Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 8 - Mahesa: Ujian Pertama

Chapter 8 - Mahesa: Ujian Pertama

Hari ini aku kembali memulai langkah baru.

Maksudnya...

Aku akan pergi ke sekolah.

Hari yang begitu menyenangkan dan indah sekali.

Di sini, aku bisa melihat orang-orang yang tampak bersemangat menjalani aktivitasnya di pagi hari seperti berjualan, bekerja atau di sekolah seperti aku.

Sesekali aku juga melihat orang-orang menyapa aku atau sekedar memberi senyum.

Mereka tampak ramah dan selalu memberiku banyak perhatian.

Mungkin jika orang-orang yang tahu aku ini sekolah bukan di sekolah yayasan, mereka sedikit khawatir dan bahkan ada yang beberapa orang yang mengatakannya langsung kepadaku.

Kala itu aku langsung menyergah ucapannya dengan menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Dan mungkin atas dasar inilah mereka tahu jawabannya kalau aku baik-baik saja.

Ya.

Bagi mereka, aku baik-baik saja.

"Mahes, mau sekolah?" tetanggaku yang sedang berjualan nasi kuning menyapaku.

Aku lantas menganggukkan kepala.

"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati, ya."

Aku memberikan senyuman kepadanya tanda mengiyakan.

Kembali aku berjalan menuju sekolah dengan pandangan yang tak lepas melihat ke kanan dan ke kiri karena keadaan kota ini yang begitu sejuk.

Sesekali aku menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan.

Segar.

Hal itu yang mungkin bisa aku utarakan.

Dan kalau boleh jujur, sejak dulu aku memang tipikal anak yang menyukai alam.

Terkadang kalau aku menonton televisi dan melihat bencana yang terjadi di beberapa kota, hatiku meringis sekali.

Sebenarnya semua bencana itu adalah ulah manusia sendiri.

Longsor, banjir, gempa, tsunami dan beberapa bencana yang disebabkan karena keserakahan manusia dan tidak mau intropeksi atas kesalahan yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri.

Apalagi sekarang banyak sekali kejahatan-kejahatan yang terjadi.

Nyawa bagi mereka..., seakan taruhan yang bisa terbayar lunas tatkala balas dendamnya terselesaikan.

Naudzubillah.

Apalagi manusia saat ini sudah tidak takut lagi membunuh seseorang hanya karena permasalahan sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan secara baik-baik.

Aku kembali melanjutkan perjalanan dan kali ini..., tinggal beberapa meter lagi aku akan sampai di tempat tujuan.

Tapi baru saja aku akan berlari, tiba-tiba aku tersandung sesuatu.

Brukkk!!!

Hempasannya begitu keras hingga membuat sikuku lecet dan berdarah.

Aku meringis kesakitan kemudian duduk dan melihat ada benang yang terbentang panjang di jalan.

"Hahaha!" dengan itu, iringan suara tiba-tiba aku dengar dari balik pohon dan kudapati Dito bersama kawan-kawannya sedang menertawakanku dengan puas sekali.

Baru kali ini aku melihat raut mereka yang jahat.

"Kenapa? Ga suka?" ujar Dito.

Aku berusaha bangkit dan tak menggubris apa yang mereka ucapkan.

Tapi baru saja aku akan pergi, tasku tiba-tiba ditarik kemudian mereka mendorongku dengan kasar hingga aku kembali terjatuh.

"Lu ini anak baru tapi udah sok-sokan!" gertaknya. "Berani-beraninya lu buat Balqis marah sama gua. Sebenarnya lu ini siapa? Lu udah ngomong apa aja sama Balqis, ha?"

"Bos, rasanya lu percuma deh ngomong sama dia ini. Lagi pula si Mahes kan bisu." sahut temannya yang bernama Beni.

"Iya tapi gua kesel aja sih sama dia. Baru jadi murid baru aja udah songong. Gimana nanti?!"

"Bener juga." sahut salah satu temannya lagi. "Mendingan dari sekarang lu kasih pembelajaran aja sama Mahes bos biar dia kapok."

Dito seketika menyunggingkan senyuman lebar yang menyeringai, menakutkan.

"Bener juga apa kata lu. Ayo, bawa dia ke belakang!"

Hatiku benar-benar dirundung rasa takut yang luar biasa sekali apalagi saat mereka menari kerah bajuku dengan kasar.

Aku yang berusaha mengelak, rasanya tak mampu untuk menghentikan aksi kudeta dari mereka ini.

Tak ada yang bisa aku lakukan lagi selain terus berdoa kepada Allah dan berharap semoga Dia melindungiku dari segala kejahatan, salah satunya dari kejahatan geng Dito.

Mereka berempat membawaku ke sebuah tempat yang sunyi dan kotor sekali.

Ada banyak sarang laba-laba yang berada di atas langit-langit ruangan. Ketika melihat ruangan ini, aku seketika bisa menyimpulkan kalau ruangan ini sudah lama tidak dihuni oleh manusia.

"Lu emang harus dikasih pelajaran!" tanpa disangka, Dito yang berperawakan tinggi besar memukul pipiku dengan kepalan tangannya yang kekar dan kuat.

Aku seketika terpental sambil meringis kesakitan. Air mataku tiba-tiba jatuh tak karuan karena menahan rasa sakit yang teramat sangat.

"Dasar cengeng!" Dito meraih kerah seragamku kemudian dia kembali memukuliku dengan membabi buta hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah terhadap keadaan.

Hatiku benar-benar menjerit.

Apalagi rasa perih yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, membuatku harus sabar walau berusaha mengelak pun..., rasanya tak mungkin.

"Camkan gua, Mahes!" gertaknya dengan mata yang merah. "Gua gak akan pernah ngelepasin lu kalau misalnya lu berbuat ulah lagi. Gue juga kan takut kalau lu ngadu ke kepala sekolah atau kau ke yayasan gembel itu. Karena apa? Lu sama sekali enggak ada bandingannya sama gue. Dan satu!"

Aku sama sekali tidak mau melihat wajah garangnya Dito. Aku hanya bisa menunduk sambil terus menangis dengan tangan yang gemetaran.

"Kalau sampai lu ngasih tau semua perbuatan ini sama Balqis, liat aja Mahes! Lu akan tahu akibatnya sampai lu sendiri nggak pernah ngebayangin hal itu."

Aku mengangguk kecil.

"Camkan!!!" gertaknya lagi hingga tubuh kecilku terangkat karena dia benar-benar menarik kerah bajuku dengan kuat. "Gua tahu lu bisu. Dan gua juga tahu lu bisa denger ucapan gue. Awas aja lu!"

Dia mendorong tubuhku kemudian meninggalkanku sendiri di ruangan ini.

Aku hanya bisa berdiam diri sambil merasakan rasa perih di sekujur wajahku.

Tak terasa, sebuah cairan tiba-tiba menetes dari hidung.

Ketika aku melihatnya, ternyata..., cairan itu berwarna merah.

"Sakit sekali...." batinku merintih kesakitan sambil terus berusaha menghilangkan darah yang keluar dari hidungku ini.

Apakah dunia akan terus bersikap kejam kepadaku sampai seperti ini?

Rasanya kalau aku tidak mengerti dan tahu apa makna dari sebuah kekuatan, mungkin sampai sekarang aku akan terus berjalan pada sebuah luka yang selalu menganga dan membekas dalam hati.

Patah sekali.

Sedari dulu aku terus saja bertanya pada semesta.

Apakah aku, seorang Mahesa yang bisu ini tidak pantas berdiri tegak atau sejajar dengan orang-orang yang memiliki fisik sempurna?

Kapan aku memiliki sebuah kesempatan untuk bisa merasakan indahnya kehidupan dengan menjalin sebuah kekeluargaan dengan orang lain?

Entah bagaimana pula caraku untuk mengatakan semuanya pada bu Anita.

Aku yakin rasa linu yang ada di wajahku ini pasti menghasilkan luka lebam.

"Sudah jam tujuh?!" aku terperanjat kaget saat melihat jam dan kemudian segera berlari ke arah pintu.

Namun baru aku akan membukanya, tiba-tiba pintunya terkunci rapat.

Aku berusaha menggedor pintu dan membukanya dengan cara apa pun tapi apa yang aku lakukan ini hasilnya nihil.

Aku yakin mereka yang telah membenciku dari luar.

"Ya Allah. Apa salahku?"

...