Setelah berbincang-bincang dengan Zaid, akhirnya dia mengajakku turun untuk berjalan-jalan di luar yayasan.
Tentu.
Hal ini adalah hal yang paling aku tunggu-tunggu sebab, datang ke sini seperti aku datang ke kampung halaman.
Ada banyak hal yang berbeda.
Aku benar-benar merasakan perbedaan yang kentara.
Mungkin jika harus aku deskripsikan, akan ada banyak diksi yang aku utarakan untuk bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan saat ini.
Namun sepertinya aku tak mampu melakukan hal itu.
Kami berjalan-jalan tak tentu arah. Bahkan, aku dan Zaid saja sampai mengikuti kaki ke mana kita akan berhenti.
Perubahan-perubahan yang ada di sini seketika mengingatkanku pada sepuluh tahun yang lalu.
Awalnya..., tempat yang sekarang sudah di bangun ruko, rumah, bahkan mini market, dulu masih lahan kosong yang gersang tanpa tumbuhan sama sekali.
Tempat itu juga ada yang menjadi tempat main kami saat itu.
Biasanya, Bu Anita sering mengajak anak-anak untuk bermain di sana sambil menghirup udara bebas.
Ada banyak permainan yang aku mainkan bersama Zaid yang tentunya..., kenangan itu takkan pernah bisa aku lupakan.
"Eh duduk di sini yuk." Zaid mencolek bahuku untuk duduk.
Aku menghirup udara sedalam-dalamnya kemudian mengeluarkannya dengan pelan.
Ya Allah. Ini rasanya sungguh nikmat sekali.
Aku patut bersyukur atas apa yang aku rasakan sekarang.
Meskipun menurut sebagian orang apa yang aku rasakan ini sederhana, tapi hei!
Kita juga harus berfikir bahwa tak semua orang bisa melakukan hal itu.
Hidup itu akan bermakna ketika kita bisa memaknainya lebih dalam.
Dan jangan pernah menyepelekan sesuatu kepada orang lain, hanya karena merasa diri kita sempurna.
Semua itu salah dan tak boleh kita ulangi.
Kita tidak tahu hati orang seperti apa. Bisa saja ketika kita mengatakannya, dia merasa tersinggung dan tak memiliki semangat lagi.
Sederhana saja.
Ketika kita tak mampu menggapai sesuatu, maka jangan pernah kita mematahkan semangat orang lain.
"Eh eh liat itu!" ujar Zaid tiba-tiba sambil menunjuk pesawat terbang yang ada di langit sana.
Aku mendongakkan kepala.
"Dulu kamu ingat nggak, duh aku jadi ngakak banget kalau ngebayanginnya."
"Emang apa?" aku masih belum paham.
"Aduh, Rav. Dulu si Tiara kalo lihat kapal, dia suka kalangkabut nyari karung karena berharap pesawat itu bisa nurunin dia uang. Dia juga sering teriak-teriak nggak jelas di rumah pohon kalau ada pesawat yang ngelintas."
Aku seketika tertawa.
"Ya Allah bener banget!" seruku. "Aku sampai lupa kejadian itu. Tapi emang bener sih Tiara anaknya gitu."
"Andai kalau dia ikut ke sini terus kita ceritain, pasti dia malu bukan main."
Aku masih tak bisa menahan tawa saat mengingat kejadian itu.
Memang.
Ketika kita masih kecil, selalu saja ada hal-hal seru yang tak akan mungkin bisa kita lupakan.
Entah itu dari pengalaman diri sendiri ataupun dari pengalaman orang lain.
Tiara kecil memang aktif saat itu. Bahkan Balqis saja sampai takjub melihat dia yang tiba-tiba tertawa ketika menangis.
Bukan karena kesurupan atau anaknya aneh. Justru dia memang seperti itu. Ketika ada anak panti yang berusaha menjahili dirinya dan sampai membuat dia menangis, aku beserta yang lain tak kesulitan untuk membujuk dia agar kembali tertawa.
Terkadang Zaid yang suka menjadi korban untuk bisa membuat anak itu tertawa dengan berbagai cara.
Entah dia menggelitik perut Tiara, atau menunjukkan raut yang lucu bahkan melakukan gerakan-gerakan yang bisa membuat anak lain tertawa.
Kita memang saling melengkapi satu sama lain. Tak pernah ada niat untuk bisa terlihat lebih baik ataupun lebih buruk.
Yang terpenting hanya satu.
'Kebersamaan.'
"Kamu dulu ingat engga sih kita pernah lari-larian ke sekitaran sini, terus tiba-tiba nemu orang yang lagi duduk dan kita kira dia pengemis?"
Aku kembali tertawa. "Ya inget lah. Justru itu pengalaman yang paling kocak selama aku hidup. Andai kalau misal dulu aku bisa bicara, mungkin ketawa aku udah menggelegar."
"Aku nggak nyangka banget orang yang kita kira pengemis itu ternyata orang gila! Serius! Mana dia nggak pakai baju lagi."
"Iya." sahutku. "Dan yang paling ngakaknya itu pas kamu ngasih uang, dia tiba-tiba berdiri terus ngejar kita."
"Kamu sih enak bisa sampai ke yayasan dengan selamat. Aku tiba-tiba kesandung terus dipeluk lagi sama dia. Ya Allah. Andai kalau di situ nggak ada bu Anita, nggak tahu gimana lagi nasib aku."
"Ya kan enggak masalah juga dipeluk cowok."
"Bukan masalah cowok atau ceweknya. Tapi dia nggak pakai baju lho, geli aku."
Kami benar-benar menikmati cerita ini. Bahkan, cerita yang hampir terlupakan saja aku bisa mengingatnya lagi ketika membuka kenangan-kenangan itu.
Aku sungguh senang dibesarkan di sebuah yayasan yang dapat merubah kehidupan masa kecilku menjadi indah. Walau memang keadaan kami ini sangat serba sederhana, tapi aku selalu mensyukuri nya dan tak pernah mengeluh atas itu semua.
Aku mencintai keadaanku saat dulu telepon saat ini.
Sebab semua yang terjadi, tentu pastinya sudah menjadi kehendak Allah.
"Kalau misalnya suatu saat nanti kita ketemu sama orang tua masing-masing, gimana ya Zaid? Mungkin aku nggak bisa mengekspresikan gimana senengnya aku nanti kalau beneran ketemu sama mereka. Ya walau aku tahu mereka nggak ngebesarin aku, tapi setidaknya aku ada karena mereka."
"Sama." balasnya. "Andai aku juga bisa ngelihat orang tua aku gimana. Aku pengen banget tunjukin keadaan aku yang sebenarnya gimana. Aku pengen banget bilang, 'Bu, pak, ini lho anakmu sekarang udah besar. Udah punya pekerjaan tetap dan tanggung jawab yang besar. Bapak sama Ibu bangga nggak punya aku? Aku beneran makasih banyak sama Bapak dan Ibu karena udah nyimpen Zaid ke tempat ini. Zaid sama sekali enggak marah karena Ibu enggak ngurus Zaid. Justru Zaid senang karena di sini, Zaid bisa mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman yang luar biasa dari setiap orang.' Beneran, Mahes. Aku bakal bilang gitu sama orang tuaku. Tapi sayangnya..., sampe sekarang juga aku nggak nemuin di mana mereka. Aku udah berusaha cari ke rumah kita yang dulu pun, kata para tetangga mereka udah pindah dan enggak tau pindah kemana. Sedih sih. Cuma ya..., aku harus gimana lagi?"
"Engga apa-apa, Zaid." aku menepuk pundaknya pelan. "Kalaupun kita nggak bisa ketemu sama mereka, tapi setidaknya kita harus bisa nunjukin ke dunia bahwa kita mampu. Aku yakin orang tua kita pasti bangga sama keadaan kita sekarang. Lagi pula orang tua mana yang nggak bangga ngelihat anaknya sukses? Ya meskipun kita nggak tahu mereka di mana sekarang, tapi bisa aja mereka mendoakan kita di setiap waktu."
Zaid mengangguk kecil. "Aamiin. Aku juga berharapnya gitu. Semoga aja di sela-sela kesuksesan kita nanti, kita diberi kesempatan sama Allah buat ketemu sama orang tua kita."
"Aamiin."
Aku memejamkan mata sesaat sambil menghirup udara bebas di sini.
Begitu menyejukkan dan menenangkan.
Andai saja keinginan kita untuk bisa bertemu dengan orang tua masing-masing, bisa dikabulkan oleh Allah di suatu saat nanti.
Sebab ketika tak ada orang tua yang mengiringi kesuksesan anaknya, maka kesuksesan itu rasanya hampa, seperti ada yang kurang.
...