Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 13 - Balqis: Tak Tahu Diri

Chapter 13 - Balqis: Tak Tahu Diri

Aku melihat Mahes sedari tadi terus saja termenung. Entah apa yang sedang ia pikirkan hingga seperti itu.

Setelah membantunya memberi obat, beberapa saat kami tidak berkata apa pun selain diam.

Aku melihat tatapan matanya tampak kosong.

Seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat, dan tak bisa diutarakan dengan lantang kepada seseorang.

"Kamu kenapa? Ada masalah?" aku begitu kaget tatkala Mahes melirik ke arahku dan dengan jelas, bisa kulihat wajahnya yang nampak lebam apalagi di daerah bawah dagu dan pelipis.

"Ya Allah, kamu kenapa? Sama siapa?"

Dia menggelengkan kepalanya seolah tidak mau memberitahu atas apa yang telah menimpanya.

"Katakan padaku, Mahes. Ayo ini!" aku memintanya untuk menuliskan seluruh kejadian itu lewat papan tulis yang sering ia bawa.

Lagi-lagi Mahes menggelengkan kepala.

Aku mendelikkan mata dengan kesal kemudian memalingkan muka.

Dia mencolek bahuku seperti bertanya 'ada apa?'

"Padahal beberapa hari yang lalu, aku mengenal Mahes sebagai seseorang yang terbuka dan selalu menceritakan apa saja yang sering dihadapi. Aku heran kenapa secepat itu seorang Mahes memperlihatkan bahwa apa yang ia rasakan saat ini, itu hanya sebuah sandiwara saja."

Di ujung mata, aku melihat Mahes menggelengkan kepalanya kecil.

"Ceritakan kepadaku semuanya. Aku bisa menjaga rahasia dan mungkin kamu juga tahu bahwa aku ini adalah orang yang ingin sekali mengenal lebih jauh tentang kamu. Aku ingin menjaga kamu, Mahes. Terkhusus dari orang-orang yang sering kali menganggap kamu sebagai anak yang rendah dan tidak pantas untuk berdiri bersama dengan orang-orang yang sempurna seperti mereka."

Baru kali ini aku benar-benar diliputi rasa penasaran yang luar biasa apalagi terhadap sebuah permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang lain.

Sebenarnya teman-teman dan keluargaku tahu, kalau aku ini adalah seorang wanita yang sangat cuek dan jarang sekali perhatian terhadap orang-orang selain diriku sendiri.

Aku benar-benar tidak mau tentang perasaan orang lain. Karena apa? Aku memiliki pemikiran kalau percuma saja kita perhatian dan mengerti dengan situasi mereka sementara mereka sendiri, tidak paham ketika kita berada dalam posisi yang sulit.

"Kita hidup, pasti memiliki permasalahan dan ujian dimulai dari yang terkecil sampai yang terberat di dalamnya. Kadang kita juga sesekali berpikir untuk tidak mengatakan semuanya secara gamblang kepada seseorang karena kita tahu, sebagian dari mereka hanya ingin mendengar keluh kesah kita. Bukan mengerti tentang apa yang sedang kita rasakan saat itu. Aku tahu permasalahan kamu ini terbilang begitu berat hingga kamu ingin menutupinya dari semua orang. Tapi setidaknya, kamu juga harus memiliki satu orang yang kamu percaya untuk bisa kamu keluh kelahkan semuanya. Memendam kesakitan itu tidak baik untuk kesehatan fisik dan rohani kamu, Mahes. Kamu merasa terbebani dengan semuanya sementara orang lain tidak ingin kamu beri ruang untuk mengetahui hal itu. Itu semua tidak adil. Kamu tak boleh seperti itu."

Mahes menundukkan kepalanya seolah sedang berpikir tentang apa yang tadi aku katakan. Lagipula aku mengatakan semuanya demi dia juga. Bukan apa-apa.

"Aku tahu kamu tidak ingin mengatakan semua permasalahan itu karena kamu takut aku akan mengadukan semuanya pada orang lain. Tapi kamu juga harus berpikir dua kali tentang bagaimana kalau nanti orang-orang yang telah melukaimu itu malah melukai orang-orang terdekatmu? Apa kamu akan siap melihat semuanya?" aku berdiri kemudian berjalan ke balkon.

Sebenarnya aku juga merasakan bagaimana sesaknya seorang Mahes, saat dia berada dalam posisi yang berat seperti itu. Terlihat dari raut wajahnya dia ingin mengatakan semuanya tapi, semua itu terhalangi karena ada rasa ketakutan juga yang dia pancarkan.

Aku tidak tahu harus mencari tahunya dari mana selain dari dirinya sendiri.

Karena aku juga baru mengenal Mahes beberapa hari ini saja.

"Euh!" dalam lamunanku ini, tiba-tiba aku mendengar Mahes bersuara.

Ketika aku membalik badan, ternyata dia sudah ada di depanku.

Wajahnya menyiratkan keraguan penuh. Tatapan matanya ia lontarkan pada lantai seperti tidak ingin melihatku karena suatu hal.

"Kalau kamu tidak mau aku mengatakannya pada siapapun, maka aku akan mendengar semua ucapan kamu." ujarku sambil tersenyum.

Dia mendongakkan kepalanya kemudian memberikan papan tulis itu kepadaku.

'Saat pergi ke sekolah, aku tiba-tiba dicegat oleh teman kelas kita kemudian dibawa ke sebuah ruangan. Di sana aku dikurung dan disiksa oleh mereka. Pada saat itu aku menjadi bulan-bulanan kemarahannya sampai malam hari.'

Mataku membulat. Pikiranku seketika tertuju pada sosok yang tidak dibicarakan Mahes dengan gamblang.

"Maksudmu, Dito?"

Mahes menundukkan kepalanya diam.

"Jadi kamu seperti ini karena ulah Dito dan kawan-kawannya? Kamu disiksa oleh mereka sedangkan kamu tidak ingin mengatakan hal ini kepada siapapun termasuk Bu Anita? Kenapa kamu ingin menutupi semua ini, Mahes? Dito itu sungguh keterlaluan dan sangat kurang ajar. Aku harus memberinya pelajaran."

Mahes tiba-tiba menghalangi langkahku dan dengan sigap, dia menelungkupkan kedua tangannya seolah memohon agar aku tidak pergi dan tidak memberitahukan semuanya pada mereka. Di situ aku jadi teringat atas janji yang tadi aku ucapkan.

Sementara dia, masih berada dalam posisi yang sama.

"Maafkan aku, Mahes." ucapku kemudian duduk dan melipat lutut kemudian memeluknya.

"Euh!" dia memberiku papan tulisnya lagi.

'Aku diancam oleh mereka untuk tidak mengatakan semuanya pada orang lain, apalagi kamu. Maka dari itu aku mohon kamu jangan mengatakan semuanya pada dia. Karena kalau iya, maka tidak hanya aku yang menjadi incaran Dito. Tapi orang-orang terdekatku juga. Jadi aku mohon.'

Sejurusnya aku mengangguk tatkala selesai membaca tulisannya. "Iya Mahes. Aku tidak akan melakukannya. Maafkan aku."

Suasana mulai menghening tatkala kami telah mengusaikan itu semua. Seperti ada titisan lembayung pada pilar-pilar cahaya yang mengkilat dari penjuru langit sampai ke bumi.

Semua orang memang ingin dimengerti.

Tapi terkadang mereka terlalu lupa tentang bagaimana caranya mengertikan perasaan orang lain.

"Hujan terkadang memberi kita kenyamanan untuk terus memperhatikannya dalam diam. Di sana, seakan ada suatu hal yang terus membuat kita untuk tak menarik pandangan sama sekali. Sama seperti orang-orang istimewa seperti kamu, Mahes. Kamu dilahirkan ke dunia untuk sebuah alasan. Semua yang diciptakan oleh Allah itu tidak ada yang sia-sia. Dan kamu, adalah salah satu makhluk yang paling beruntung di dunia ini karena masih bisa merasakan indahnya bernapas dan menghirup udara segar. Lihat itu!" aku menunjuk pepohonan. "Dan itu." aku menunjuk langit. "Walau semua orang mengakui bahwa kamu tidak bisa bicara, tapi kamu adalah orang istimewa karena masih bisa melihat indahnya ciptaan Allah yang ada di muka bumi ini. Tidak semua orang bisa merasakannya, Mahes. Kamu harus bisa mensyukuri hal itu dan jangan pernah takut untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa kamu adalah orang yang pantas untuk sukses."

...