Rasanya waktu semakin larut.
Aku bisa melihat suasana ruangan ini yang semakin sini semakin gelap.
Sudah berusaha sekuat mungkin aku mendobrak pintu tapi tidak menimbulkan kesan yang berarti.
Rasa takut benar-benar menyeruak di dalam tubuh ku.
Sampai kapan Dito akan mengurungku pada ruangan yang begitu gelap ini?
Sebenarnya apa yang dia inginkan dariku?
Bruk!!!
Suara gebrakan pintu tiba-tiba membuatku tersentak kaget.
Dengan segera aku berdiri kemudian menghampiri pintu, dan mendapati Dito sudah berada di depanku bersama teman-temannya.
Aku melirik ke arah luar dan benar saja dugaanku.
Langit sudah petang dan sebentar lagi akan malam.
Aku berusaha menerobos keluar dari mereka.
Tapi ternyata..., cengkraman Dito pada kerah bajuku membuatku tidak bisa berkutik.
"Apa? Lu mau berusaha kabur kan?"
Aku dengan segera menelungkupkan kedua tangan memberi isyarat agar Dito melepaskanku saat ini.
Aku tahu Bu Anita di sana pasti menghawatirkan keberadaanku.
Dan tentunya..., aku sama sekali tak pernah bisa membayangkan raut kekhawatiran yang terpancar dari seorang ibu yang sudah merawatku dari kecil.
"Lu gak akan pernah bisa lepas dari gua, Mahes. Lu nggak tahu seberapa berbahayanya gua kalau udah benci sama orang. Satu hal yang harus lu inget. Gua udah muak sama lu dan akan terus membayangi hidup lu dengan buruk!"
Dito menendang pahaku dengan keras sementara teman-temannya menertawakanku dengan puas.
"Jadi bos mau ngurung si bisu ini sampe kapan?" tanya Tobby sejurusnya.
"Gua gak tahu tapi gua bakalan terus ngurung dia di sini."
Ketika Dito mengatakan hal itu, aku dengan segera menggelengkan kepala sambil menangis dan memohon kepada dia untuk tidak melakukan hal seperti itu padaku.
Deni memperhatikanku sekilas kemudian melirik ke arah Dito.
"Menurut gua, lu jangan terlalu jahat sama Mahes, bos. Maksudnya, ya gua terserah kalau lu mau memperlakukan Mahes kayak apa. Tapi saran gue lu jangan sampai ngurung dia berhari-hari apalagi sampai misahin dia sama keluarganya."
"Oh. Jadi lu sekarang udah mau ngebela si Mahes?" sahut Tobby.
"Maksud gua bukan seperti itu." Beni menghampiri Dito. "Denger bos, Mahes itu anak yang paling berpengaruh di kelas. Dia katanya anak yang pinter dan selalu menang dalam setiap lomba. Nah daripada kita nyiksa dia sampai gini, kenapa kita gak manfaatin aja tuh kepinteran dia? Lagi pula kita semua kan tahu lu ini paling benci sama matematika. Ya kalau gua sih lihat Mahesa ini kayak nemu jarum emas dalam jerami. Kita bisa memanfaatkan kepintaran dia dengan mengerjakan seluruh tugas-tugas yang guru kasih karena lu jarang ngerjain tugas."
Dito terdiam.
"Gua sama sekali nggak pernah berniat untuk membela Mahes atau ngekhianatin lu. Tapi lu coba pikir dengan otak. Kapan lagi kita nemu cowok yang bisa kita manfaatin kayak dia? Lagi pula menurut gua percuma aja lu mau nyiksa Mahes sampai apa pun itu keadaannya. Karena apa? Guru-guru bakal terus nilai lu sebagai anak yang males, kurang ajar, gak tau sopan santun dan pastinya anak yang bisa bertahan di sekolah itu karena duit."
Setelah Beni mengatakan hal itu, tiba-tiba aku melihat raut Dito berubah.
Entahlah.
Aku lebih melihat ekspresinya datar dan tidak sekejam tadi.
"Bener juga apa yang lu omongin tadi." ujarnya yang seketika membuatku bernapas lega. "Sekarang gua nggak mau tahu pokoknya lu harus pergi dari sini!" Dito membentakku.
Aku melihat reaksi Beni yang menggerak-gerakan matanya seperti memberi isyarat agar aku segera lari dari sini.
"Cepet!" aku tersentak kaget. "Kalau lu masih tetap di sini, gua bisa aja berubah pikiran."
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku membawa tas kemudian segera berlari dari mereka dengan kencang sekali. Kakiku rasanya melayang. Tak sadar kalau aku bisa lari sampai seperti ini.
Aku melihat keadaan luar yang sudah gelap.
Karena sudah tidak ada lagi tumpangan, terpaksa aku berjalan dari sini ke yayasan dengan perasaan yang masih diliputi takut, kalau-kalau saja Dito dan kawan-kawannya mengikutiku dari belakang.
Sesekali pandangan kulemparkan ke kanan, ke kiri atau ke belakang.
Tak perlu ditanyakan lagi.
Hatiku benar-benar takut dan ingin sekali menangis.
Aku juga tak tahu apa yang nanti harus aku jelaskan pada bu Anita. Dia pasti sangat terkejut karena khawatir melihat wajahku yang lebam dan ada bercak bercak darah kering di baju seragam putihku.
Tak perlu membutuhkan waktu yang lama, kakiku tiba-tiba diam terpaku saat sudah berada di depan pintu kamarku.
Aku bisa mendengar orang-orang menangis sambil menyebut-nyebut namaku. Apalagi Bu Anita, suara yang sangat aku kenali itu..., dia sedang meminta kepada orang-orang untuk mencari aku sampai ketemu.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil mentegarkan diri.
Setelah siap, aku lantas membuka pintu yang seketika membuat suara ricuh di dalam ruangan itu tiba-tiba hening.
Ceklek.
Aku menundukkan kepala karena tidak mau melihat reaksi orang-orang saat melihat keadaanku.
Sesaat orang-orang tidak ada yang berkata sedikitpun. Hingga setelah beberapa menit kemudian, seorang wanita menghampiriku dengan rasa khawatir yang luar biasa.
"Ya Allah Mahes, kamu dari mana saja?" Bu Anita mendongakkan daguku dan seketika terkejut sambil menutup mulutnya. "Astagfirullah. Kamu kenapa? Siapa yang telah melukai kamu sampai seperti ini? Hidung kamu berdarah, Mahes. Kamu sudah diapakan oleh orang-orang?" aku bisa mendengar suara Bu Anita yang gemetar sambil menahan tangis.
Di sini aku masih tidak berani menatap matanya.
"Ayo, ayo!" Bu Anita memintaku untuk duduk kemudian dia memberikan papan tulis serta sepidol. "Coba tuliskan di sini dan jelaskan semuanya pada ibu."
Aku menggelengkan kepala pelan.
"Kenapa? Kamu tak usah takut, Nak. Ada ibu dan teman-teman kamu di sini. Kalau kamu merasa ada orang yang sedang atau berusaha untuk menyakiti kamu, katakan saja semuanya dengan judul kepada kami. Kamu tidak boleh takut atas ancaman dia. Kami akan selalu ada bersama kamu."
Jujur.
Kalau boleh kukatakan, sebenarnya ingin sekali aku mengadu tentang semua yang terjadi di siang tadi kepada Bu Anita dan semua orang-orang yang ada di sini.
Tapi belum sampai aku akan mengatakannya, pikiranku seolah-olah tertuju pada wajah garang Dito saat dia memukulku tanpa ampun. Semua niatku seketika urung. Aku takut.
Aku terlalu takut kalau nanti ancamannya bisa sampai ke anak-anak yayasan Bunda Kasih yang lainnya.
"Ayo, Mahes. Kamu jangan banyak melamun. Tulis dan jelaskan semuanya pada kami. Sungguh. Sejak siang Ibu terus mengkhawatirkan keadaan kamu seperti apa. Jangan buat ibu khawatir dengan kondisi kamu yang seperti ini."
Dengan tangan gemetar, aku meraih spidol kemudian menuliskannya di papan tulis.
"Aku baik-baik saja, Bu. Ibu tak usah khawatir."
Dengan posisi Bu Anita yang kini sedang mengobatiku, dia menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Memangnya bisa kamu membohongi Ibu sampai seperti ini, Mahes? Anak kecil saja tidak akan percaya kalau kamu mengatakan semuanya baik-baik saja padahal kamu sendiri terluka. Ayolah, Nak. Katakan semuanya pada ibu. Kamu jangan takut."
Karena sudah tidak tahan lagi, aku lantas memeluk Bu Aniita sambil menangis.
Rasanya pedih sekali menjadi seorang aku.
Namun apa pun itu, aku harus bisa menerima semuanya dan menganggap bahwa apa yang telah aku alami tadi adalah sebuah ujian ketika orang sepertiku... ingin bangkit menjalani kehidupan seperti orang-orang pada umumnya.
...