Baru saja pertama kali bertemu, entah kenapa..., aku benar-benar merasa nyaman dengan kehadiran Balqis.
Dia wanita yang sangat baik dan mudah bergaul dengan teman-teman yayasan ku.
Dia juga seorang wanita yang selalu bercerita tentang banyak hal apalagi pada anak-anak seperti Tiara.
Balqis juga, tak sungkan untuk memberikan coklatnya kepada mereka dan aku.
Kali ini aku memperhatikannya masih terduduk di di halaman rumah pohon sambil terkadang berbicara sendiri.
Aku tak terlalu mendengar apa yang di utarakan Balqis. Tapi tanpa usah mencari tahunya pun, aku sudah tahu kalau dia tengah menikmati keindahan yang ada di sini.
Aku memakan coklat yang tadi dia berikan kepadaku. Kalau kalian ingin tahu, aku memang sangat menyukai coklat.
Terkadang aku suka menyisihkan sisa uangku agar nanti di akhir bulan, aku bisa membeli satu kotak coklat batang di toko makanan yang letaknya tak terlalu jauh dari yayasan ini.
Tapi semua coklat itu tentunya tak aku makan semua. Aku selalu memberikan pada Zaid, Bu Anita dan anak-anak yang aku temui.
Wanita ini telah mengalahkan pendapat besarku tentang sikap arogannya anak-anak negeri di sana.
Dia wanita yang sangat baik, ramah, cinta pada alam dan tentunya mudah berbaur dengan orang-orang yang memiliki kekurangan sepertiku.
Ya walau sikap arogan masih tertanam melekat pada sebagian orang, tapi kali ini aku merasa bersemangat untuk sekolah karena sudah bertemu dengan wanita yang istimewa seperti Balqis.
"Mahes, coba lihat sana!" Balqis menunjuk sekelompok burung yang sedang terbang secara bersamaan. "Indah sekali ya? Aku baru bisa lihat lagi burung yang terbang bersama seperti itu."
Aku tersenyum kemudian menghampiri dia.
"Entah kenapa aku tiba-tiba berpikiran, sepertinya tempat ini menjadi salah satu tempat ketika kamu sedang bersedih hati ataupun gundah dan ingin merasa sendiri. Iya kan?"
Aku mengangguk.
"Nah, benar ternyata. Soalnya ketika aku lihat rumah ini, di dalamnya benar-benar menyejukkan. Sepertinya ini bisa menjadi satu-satunya tempat yang sangat aku sukai kalau sedang ingin sendiri. Nanti, kalau aku sedang merasa kesepian, apa boleh aku pergi ke rumah kamu?"
"Tentu saja." tiba-tiba kami mendengar seorang pria di belakang.
Tatkala aku dan Balqis membalik badan, ternyata Zaid sudah berada di depanku.
"Kita tak pernah menghalangi siapapun orang untuk bisa kemari. Sebab semua orang memang berhak untuk tinggal di manapun. Aku sangat suka karena ada orang baru yang tiba-tiba mau main ke sini. Karena kita memang jarang sekali didatangi oleh orang-orang sepantaran kamu."
Sekilas aku melihat wajah Balqis yang nampak antusias saat mendengar ujaran Zaid itu. Mungkin dia merasa senang karena kehadirannya di sini begitu diterima baik oleh kami.
Sebenarnya usia Zaid denganku itu sama. Hanya saja..., Dia lebih memilih melanjutkan sekolah di yayasan Bunda Kasih. Hanya aku anak yang memberanikan diri untuk bisa sekolah di luar yayasan. Tentunya dengan segala pertimbangan yang kami pikirkan dulu secara matang-matang.
Dan alhamdulillah, segala resiko harus aku hadapi nanti.
"Kamu ini orang mana?" tanya Zaid. "Maksudnya..., rumah kamu di mana?"
"Aku tak terlalu jauh dari yayasan. Kalau naik angkot sih ya bisa satu kali."
"Oh begitu..., kamu teman sekelasnya Mahes kah?"
Balqis mengangguk. "Dia anak yang sangat pintar dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata pada anak umumnya. Aku sangat suka dan baru kali ini bertemu dengan seorang pria yang sangat baik dan penurut seperti Mahesa. Andai saja sejak kecil kami bisa bertemu dan kemudian tahu tempat ini, mungkin masa kecilku tentunya jauh lebih indah."
Aku, Zaid dan Balqis tertawa bersama.
Kami bertiga akhirnya menikmati angin yang berhembus pada atmosfer rumah pohon ini. Rasanya begitu sejuk apalagi tatkala aku melihat Balqis yang terus saja menikmati keindahannya.
Aku bisa menarik kesimpulan mungkin dia baru kali ini lihat suasana yang begitu indah di atas pohon.
Bahkan tidak hanya aku. Zaid pun seperti mendapat teman baru tatkala mereka dengan santainya bisa mengobrol. Walau dalam hati terkecil aku juga ingin sekali ikut mengobrol dengan mereka, tapi saat melihat keterbatasan yang aku miliki, mau tak mau semuanya memang sudah menjadi takdirku untuk seperti ini.
"Hidup itu ternyata penuh sekali teka-teki yang tak bisa semua orang pahami. Aku yakin hanya ada segelintir orang yang mampu untuk mencari tahu kemudian memaknainya lebih dalam lagi. Ternyata kehidupan tak selamanya memberi kita tentang sebuah kebahagiaan ataupun kesempurnaan. Sebab di dalamnya, aku telah bertemu dengan seseorang yang sudah membuat hidupku lebih berarti. Dan orang yang aku maksud itu adalah Mahes."
Ucapan Balqis seketika membuatku diam tak berkutik. Dia mengutarakan pendapat dengan kalimat yang sungguh membuat hatiku tersentuh. Balqis benar-benar anak yang sangat baik. aku sangat berterima kasih pada Allah karena Dia telah mempertemukan kami di sebuah tempat yang tak terduga.
"Memangnya apa yang membuat Mahesa ini begitu berarti di kehidupanmu?" tanya Zaid.
"Sebenarnya kita baru bertemu sebentar tapi aku sudah banyak belajar tentang perjuangan dan kesederhanaan dari seorang Mahes. Dia benar-benar anak yang kuat dan tak pernah menyerah untuk melakukan suatu hal meskipun sekelilingnya banyak orang yang tak menyukai dia."
Zaid terbelalak. "Apa? Ada orang tidak menyukainya? siapa?"
Aku bisa melihat raut Balqis yang tampak kaku. "M-maksudku..., maaf kalau sebelumnya ucapan aku ini membuat beberapa pihak tersinggung. Tapi kalau melihat kondisi Mahes yang seperti ini, tentunya tak semua orang bisa merangkul dia dengan baik. Aku tahu Zaid pasti mengerti dengan ucapanku ini."
Dahi Zaid yang tadi mengerut seketika melonggar. "Oh jadi maksud kamu itu. Iya aku juga paham. Bahkan orang-orang yang memiliki fisik sempurna seperti aku saja, terkadang menjadi bahan bully-an anak-anak luar karena aku tinggal di yayasan Bunda Kasih."
"Oh ya? Kenapa mereka bisa melakukan hal itu?" Balqis terkejut sementara Zaid mengendikkan bahu.
"Mungkin kehidupanku jauh lebih buruk daripada mereka. Tapi untungnya hal itu tidak membuatku patah semangat. Justru ketika ada orang-orang yang berusaha untuk merendahkan atau merusak semangatku, di situ aku benar-benar berkeyakinan dan berpegang teguh untuk bisa menunjukkan kepada mereka bahwa suatu saat nanti aku bisa dan masih berhak untuk berdiri sepadan dengan orang-orang di luar sana. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa suatu saat nanti aku bisa sukses. Dan nanti kalau aku sukses, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan ataupun merendahkan orang yang memiliki kejadian kelam seperti aku ataupun Mahes. Bukan dengan maksud membuat mereka malu, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku ini bisa dan tak lemah seperti yang sering mereka utarakan."
"Aku sangat suka dengan pola pikir kamu, Zaid." sahut Balqis. "Aku turut berdoa semoga suatu saat nanti apa yang kamu inginkan ini bisa tercapai. Tunjukkan kepada mereka bahwa anak-anak yayasan Bunda Kasih ini suatu saat nanti pasti akan sukses. Aku yakin itu."
"Bismillah. Insya Allah." Zaid tersenyum.