Aku masih terus membungkam mulut saat orang-orang di sekitarku meminta aku untuk memberikan penjelasan tentang kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi padaku tadi.
Aku benar-benar tak mau orang-orang tahu masalah yang sedang aku hadapi saat ini.
Aku takut.
Aku sangat takut.
"Baru kali ini kamu menyimpan semua masalah dari ibumu ini, Mahes. Ibu tahu masalah yang sedang kamu hadapi ini sungguh menyakitkan. Ibu tidak bisa memaksa karena kamu benar-benar tidak mau mengatakan semuanya pada kami. Baiklah kalau seperti itu. Tapi besok Ibu akan pergi ke sekolah untuk meminta surat pengunduran diri dari sekolah."
Aku seketika terbelalak tak karuan kemudian menggelengkan kepala dengan cepat.
"Ibu yakin masalah yang sedang menimpamu ini pasti ada kaitannya dengan anak-anak di sekolah itu. Lagipula kenapa kamu tidak mau mendengar Ibu sejak awal, Mahes? Berat hati Ibu menerima ketika kamu ingin sekolah di tempat yang bukan selayaknya harus kamu tempati. Lihat Zaid dan temanmu yang lain. Mereka sekolah di yayasan kita dan keadaannya baik-baik saja. Ibu tahu kamu anak yang sangat pintar dan bisa bersaing dengan anak-anak luar. Ibu juga tahu kamu bisa masuk ke sekolah paling terkenal di kota ini. Tapi kamu sendiri kan tahu sejak dulu Ibu tidak menyetujuinya karena apa? Pergaulan anak-anak di sana itu berbeda, Mahes. Sangat berbeda. Oke mungkin kamu mematahkan pendapat Ibu karena melihat ada Balqis yang ingin menjadi teman kamu dari sekolah itu. Tapi apa kamu akan selalu berlindung di belakang punggungnya ketika orang-orang lain menghina kamu? Apakah kamu akan terus bergantung pada Balqis ketika orang-orang di sana berniat untuk menyakiti kamu? Buktinya tidak. Kamu sendiri yang mendapat perlakuan tidak baik dari orang-orang itu. Lagipula Balqis kan perempuan. Kamu jangan memanfaatkan dia untuk kondisi kamu yang seperti ini."
Aku lantas mengambil sepidol.
"Mahes tidak mau keluar dari sekolah itu, Bu. Ibu jangan pergi ke sekolah untuk meminta surat pengunduran diri. Mahes sangat betah sekolah di sana. Dan untuk kejadian ini, ibu jangan khawatir. Mahes baik-baik saja. Anggap semua ini sebagai bentuk adaptasi karena aku yakin suatu saat nanti, mereka akan terbiasa dan menerima Mahes seutuhnya tanpa memandang kekurangan apa pun. Sejahat jahatnya orang, mereka pasti memiliki sisi baik. Dan suatu saat nanti aku yakin mereka semua akan memperlakukan Mahes seperti orang-orang pada umumnya."
Setelah membaca tulisanku itu, Bu Anita menitikan air matanya. Dia menatap wajahku dengan penuh kasih sayang seperti layaknya tatapan lembut dari seorang ibu kepada anak kandungnya.
"Berat hati ibu harus menerima semua jawaban kamu, Mahes. Tak perlu diutarakan pun ibu sudah tahu kamu pasti paham kekhawatiran ibu terhadapmu. Rasanya sulit sekali. Tapi ibu tak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk kamu." Bu Anita memegang tanganku dan mengusapnya. "Baiklah jika ini mau kamu. Ibu tak bisa memaksa, Nak. Tapi apa yang kamu lakukan ini adalah kesempatan terakhir. Ibu tak mau melihat kondisi kamu terluka seperti ini terus menerus. Lalu jika di kemudian hari ibu melihat kamu diperlakukan tak baik lagi, mau tak mau kamu harus terima kalau besoknya ibu akan ke sekolah dan mengadukan semuanya pada kepala sekolah."
Aku terdiam sambil menundukkan kepala.
"Bagaimana. Apa..., kamu setuju?"
Beberapa saat kemudian, aku mengangguk ragu.
"Baiklah kalau seperti itu." Bu Anita menyelimutiku. "Sekarang kamu istirahat dan untuk masalah tadi, jangan terlalu dipikirkan terlalu dalam, ya. Anggap saja angin lalu. Dan satu. Kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan goyangkan saja bel ini atau bangunkan Zaid. Oke?"
Aku tersenyum tatkala Bu Anita melambaikan tangannya kemudian menutup kamarku.
Huft.
Hari ini adalah hari yang begitu memberikan kesan berbeda dari hari-hari yang pernah aku lewati sebelumnya. Begitu berbeda sampai aku akan terus mengingatnya dengan detail setiap peristiwa tadi.
Bukan berniat untuk membalas dendam atau mengingat-ingat keburukan orang. Tapi memang perlu aku akui jika ada suatu hal asing yang terjadi dalam kehidupan, aku selalu mengingatnya terus menerus.
Seperti contoh aku dan Balqis.
Aku masih ingat betul saat-saat di mana wanita itu membelaku di depan Dito dan kawan-kawannya tanpa ada sedikitpun rasa takut.
Di situ aku kagum dengan dia.
Balqis adalah wanita yang tangguh dan selalu membela kebenaran. Meskipun Dito terlihat segan dan takut ketika berhadapan dengan Balqis, tapi sebenarnya dia begitu baik kepadaku.
Entah racun apa yang sudah dia berikan pada Dito hingga membuat geng kudeta itu begitu takut ketika adu mulut dengan Balqis.
Ceklek.
Pandanganku seketika teralih saat melihat Zaid masuk ke dalam kamar.
Dia tersenyum kemudian mendekatiku.
"Kamu baik-baik saja? Atau..., ada yang masih sakit?"
Aku menggelengkan kepala walau sebenarnya..., dagu dan hidungku ini masih terasa nyut-nyutan.
"Alhamdulillah kalau seperti itu." sebelum berbaring, seperti biasa Zaid membersihkan debu kasurnya dengan selimut. "Tadi Balqis datang ke sini."
Aku seketika mengerutkan kening.
"Dia menanyakan keberadaanmu." lanjutnya.
Dengan segera aku mengambil sepidol.
"Lalu? Apa yang kamu katakan?"
"Aku katakan dengan sejujurnya kalau kamu belum pulang." setelah selesai membersihkan debu, Zaid memintaku untuk kembali berbaring. "Tentu saja ucapanku ini seketika membuatnya terkejut dan langsung bilang kalau kamu tak masuk sekolah. Aku kira Balqis bercanda. Tapi saat aku mendengar penjelasannya bahwa dia kemari dengan niat ingin mengetahui alasan kenapa kamu tak sekolah, justru di situ aku keheranan juga sebenarnya kamu pergi ke mana. Karena kalut, akhirnya kami adukan saja pada Bu Anita." Zaid melirik ke arahku sebentar. "Kamu tidak tahu, Mahes. Bagaimana reaksi Bu Anita tadi saat tahu kamu tak masuk sekolah."
Aku menaikkan alis sebagai isyarat untuk menyahut ujaran Zaid.
"Aku benar-benar tak menyangka dan baru kali ini melihat Bu Anita menangis sambil terus meminta kepada para penjaga untuk mencari kamu. Dia begitu khawatir dengan kondisi kamu, Mahes. Apalagi saat beliau tahu kamu sudah diperlakukan tak baik oleh teman-teman kamu, aku tahu hatinya pasti hancur sekali."
Benar sekali.
Apa yang dikatakan Zaid itu tidak ada yang salah.
Malah kalau memang aku harus mengutarakannya dengan jujur, aku benar-benar merasa bersalah karena sudah menyangkal ujaran Bu Anita tadi.
"Tapi tak hanya kamu. Aku juga bisa melihat raut kekhawatiran dari wajah Balqis. Sedari tadi dia terus saja menghubungi teman-temannya lewat telepon dan bilang apakah ada salah satu dari mereka yang melihat kamu atau tidak. Di sini Balqis sibuk sekali. Banyak orang yang mengharapkan kehadiran kamu karena takut ada sesuatu hal yang terjadi pada kamu. Termasuk aku."
"Lalu..., kapan Balqis pulang?" tulisku.
Zaid menyunggingkan senyum saat sudah selesai membacanya.
"Baru. Baru saja tadi dia pulang. Dan kamu tak usah khawatir. Tadi aku sudah menghubungi Balqis kalau kamu sudah pulang."
Syukurlah.
Hatiku lega sekali tatkala mendengarnya.
Karena biar bagaimanapun juga..., aku tak mau melihat orang-orang sibuk mengkhawatirkan keadaanku sementara keadaan mereka tidak diperhatikan sama sekali.
...