Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 11 - Mahesa: Sebuah Kesakitan

Chapter 11 - Mahesa: Sebuah Kesakitan

Bagan ilalang yang tertumbuk pedih pada kesakitan lara tiada dusta.

Bergejolak pedih, hingga akhirnya sampai pada ujung akhir yang segalanya.

Aku merindu.

Merindukan banyak hal yang belum sepenuhnya aku miliki sementara orang lain di luar sana telah merasakan hal itu.

Sakit memang.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima keadaan ku yang sebenarnya.

Sudahlah.

Semuanya aku serahkan pada Allah. Biarkan Dia yang mengatur tentang kapan dan di mana aku bisa menjadi diriku yang seutuhnya.

...

Aku benar-benar terperanjat kaget tatkala melihat jam sudah pukul enam pagi.

Aduh. Bodoh sekali.

Seharusnya setelah salat subuh tadi aku tidak tidur. Alhasil aku kesiangan dan dengan segera aku bersiap-siap ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tak membutuhkan waktu yang lama.

Setelah selesai, aku lantas memakai seragam dan menyiapkan jadwal pelajaran hari ini.

Ya walau sebenarnya tubuhku masih belum terlalu bisa diajak kompromi untuk bersemangat, tapi aku berpikir kalau seorang manusia tidak memiliki rasa semangat, lalu kapan dia akan sukses dengan keinginan yang sedang ia gapai?

"Mahes?" aku mendengar Zaid masuk ke kamar. "Kamu mau ngapain? Sekolah?"

Aku mengangguk.

"Loh kok sekolah? Kamu kan masih sakit. Apa kamu gak dengar tadi bu Anita udah nelpon ke pihak sekolah kalau kamu hari ini tidak akan sekolah?"

Aku terpaku.

Apa? Aku tidak akan sekolah?

"Kamu ini masih sakit, Mahes. Seharusnya kamu istirahat dulu di sini."

Aku tak menggubris ucapan Zai dan memilih untuk tetap bersiap karena aku akan tetap pergi ke sekolah apapun itu alasannya.

Sudah satu hari aku ketinggalan banyak pelajaran dan hari ini aku tidak mau kehilangan pelajaran lagi.

Bagiku ilmu sangat berarti dan tidak bisa di nomor duakan.

Ya meskipun tubuhku masih lemas, tapi hal itu bukan bisa menjadi alasan utama kenapa aku  bolos sekolah.

Selama kaki masih bisa melangkah, maka aku akan terus mencari ilmu sampai kapanpun.

"Mahes, kamu masih tetap mau sekolah?" Zaid menyergahku.

Aku mengangguk mantap dan pergi menuju pintu.

Tapi ketika aku membukanya, sosok wanita yang selalu menghawatirkan keadaanku berdiri menghalangi jalan yang akan aku langkahi.

Iya. Beliau adalah Bu Anita.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya dengan raut datar.

Aku menunjuk seragam dan tas ku.

"Tadi ibu udah telepon wali kelas kamu kalau sekarang kamu tidak akan sekolah dulu. Jadi lebih baik sekarang kamu ganti baju dan istirahat." ujarnya sambil masuk ke kamarku dan Zaid kemudian membereskan buku-buku yang tak tersusun rapi.

"Tapi aku ingin sekolah, Bu." ujarku sambil menunjukkan papan tulis kecil kepadanya.

Setelah membaca jawabanku, Bu Anita lantas tersenyum kemudian memintaku untuk duduk di sisi kasur.

"Ibu tahu kamu adalah anak yang ambisius artinya sekali mengejar cita-cita. Semua anak disini tahukah kamu adalah anak yang pintar dan selalu menganggap ilmu itu adalah sesuatu hal yang penting dan tidak bisa di nomor duakan. Tapi yang perlu kamu tahu, Mahes. Kondisi kamu saat ini masih belum stabil. Lihat luka-luka yang ada di wajahmu itu." serunya sambil menunjuk pelipis dan bawah dagu. "Bagaimana kalau nanti kamu sekolah dan guru-guru menanyakan penyebab kamu seperti itu? Apa yang nanti akan kamu jawab? Lalu kalau misalnya Balqis tahu kamu seperti ini, kamu akan jelaskan apa kepada dia?"

"Benar sekali." sahut Zaid. "Aku yakin Balqis pasti akan menyerbu kamu dengan banyak pertanyaan. Seberusaha apa pun kamu menutupi kebenaran dari Balqis, dia pasti tak akan percaya dengan kamu, Mahes. Ayolah."

Apa yang dikatakan Zaid dan Bu Anita dan benarnya juga. Aku tak tahu harus menjelaskan apa jika nanti teman-teman di kelas menanyai tentang luka lebam yang ada di wajahku ini. Aku yakin Dito dan kawan-kawannya pasti akan memperhatikan gelagatku.

Tidak. Ada benarnya aku tidak usah sekolah dulu hari ini.

"Bagaimana? Kamu masih tetap mau sekolah?" tanya Bu Anita.

Aku menggelengkan kepala.

Beliau tersenyum. "Baiklah. Istirahat, ya."

Baru saja aku akan mengganti baju, tiba-tiba ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk.

'Mahes? Apa kamu baik-baik saja? Ini aku, Balqis.'

Aku mengerutkan kening.

Apa? Balqis?

Kenapa dia bisa tahu nomor ponselku? Pasti dia minta sama Zaid.

'Aku baik-baik saja. Kamu jangan khawatir.' balasku.

Tanpa perlu menunggu waktu yang lama, Balqis kemudian mengirimkan pesan lagi.

'Apa hari ini kamu akan sekolah?'

Tak tahu kenapa bibirku tiba-tiba menyunggingkan senyuman kecil.

'Tidak. Kata Bu Anita aku harus istirahat dulu sebentar.'

'Baiklah kalau seperti itu. Aku harap kamu jangan terlalu memikirkan peristiwa yang sudah menimpamu kemarin. Tetap tenangkan pikiran dan jangan lupa istirahat yang cukup lalu minum obat, juga makan yang teratur. Aku sudah tak sabar ingin segera pulang dan menemui kamu. Aku sangat penasaran dan ingin mendengar semua cerita kenapa kamu bisa seperti itu. Aku harap kamu bisa jujur mengatakan semuanya kepadaku, ya. Baiklah. Sudah bel. Aku akhiri dulu. Nanti siang aku ke yayasan.'

Perasaanku benar-benar tak karuan tatkala membaca akhir pesan dari Balqis.

Apa yang nanti harus aku utarakan kepada dia?

Meskipun aku dan Balqis baru bertemu sebentar, tapi aku sudah tahu sifat dia seperti apa.

Balqis selalu ingin tahu tentang hal yang menimpa orang-orang terdekatnya.

Ketika dia merasa tidak puas dengan informasi yang ia dapat, maka dia sendiri yang akan mengambil alih dan mencari tahu semuanya sampai dia merasa puas.

Aku takut.

Aku takut kalau bagaimana nanti dia seperti itu kepadaku? Apa yang harus aku jelaskan?

"Kamu tak usah takut." ujar Zaid seperti sudah tahu isi pikiranku.

Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia tersenyum kecil.

"Balqis itu sangat perhatian sekali pada kamu dan pada anak-anak di sini. Dia wanita yang sangat baik dan tak pernah memandang seseorang dari segi apa pun. Kalau nanti kamu ditanya oleh dia, maka aku yang akan berusaha menjelaskan kepada Balqis supaya dia mengerti. Bagaimana?"

Aku lantas mengangguk cepat sambil memberi isyarat terima kasih.

"Sama-sama." jawab Zaid dan ikut duduk di sampingku sementara pandangannya dialihkan ke berbagai sisi. "Aku tahu kamu seperti ini karena ulah Dito dan kawan-kawannya."

Apa yang dikatakan Zaid seketika membuatku terlonjak kaget.

Ha? K-kenapa dia bisa tahu?

"Iya, kan?" Zaid memperjelas.

Aku menggelengkan kepala.

"Aduh, Mahes." sahutnya sambil duduk. "Memangnya aku tidak tahu dengan semua kejadian yang telah menimpa kamu? Memangnya aku tidak tahu sikap temanku ini seperti apa? Meskipun kamu bisa menutupi semuanya dari Bu Anita, tapi kamu tidak akan pernah bisa menutupi semuanya dari aku. Aku sudah mengenal kamu dari kecil, Mahes. Dan aku juga yakin kalau kamu sudah mengenal aku dari kecil. Aku akan tahu apa yang terjadi pada kamu tanpa kamu memberitahunya. Apalagi kamu ini sangat tak mau memberitahu sesuatu yang mampu membuat seseorang khawatir. Sudahlah. Sekarang jujur. Semua ini karena ulah Dito kan?"

Aku diam dan memilih tak berkutik.

Karena apa yang dikatakan Zaid ada benarnya juga.

Aku bisa menutupi semuanya dari Bu Anita.

Tapi aku tidak bisa menutupi semua semua kesakitan ini dari Zaid.

...