Suatu hal yang tidak kita tahu, maka semuanya akan terbuka secara perlahan.
Entah karena sengaja atau tidak, terkadang apa yang sama sekali tidak kita duga bisa terjadi dan bisa kita ketahui
Aku sampai tertegun sesaat tatkala mendengar apa yang dikatakan Bu Anita.
Ada rasa tak menyangka yang besar sekali hingga aku bersama Zaid, saling berpandangan lalu mengalihkan semuanya pada bangunan yayasan yang semakin megah dan mewah ini.
Aku berjalan pelan sambil tak henti-hentinya bersyukur. Ternyata..., masih ada segelintir orang yang baik dan mulia hatinya seperti Pak Nanda.
Tak tahu bagaimana lagi caraku harus berterima kasih pada beliau. Rasanya kalau aku meminta lebih, mungkin aku kata laluan dan tak tahu diri karena sudah banyak menuntut pada orang yang yang terlalu baik seperti Pak Nanda.
Kali ini aku harus berbuat apa selain menahan rasa malu yang ada di diri ini?
Aku terlalu payah bahkan untuk membalas kebaikan beliau.
Kesal juga rasanya kenapa aku tak bisa membalas dengan membayarkan seluruh uang yang pernah beliau beri kepadaku.
Aku terlalu malu untuk berhadapan dengan orang yang telah banyak berjasa di kehidupan kami.
"J-jadi, bapak yang telah menjadi donatur tetap di Yayasan kami?"
Pak Nanda tersenyum.
"Bapak juga yang telah merenovasi semua yayasan ini dan apakah Bapak juga yang telah memberi saran agar yayasan ini bisa membuka cabang?"
"Iya, Mahes." jawab Bu Anita mewakilkan.
"Ya Allah." aku memegang dada. "Kenapa Ibu nggak bilang sama sekali ke aku? Aku kira donatur tetapnya bukan Pak Nanda. Tap-"
"Ibu sengaja merahasiakan semuanya karena beliau yang menginginkan hal itu." timpal Bu Anita. "Lagipula yang namanya kebaikan tidak usah di umbar-umbar kan?"
"Tapi Bu, kita kan masih pengurus yayasan ini. Jadi seharusnya aku juga tahu siapa donatur tetap kita. Ibu dari dulu nggak mau ngasih tahu ke aku. Padahal dari dulu aku penasaran siapa orangnya."
Pak Nanda tertawa. "Maaf maaf. Bapak engga berniat buat nutupin semuanya dari kamu. Tapi kan sekarang kamu udah tahu semua?"
"Iya pak tapi...."
"Tapi apa?"
"Kalau boleh diutarakan, saya malu banget kalau ketemu sama bapak. Nggak tau kenapa saya jadi ngerasa hutang saya sama bapak itu gede banget. Bapak adalah pahlawan nyata bagi saya. Sama kayak bu Anita. Bapak selalu ada disaat saya membutuhkan banyak hal. Saya juga nggak nyangka ternyata semua bangunan dan kesejahteraan anak-anak di sini karena ada rezeki dari bapak. Ya Allah. Saya benar-benar nggak nyangka. Saya juga nggak tahu harus gimana cara saya berterima kasih sama bapak."
Pak Nanda mengajakku duduk. "Sebenarnya saya melakukan semua ini, karena keikhlasan hati saya sendiri. Nggak ada paksaan sama sekali yang ada dalam diri saya untuk bisa membantu kamu, Mahes. Lagipula Balqis banyak banget cerita ke Bapak kalau kamu orangnya baik dan udah ngerubah sikap dia. Bapak bangga sekarang punya anak yang pekerja keras seperti Balqis. Karena sebelum mengenal kamu, dia orangnya keras sekali. Terserah mau percaya ataupun tidak tapi Balqis anaknya memang keras dan tak mau mendengar ucapan orang lain. Pakaian dia kayak cowok, sikapnya kayak cowok, bahkan dari segi attitude pun dia kayak cowok. Enggak sedikitpun mencerminkan kalau dia seorang wanita yang seharusnya memiliki sikap lebih feminim lagi."
Zain terkejut. "Ah iya pak? Saya kira bagus emang sikapnya udah feminim dari dulu."
"Aduh, Zaid. Engga." beliau terkekeh. "Bahkan Bapak juga sampai takluk gimana mau ngerubah sikap anak itu. Soalnya dari kecil Balqis udah tomboy. Nantilah kalau kalau yang kapan-kapan ke rumah bapak, bapak mau tunjukin mainan Balqis pas kecil itu semuanya mobil-mobilan atau robot. Dia nggak suka dikasih Barbie atau boneka boneka yang lucu. Aneh. Makanya Bapak sama Ibu sampai heran gimana mau ngerubah anak itu. Tapi untungnya Alhamdulillah. Balqis bisa kenal kamu dan Zaid. Bapak juga sampai senang banget ternyata dia mau berubah dan sekarang malah lebih anggun sikapnya. Nggak ada lagi nama yang disebut selain karena kalian berdua. Di situ bapak lebih paham bahwa ternyata, seorang wanita yang memiliki penampilan seperti laki-laki saja, masih bisa berubah karena kehadiran kalian."
Ketika mendengar ucapan pak Nanda ini, pikiranku seketika tertuju pada suatu kejadian di mana saat dirinya membelaku habis-habisan di depan Dito.
Pantas saja Balqis seberani itu. Dia tidak takut orang lain mau memarahi atau balik mencegat dia di jalan. Apalagi yang paling aku salut, dirinya tak takut berhadapan dengan Dito ataupun memarahi dia di depan semua orang.
Padahal, dulu semua anak-anak tahu bahwa Dito adalah anak yang paling ditakuti. Sikapnya begitu angkuh dan bisa melakukan segala hal asal rasa dendamnya bisa terlaksana.
Jujur aku juga sangat takut melihat sikap dia yang seperti itu. Bahkan aku memilih untuk menghindar dan tidak mau banyak berulah di depan dia.
Aku terlalu takut dan trauma kalau berhadapan dengan Dito. Harus ada darah yang aku keluarkan ketika berseteru dengan dia.
Padahal aku tak pernah berkata kasar ataupun apa-apa. Tapi mungkin karena dulu aku anak yang bisu. Jadi orang-orang yang memiliki kekurangan sepertiku, adalah salah satu santapan bagi Dito dan kawan-kawannya untuk membully dan merendahkan hidupku.
Rasanya aku ingin tertawa ketika kembali mengingat apa yang pernah aku rasakan.
Ternyata, seorang Mahesa seperti ku telah banyak melalui rintangan kehidupan yang tak selamanya manis.
Ada pahitnya, kecutnya, asamnya bahkan sepertinya semua rasa pernah aku coba.
Aku pernah di bully, dipukul, diteror tiba-tiba, dikasih coklat, makan aku juga telah dipertemukan dengan seorang wanita yang mampu mengisi kekosongan ini seperti Balqis.
"Saya juga sebenarnya heran dengan Mahes." ujar Bu Anita. "Dia ini anak yang baik, sopan dan penurut. Tapi coba Bapak nasehatin dia karena Mahes sampai sekarang belum ada pikiran untuk menikah. Padahal umurnya sudah dua puluh tahun. Kalau orang-orang di luar sana, umur segitu udah pasti nimang anak bahkan ada yang jalan anak kedua. Tapi dia terlalu giat kerja dan sampai-sampai melupakan sunnah Rasulullah."
"Bukan seperti itu maksud Mahes, Bu." aku berusaha meluruskan, tapi sebenarnya aku juga tak punya alasan yang pasti agar bisa meyakinkan beliau.
Sebenarnya ada satu alasan itu.
Tapi mana mungkin aku bisa mengutarakannya kepada bu Anita? Lagipula di sini ada Pak Nanda. Mau disimpan di mana mukaku nanti?
"Iya, Mahes. Apa yang dikatakan Bu Anita itu benar sekali. Kamu adalah seorang imam bagi istri kamu nanti. Dan tentunya, kamu harus bisa mencari calon kamu sekarang. Kamu boleh giat kerja. Kamu boleh mengurus anak-anak seberapa banyak mereka. Kamu juga boleh melakukan apa pun yang kamu mau tapi jangan sampai kamu melupakan kewajiban kamu sebagai seorang pria yang sudah berumur ini. Ayo, Nak. Kamu harus bangkit dan buka pikiran kamu seluas mungkin. Bapak yakin pasti ada banyak orang yang suka sama kamu. Hanya saja kamu tidak mau membuka diri untuk mereka. Cobalah kamu pahami perasaan wanita. Karena pernikahan untuk umur sebesar itu, bukan lagi soalan main-main. Itu sudah menjadi kewajiban dan kamu bisa melakukannya dengan baik.
...