Saat berkenalan dengan Pak Haris saat itu, aku jadi melihat sesuatu yang aneh pada diri Mahes.
Maaf. Tapi bukan karena kekurangannya.
Aku hanya melihat..., dia ini sepertinya sangat istimewa daripada pria pria yang ada di luar sana.
Sebenarnya sejak tadi istirahat, aku memang sengaja tak ke kantin karena melihat Mahes ini seperti akan diincar oleh Dito.
Benar saja.
Ketika aku ada di kelas saja..., perlakuan Dito sudah seperti itu. Bagaimana kalau aku pergi ke kantin?
Hari ini aku pulang bersama dia. Aku bisa melihat raut wajah Mahes yang terlihat bahagia sekali.
Entahlah. Meskipun aku tak mampu mendengar suaranya, tapi aku tahu isi hatinya sekarang tengah memikirkan apa.
Sebelum pulang, tadi tanganku ditarik dulu oleh Sinta.
"Qis, kita pulang bareng yuk?"
"Aduh, aku enggak bisa, Sin. Kapan-kapan lagi aja ya."
"Loh, kok tumben? Memangnya mau kemana?"
"Aku enggak kemana-mana. Cuman mau pulang sama Mahes. Tapi kalau kamu mau bareng sama kita..., ayo aja."
"Apa?" dia sedikit meninggikan suaranya, "Kamu mau pulang sama Mahes?"
Aku mengangguk.
"Apa gua gak salah denger? Kamu mau pulang sama Mahes?"
"Memangnya kenapa? Apa aku salah pulang sama dia? Mahes kan anak baru. Kita harus bisa buat dia betah di sini."
"Bukan gitu maksud gua Qis. Kamu tuh banyak disukain sama cowok. Ya gua heran aja gitu kenapa cewek kaya kamu lebih milih jalan bareng sama Mahes dibanding sama cowok-cowok ganteng di kelas sebelah."
"Ah. Itu sih..., bukan jadi patokan buat aku."
"Sebenernya gua cuma aneh."
"Eh, tapi bukannya kamu dari tadi godain Mahes terus kan?" selaku, "Terus kenapa sekarang kayak enggak mau?"
"Ya awalnya gitu. Karena dia emang ganteng dan gua bisa akuin itu. Tapi...."
"Kamu enggak jadi ngedeketin Mahesa lagi karena dia punya kekurangan kan?" aku mencoba menebak isi pikiran Sinta.
"Yaa kurang lebih kayak gitu. Lagian malu-maluin lah nanti kalau gua ajak dia jalan terus pas ngomong dia bawa-bawa papan tulis kecil, terus cuma ngomong pakai bahasa isyarat gitu. Ih ngapain sih."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Perlu aku akui anak-anak di sini memang memiliki sifat sombong.
Sinta memang cantik. Tapi dia memanfaatkan cantiknya hanya untuk mencari yang sempurna. Aku juga tahu dia anak orang kaya dan pastinya..., level seperti Mahes sudah dia hempas jauh-jauh.
"Ya sudah. Kalau gitu aku pulang duluan ya. Kasihan Mahes nungguin lama." ujarku sambil meninggalkan dia di dalam kelas.
Saat aku akan menghampiri Mahes, aku mendengar ada dua wanita yang tengah membicarakan nya tepat sekali di depan Mahes. Mungkin mereka tak tahu orang yang sedang mereka bicarakan itu ada di depannya sendiri.
Sebenarnya aku sudah geram mendengar orang-orang yang sudah mencemooh anak baru seperti Mahes karena kekurangannya. Aku jadi takut kalau dia tak betah kemudian keluar dari sekolah ini.
"Mahes?" dengan sengaja, aku sedikit berteriak memanggil dia agar dua wanita itu malu dengan ucapannya itu.
Saat Mahes berbalik, aku bisa melihat salah satu dari temannya seperti terkejut sekali.
Puas!
Entah kenapa aku ingin memaki mereka berdua di dalam hati. Yaa aku kesal saja kenapa sebuah kekurangan bisa dijadikan patokan apa kita bisa berteman dengan seseorang atau tidak.
Padahal apa salahnya? Kita tidak bisa memilih untuk terlahir menjadi anak yang kaya, miskin, cantik, tampan, sempurna atau tidak.
Semuanya sudah Allah yang menentukan. Tak ada ciptaan Allah yang sia-sia.
Kalau mereka bisa merendahkan sebuah kekurangan yang ada pada diri seseorang itu artinya secara sengaja dan tidak sengaja mereka telah menghina ciptaan-Nya.
Agar lebih membuat mereka malu, aku menatap dua wanita itu tajam sekali sambil menghampiri Mahes.
Mereka itu anak kelas sebelah dan tahu aku. Tepatnya kedua wanita ini adalah salah satu anggota dari geng Sinta.
"Kamu nunggunya lama enggak?" tanyaku yang kemudian dibalas gelengan oleh Mahes.
Itu kejadian singkat sebelum aku mengajak Mahes pulang sekolah bersama. Sebuah ujian berat bagi dia bisa sekolah di tempat seperti itu.
Memang, orang yang pintar itu sangat pantas sekali bisa sekolah di sekolah negeri. Mereka tentunya bisa mengharumkan nama sekolah atas prestasi prestasinya itu.
Tapi ketika kita melihat pada diri Mahes, tak tahu kenapa hatiku begitu terketuk untuk ingin terus mengikutinya. Apalagi saat ada aku saja, Dito sudah berani mengejeknya. Bagaimana kalau tidak?
Saat kami sudah berjalan sampai di depan yayasan Bunda Kasih, aku meminta Mahes untuk ikut ke dalam dan ingin berkenalan dengan orang-orang yang ada di dalam sana.
Mata Mahesa seketika berbinar. Dia seperti bahagia kemudian menganggukan kepalanya dengan cepat.
Aku lantas mengikutinya dari belakang. Tempat pertama yang dia datangi adalah sebuah bangunan yang tidak terlalu besar dengan pintu utama berwarna coklat tua.
"Ala i um." Mahes membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam." seorang wanita berjilbab hitam datang menghampiri kami berdua. Beliau begitu cantik sekali dengan wajah yang terlihat ramah.
Aku juga begitu terkesan saat mendengar Mahes dengan susah payahnya berusaha mengucapkan salam. Hatiku begitu teriris saat mendengar ucapan Mahes.
Benar. Aku harus bersyukur dan lebih banyak belajar tentang kehidupan kepada dia.
Saat ibu itu menghampiri Mahes, pria yang ada di depanku ini seketika mencium kedua tangannya yang kemudian disusul olehku.
"Masya Allah..., cantik sekali. Ini siapa, Mahes?"
"Perkenalkan, Bu. Nama saya Balqis." ujarku sambil tersenyum, "Saya teman sekelasnya Mahes. Maaf kalau misalnya saya lancang ikut ke sini."
"Aduh..., tak apa. Justru ibu yang malu karena didatangi oleh wanita cantik seperti ini."
Aku tertawa kecil. "Tak masalah, Bu."
"Ayo ayo masuk." Ibu ini mengajak aku dan Mahes untuk masuk ke dalam rumah. "Bagaimana? Apa tadi kamu sekolah, seru?" tanyanya kemudian pada Mahes.
Belakang ini kuketahui bahwa beliau bernama Bu Anita.
Mahes mengangguk dengan cepat. dia juga membuka tasnya kemudian memberikan beberapa buku yang sudah ia rangkum tentang beberapa pelajaran kepada bu Anita.
Di sini aku hanya bisa melihat sebuah pemandangan langka dari seorang Mahes terhadap ibu yang ada di depannya ini.
"Masya Allah..., nilainya bagus-bagus." Bu Anita terlihat bahagia sekali, "Lalu, apa..., sekolahnya luas?"
Mahes mengangguk sambil menulis sesuatu.
"Banyak tanaman. Aku suka sekali." jawabnya seperti itu.
"Oh pantas saja. Dia ini anaknya memang suka sama tanaman." Bu Anita berbicara sambil menatap ke arahku.
"Oh...." jawabku kemudian sambil tersenyum.
"Kamu suka sekolah di sana?"
"Suka." tulis Mahes.
"Apa teman-teman kamu juga baik-baik di sana?"
Aku seketika terdiam dan ingin mendengar jawaban Mahes. Tanpa ada rasa ragu atau apa pun, Mahes malah membenarkan ucapan Bu Anita.
Sungguh, aku ingin memberitahu kejadian yang sebenarnya. Tapi saat melihat pandangan yang Mahes lontarkan kepadaku, aku seperti merasa bahwa dia tak ingin aku membicarakan kebenarannya.
"Ya sudah, sebentar ya. Ibu mau ambil makanan sama minuman dulu." Bu Anita pergi kemudian keluar dari rumah ini.
"Mahes, kenapa kamu tak jujur saja sama Ibu?" tanyaku padanya.
Selang beberapa menit setelah menulis, Mahes memberikan papan tulis kecilnya kepadaku.
"Aku tak mau membuatnya kepikiran karena masalah itu. Jadi aku mohon kamu jangan mengatakannya pada ibu, ya."
...