah tak menghiraukanku. Dia berjalan kian cepat menuju arah mobilnya terparkir. Kini Ayah bahkan tampak sibuk dengan ponselnya. Berbicara beberapa saat, hingga menyadari aku dan nenek yang masih diam terpaku.

"Ayo, tunggu apa lagi?" tanyanya tak sabaran.

Dengan pelan aku berjalan ke arahnya dengan menggandeng nenek bersamaku. Pandanganku kosong. Bahkan pikiranku pun kosong. Aku tak tau lagi harus bagaimana.

Koporku terasa kian berat saja. Serasa membawa beban berton-ton. Melihatku kesulitan dengan koperku, Ayah mengernyit tak suka. Ayah terlihat tak sabar lalu kembali ke tempatku dan mengambil koper dari peganganku.

"Ck, kau lambat sekali. Ayo, kamu sudah ditunggu oleh keluarga Alatas." Aku kembali terpaku. Namun, tak lama karena panggilan dari ayah kembali terdengar. Bergegas aku mengikutinya dengan nenek di sampingku.

Que sera sera

Whatever will be will be

The future's not ours to see

Que sera sera ….