Kali ini aku berangkat sekolah lebih cepat tak seperti biasanya.
Bukan apa-apa.
Aku meminta kepada pak Budi -supir pribadiku-, untuk mengantarku pergi ke Rumah Mahes.
Ya.
Mulai detik ini aku akan terus menjaga dirinya semampu diriku. Aku akan terus berusaha menjadi bayang dan pelindung Mahes dari serangan orang-orang yang tidak menyukai dirinya hanya karena memandang fisik.
Jujur.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku begitu kesal dan ingin sekali mengadukan seluruh sikap arogan Dito kepada kepala sekolah agar dia dikeluarkan dari sekolah itu
Aku tidak akan pernah takut untuk membela kebenaran. Apalagi jika penderitaan itu sudah menyangkut kebahagiaan temanku sendiri, aku tak bisa main-main lagi. Ingin rasanya aku menghajar Dito dan kawan-kawannya itu.
Namun saat aku melihat Mahes yang ketakutan saat aku mengucap nama 'Dito' saja, membuat niatku urung untuk melakukannya.
Padahal kalau boleh diutarakan, ayah Dito bekerja di tempat ayahku yang otomatis, keluarga mereka masih berada di bawah keluargaku. Namun aku tak pernah menjelaskannya kepada siapapun karena aku tahu, semua itu adalah aib yang tak boleh dibicarakan apalagi kepada sembarang orang.
Dito sebenarnya tak tahu aku ini adalah anak atasan ayahnya.
Dan aku juga tak tahu kenapa Dito bisa sesombong dan sesenioritas itu seolah semuanya bisa dibayar dengan uang, uang dan uang.
"Mahes, apa kamu sudah baik-baik saja? Apa kamu yakin mau sekolah sekarang?"
Aku melihat sedikit keraguan pada raut wajahnya. Mungkin dia takut dan trauma apalagi saat nanti harus berjumpa dengan Dito dan kawan-kawan menyebalkannya itu.
Aku tersenyum padanya. "Kamu jangan takut, Mahes. Ada aku yang akan menjaga kamu. Dan ya, mulai detik ini aku tak akan pernah membiarkan kamu berjalan sendiri lagi. Kamu mau sekolah atau pergi, harus bersamaku."
"Masya Allah...." tiba-tiba Bu Anita menghampiriku. "Kamu baik sekali, Nak. Tapi lebih baik tak usah. Merepotkan kamu saja nantinya."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Justru aku ikhlas ingin melakukannya dari hati yang terdalam. Lagi pula..., aku tak mau melihat Mahes sendirian. Aku akan terus menemaninya."
Raut ketenangan seketika terpancar dari wajah sang ibu asuh Mahesa Arnaf. Beliau benar-benar bahagia dan tak terlihat lagi raut kekhawatiran pada wajahnya.
"Alhamdulillah. Baiklah kalau begitu, Nak. Terima kasih banyak ya karena sudah mau membantu ibu untuk menjaga Mahes di luar sana. Ibu tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mendoakan kalian berdua supaya tetap berada dalam lindungan Allah."
"Iya, Bu. Terima kasih banyak." jawabku kemudian mencium punggung tangannya. "Kami mau berangkat sekolah dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
...
Aku merasakan sebuah angin yang berbeda tatkala kami berdua sedang berjalan ke dalam kelas.
Aku tahu angin itu bersumber dari Mahesa.
"Aku tahu kamu takut. Aku tahu kamu khawatir apalagi saat nanti kamu akan bertemu dengan Dito dan yang lain." ujarku. "Tapi kamu jangan takut, Mahes. Aku akan berusaha melindungi kamu dari kejahatan Dito. Aku tidak akan pernah membiarkan kamu seperti lagi. Kamu harus kuat dan jangan pernah takut untuk membela kebenaran, ya."
Mahes menyunggingkan senyuman kecil. Dia memperhatikanku sesaat, kemudian kembali menundukkan kepala.
Entah ada pikiran dari mana, tiba-tiba aku bisa merasakan kalau Mahes seakan menjawab, "terima kasih, Balqis. Kamu sudah membuatku berani dan takut lagi."
"Eh. Kamu sudah sehat?" Maira tiba-tiba datang kemudian menanyakan hal itu kepada Mahes.
Dia menganggukan kepala.
"Sebenarnya kamu sakit apa?" tanyanya lagi.
"Ah em..., itu. D-dia kurang enak badan. Biasa." aku terkekeh berusaha menutupi kebenarannya pada semua orang.
"Oh begitu. Ya sudah. Semoga lekas sembuh ya. Aku tinggal dulu." seru Maira kemudian berlalu.
"Ayo." kembali, aku meminta kepada Mahes untuk melanjutkan langkah.
Tapi baru saja aku akan menginjakkan kaki ke dalam kelas, suara tawa Dito yang menggelegar itu tiba-tiba membuatku mengurungkan niat.
Tak biasanya dia sudah datang sepagi ini.
Aku yakin pasti ada suatu hal yang akan ia lakukan pada orang-orang.
"Gua yakin si bisu itu bakal sekolah sekarang. Kita lihat reaksinya gimana."
"Ya pasti takut lah bos." aku mendengar Tobby menyautnya. "Eh tapi gimana kalau misalnya dia ngadu ke Balqis? Bisa berabe lagi masalahnya sama lu."
Dito tertawa. "Gua yakin Mahes engga akan pernah bisa cerita sama siapapun termasuk Balqis. Mental dia itu cemen woy. Disiksa dikit aja udah mewek. Dia engga bakalan ngadu. Lo harus percaya sama gue."
Hatiku benar-benar geram sekali tatkala mendengar Dito dengan santainya mengatakan hal itu. Seperti tidak ada rasa menyesal sedikit saja dari dirinya karena sudah menyakiti orang lain seperti Mahes.
Kalau tidak ada pria ini, aku pasti akan mencerca Dito habis-habisan. Tak peduli nanti aku menjadi pusat perhatian. Karena apa yang Dito lakukan, itu sungguh keterlaluan.
"Mahes. Ayo kita masuk." pintaku.
Aku bisa melihat rautnya yang ragu dan berdiri tepat di belakangku.
"Kamu tak usah takut." aku berusaha menenangkannya. "Anggap saja semua itu angin lalu. Ya walaupun aku tahu luka dan traumamu itu tidak bisa dilupakan dengan mudah apalagi saat lihat pelakunya. Tapi kamu harus camkan satu hal, Mahes. Kamu tidak boleh terlihat lemah di depan mereka. Meskipun kamu takut, tapi kamu harus bersandiwara untuk terlihat kuat agar mereka tak menganggap kamu sebagai anak yang rendah lagi. Lagi pula aku akan selalu menemani kamu. Jadi kamu tak usah takut, ya."
Mahes mendongakkan kepalanya kemudian mengangguk kecil.
"Baiklah kalau begitu. Kita masuk sekarang?"
Mahes menjawabnya dengan tersenyum.
...
Angin telah membawa cinta dan cerita yang penuh ilusi.
Di dalamnya terdapat banyak hal yang perlu kita pelajari lagi tentang bagaimana caranya mensyukuri hidup dan menerima apa yang kita miliki saat ini.
Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menghadapi semuanya dengan tabah dan kuat.
Karena jika kita tidak melakukan itu, maka semuanya pasti akan sulit untuk terjadi.
Jangan pernah takut untuk menyerah ataupun putus asa terhadap keadaan yang dihadapi.
Sebab dibalik orang-orang yang menghina kamu, di sana masih ada segelintir orang yang peduli dan ingin melihat kamu sukses dengan cara yang halal.
Dari sini aku belajar banyak pada Mahes.
Dia adalah seorang pria yang kuat dan tak pernah malu untuk menunjukkan dirinya kepada semua orang.
Ya walau tak sedikit juga orang-orang yang memandangnya sebelah mata, tapi hal itulah yang menjadi tolak pacu seorang Mahes untuk tetap hidup layaknya orang-orang yang sempurna pada umumnya.
Kehadiran dirinya telah mengubah kehidupanku. Dan tentunya aku tidak akan pernah bisa melepaskan seseorang yang telah berjasa banyak dalam kehidupan ini.
Bagiku, Mahes itu berbeda.
Dia, adalah seorang pelengkap yang hadir, kemudian menghiasi sesuatu yang awalnya kelam menjadi indah di dalamnya.
Aku menyukai perjuangan dia.
Aku menyukai Mahes dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki.
Karena apa? Menurutku dia sempurna.
...