"Percuma bisa ngomong kalo mulutmu sendiri gak dijaga!"
Ya Allah.
Aku tak menyangka.
Aku tak menyangka kalau ucapan wanita ini dengan mudahnya membuat Dito dan teman-temannya itu terdiam.
"Mulut dia masih suci karena gak ngejelekin orang. Lah kamu sendiri dikasih kesempurnaan bisa ngomong, tapi omongannya gak pernah disaring dulu!" sentak wanita itu.
Kulihat Dito mendelik dengan kesalnya kemudian mengajak teman-temannya untuk pergi dari sana.
Wanita itu kembali duduk lalu membalik badannya ke arahku.
"Maaf ya. Mereka itu kalo ngomong memang gitu. Nyebelin banget. Mentang-mentang anak kepala sekolah. Sikapnya gimana dia aja." wanita itu menggerutu, "aku kira, tadi dia memang mau kenalan asli sama kamu. Ehh tau-taunya ngebully juga. Dasar anak cemen."
Aku tersenyum kemudian menuliskan sesuatu padanya.
"Jangan seperti itu. Aku tak masalah kok. Ya..., dari kecil emang udah biasa kaya gitu."
"Baiklah." balasnya, "kalau kamu mikirnya kaya gitu. Berarti aku yang bakal ngambil tindakan sama siapapun yang ada niatan buat ngehina kamu lagi."
"Terima kasih."
Dia membaca tulisanku dengan raut sumringah.
"Oke. Sekarang kita kenalan ya." wanita di depanku ini tersenyum, "kenalin. Namaku Balqis. Kalau kamu? Mahes kan?"
Aku mengangguk.
"Denger-denger, kamu ini anaknya pinter ngegambar sama ranking satu terus pas sekolah di yayasan Bunda Kasih. Iya kan?"
Dengan ragu, aku mengangguk kecil.
"Wah. Bagus dong."
Balqis membalik badan kemudian membawa nasi kotaknya dan duduk di depanku lagi.
"Kita makan bareng ya." Balqis tersenyum sambil menyuap nasi goreng.
Tak tahu kenapa, aku begitu bahagia sekali bisa bertemu dengan seorang wanita yang baik dan sopan seperti Balqis. Padahal baru pertama kali bertemu, tapi aku sudah merasa terkesan dengan semua sifatnya.
Dia wanita yang kuat, tegar dan tak takut dengan sebuah ancaman. Apalagi jika aku melihat, Dito sepertinya malah balik takut dengan wanita ini.
Alhamdulillah. Semoga saja kami bisa berteman sampai lama.
"Eh kamu mau coba yang aku?" Balqis tiba-tiba menyadarkan lamunanku.
Aku menggeleng pelan sambil menunjuk misting.
"Oh iya, aku paham." jawabnya.
...
Di depan kelas, aku sedang menunggu Balqis untuk pulang bersama. Tadi semenjak percakapan di waktu istirahat itu, Balqis semakin akrab denganku.
Dia anaknya begitu baik, sopan dan menghargai setiap orang. Bahkan aku juga sangat bahagia, ketika dia mengajakku untuk pulang.
Katanya rumah Balqis tak terlalu jauh dari yayasan Bunda Kasih. Jadi kebetulan saja kalau aku dan dia bisa berangkat atau pulang dari sekolah bersama-sama.
Saat ini, kebetulan juga Balqis sedang melaksanakan piket. Karena tak mau mengganggunya, aku jadi menunggu Balqis di luar saja sambil melihat pemandangan orang-orang yang tengah bermain basket.
"Weh. Katanya ada orang baru."
Tiba-tiba aku mendengar ada seseorang yang berkata seperti itu kepada temannya.
"Oh ya? di mana?"
"Itu tuh. Di kelas sebelah."
Sepertinya mereka belum sadar kalau anak baru itu ada di sekitarnya. Dua wanita yang mengobrol tadi, keberadaannya tepat sekali di belakangku.
"Dan lu tau enggak?"
"Apa?"
"Anaknya itu ganteng banget. Sumpah."
"Wah beneran? Lu udah ngeliat?"
"Udah sih selewat dan itu gua bener-bener, sumpah deh. Pokoknya ganteng banget."
"Andai. Gua jadi kepengen banget ketemu tuh sama anak."
"Tapi ya..., gua dengar dengar dari si Sinta, anaknya tuh bisu. Enggak bisa ngomong."
"Apa? Lu enggak boong kan?"
"Enggak. Dia kan anak yayasan Bunda kasih."
"Oh pantes. Udahlah blacklist aja." ujar temannya dengan ketus, "anak-anak yayasan itu enggak ada yang bener semua."
Kembali, Aku harus bisa menelan bulat-bulat segala lontaran yang mereka tujukan padaku.
Aku memang anak yayasan dari Bunda Kasih. Aku juga terlahir sebagai anak yang bisu.
Tapi mengapa mereka merendahkanku hanya karena tinggal di yayasan itu?
Aku tak pernah merasa terbebani tinggal di sana. Justru karena tinggal bersama Bu Anita, aku bisa menjadi Mahesa yang terlihat oleh orang-orang seperti ini.
Ternyata benar kata beliau.
Anak-anak di sini memandang seseorang karena kesempurnaan fisik.
Tapi aku tak terlalu memermasalahkan hal itu. Sebab aku juga harus ingat tujuan aku kemari ini hanya untuk belajar meraih cita-cita, bukan untuk menghina ataupun merendahkan orang lain.
"Mahes?" tiba-tiba Balqis memanggilku dari belakang. Aku berdiri lalu seketika menolehnya.
Benar saja. Dua orang wanita yang membicarakanku tadi masih ada di sana dan salah satunya sangat terkejut saat melihatku.
Mereka berdua gugup. Salah satu temannya ada yang menyikut siku temannya lagi seperti memberi isyarat bahwa orang yang mereka bicarakan tadi ada di depannya sendiri.
"Kamu nunggunya lama enggak?" Balqis menemuiku.
Aku menggelengkan kepala.
"Baiklah. Ayo." dia berada di sampingku kemudian berjalan keluar gerbang sekolah.
Semua anak-anak tampak sibuk sekali. Ada yang pergi ke parkiran sekolah, ada yang jajan cilok, batagor, bakso ayam, bahkan ada yang bergurau bersama teman-temannya.
Balqis dengan riangnya berjalan sambil menyapa beberapa temannya yang pulang. Dia juga meminta izin kepadaku untuk jajan batagor terlebih dahulu.
"Kamu mau?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
"Ya sudah."
Masih memperhatikan jalanan. Aku memperhatikan setiap sudut apakah ada seorang penjual yang menjajakan makanan atau minuman yang bisa membuatku tertarik.
"Ayo." ternyata Balqis sudah selesai membeli batagornya, "kamu mau jajan juga? Jajan apa?"
Baru saja aku akan menemui seorang tukang es krim, tiba-tiba Dito dan kawan-kawan datang dari arah berlawanan kemudian menghampiri kami.
Raut mereka tampak sekali mengejek. Tak tahu ada angin dari mana, Dito menertawakanku sambil melihat ke semua orang yang tentu saja membuatku menjadi pusat perhatian di sini.
"Weh. Ada si bisu nih. Mau pulang bos?"
Aku berusaha tersenyum.
"Qis, kita pulang bareng yuk?" ajak Dito kepadanya, "aku bawa mobil."
Balqis hanya diam saja sambil menarik lengan seragamku untuk menjauh darinya.
"Loh, kamu enggak mau pulang bareng sama aku?"
"Gak." jawab Balqis dengan ketus sekali.
Dito mengejar wanita ini kemudian menghalangi jalan kami. "Demi si bisu ini?Kamu enggak mau pulang bareng sama aku?"
"Cukup ngejelekin orang dengan panggilan kayak gitu." ujar Balqis dengan tegas, "lagi pula sejak kapan aku mau pulang bareng sama kamu?"
"Tapi kan kenyataannya emang kayak gitu. Si Mahes ini bisu dan aku ini anak orang kaya. Masa kamu mau pilih orang kayak dia sementara aku yang banyak diminati banyak cewek kamu jauhi? Qis, beruntung loh aku ngedeketin kamu. Apa kamu enggak tahu di luar sana banyak yang ngejar aku?"
"Aku enggak peduli. Sejak dulu aku dididik oleh ibu sama ayah, kalau kita berteman sama seseorang jangan pandang apa pun apalagi fisik. Urusan kaya miskinnya orang itu bukan jadi tolak ukur bagi aku. Dengar, Dito. Aku enggak pernah merasa beruntung bisa dideketin cowok sombong kayak kamu."
"Tapi-"
"Jangan ganggu aku sama Mahes lagi. Kita mau pulang. Minggir sana!"
Balqis mengangguk ke arahku kemudian kami meninggalkan Dito dan kawan-kawannya.
Lagi dan lagi, wanita ini telah menolongku.
...