Kembali, aku membawa Pak Nanda pergi ke yayasan Bunda Kasih.
Ketika kami sampai di sana, ada banyak anak-anak yang seketika mengerumuni kami sambil mencium punggung tangan aku, Zaid dan Pak Nanda.
Mereka terlihat antusias sekali.
Aku sendiri bahkan tak menyangka bisa disambut sampai seperti ini.
"Aduh. Udah udah. Jangan berlebihan gini ya. Kakak sama Zaid kan sama-sama manusia. Jadi tetap perlakukan sama seperti kalian nyambut orang-orang yang ada di sini."
"Tapi kami rindu banget sama kakak."
"Iya." seru salah satu anak. "Bu Anita sering banget ngomongin kakak ke kami tapi kami enggak tahu siapa kak Mahes, atau kak Zaid. Udah lama kami nunggu kakak ke sini. Dan ternyata pas kakak ke sini, ternyata apa yang dikatakan sama Bu Anita itu benar."
Pak Nanda berjongkok agar bisa menyatakan posisinya dengan anak itu. "Benar kayak gimana?"
"Iya. Kak Zaid sama kak Mahes ini orangnya ramah banget. Terus mereka juga banyak ngasih motivasi ke kami. Apalagi pas aku tahu ternyata dulu kak Mahesa nggak bisa bicara dan sekarang bisa bicara, Masya Allah. Aku benar-benar senang dan merasa termotivasi buat berusaha lebih baik lagi ke depannya."
"Nah iya dek. Kakak juga semakin termotivasi untuk lebih baik lagi ke depannya." jawabku. "Dan untuk orang yang ada di depan kalian ini, dan juga harus bangga dan salut kepada beliau karena..., beliau adalah perantara yang udah membantu kakak biar bisa bicara lagi."
Kedua anak ini terbelalak sementara aku tersenyum.
"Iya. Kenalin ya, ini pak Nanda. Beliau orangnya baik banget. Beliau juga suka sama anak-anak. Bahkan sampai sekarang, kakak masih berhutang budi sama beliau karena kebaikannya yang bener-bener bisa merubah kehidupan kakak sampai sekarang. Coba kalian bayangin biaya untuk menyembuhkan suara kakak itu pastinya nggak murah. Dan beliau sudah mengikhlaskan sebagian hartanya untuk membantu kakak. Jadi seharusnya kalian lebih bangga dan salut sama Pak Nanda daripada sama kakak. Karena kakak bisa seperti ini pun, ada hasil dari kerja kerasnya beliau."
"Ya Allah." salah seorang anak seketika meraih tangannya pak Nanda kemudian dia menciumnya.
Aku dan Zaid sampai terkejut melihat sikap sopan dan santunnya mereka terhadap orang yang tidak dikenal.
Lagipula didikan kami memang seperti itu. Sejak dulu, entah dari Yayasan kami atau mungkin semua Yayasan pasti mengutamakan adab dan etika ketika mereka pertama kali mengajarkan pembelajaran kepada anak-anak.
Tidak ada yang lebih berharga dari sebuah etika.
Percuma kita memiliki nilai yang tinggi, prestasi di mana-mana, puluhan penghargaan yang kita dapat tapi kita tidak memiliki sedikit etika pun.
Percuma karena ketika kita sudah masuk ke dalam dunia pekerjaan, maka selain dari prestasi, ketua perusahaan pun pasti pertama kali menilai dari sikap.
Nilai tidak ada gunanya ketika kita tidak memiliki adab.
Tapi ketika adab sudah bagus, meskipun nilai kita hanya pas-pasan maka hal tadi bisa menjadi nilai tambah bagi kita.
Aku telah belajar semuanya dari Bu Anita. Beliau adalah madrasah pertama bagi aku.
Dari beliau aku bisa belajar tentang semuanya.
Meskipun madrasah pertama aku bukan Ibuku sendiri, tapi cara belajar beliau seperti benar-benar seorang ibu yang mengajarkan ilmu kepada anaknya sendiri.
Beliau tidak pernah pilih kasih dan tidak pernah memilah rasa sayangnya kepada siapa saja.
"Makasih banyak ya pak sudah membantu kak Mahes. Aku bener-bener nggak nyangka ternyata bapak sebaik itu. Aku juga sangat berharap semoga kebaikan bapak bisa dibalas berpuluh-puluh kali lipat oleh Allah."
"Aamiin...." pak Nanda begitu semangat tatkala melihat anak-anak mendoakannya dengan tulus.
"Nah, itu alasan aku pengen jadi orang kaya karena aku pengen jadi kayak pak Nanda." seru teman salah satunya. "Beliau dermawan, nggak pernah pelit, soal menolong orang yang lagi kesusahan, bahkan menolongnya pun nggak kecil. Senang banget aku bisa ketemu orang sebaik bapak."
"Bapak doakan semoga kalian juga bisa tumbuh, sukses di masa depan nanti. Bapak doakan semoga kalian bisa menjadi anak orang kaya. Tapi satu." seru Pak Nanda. "Kalau kalian jadi orang kaya, jangan pernah merasa sayang sama uang yang udah kita kasih ke orang lain. Jangan pernah kalian ngerasa apa yang kalian dapat hari ini adalah karena keberusahaan kalian. Memang orang yang bekerja keras bisa saja dia menjadi orang yang kaya. Tapi kalau kita terlalu percaya diri, nanti malah sikap angkuh yang datang dari dalam diri kita. Kita merasa bahwa apa yang kita dapat adalah karena keringat diri sendiri. Tidak ada campur tangan orang lain padahal itu salah. Kita bisa kaya karena takdir dari Allah. Diiringi dengan kerja keras, sehingga takdir itu dengan mudah kita dapatkan. Pokoknya kalian jangan sombong ya nanti kalau sudah sukses. Tetap ramah sama orang-orang yang berada dibawah kita. Jangan sungkan untuk menolong karena kita harus yakin, ketika kita mengeluarkan uang dengan ikhlas untuk orang lain, maka Allah pasti akan membalasnya berkali-kali lipat dengan cara yang berbeda. Meskipun tidak dengan orang yang sama, tapi setidaknya Allah akan mengirimkan orang yang berbeda untuk membalas seluruh kebaikan itu. Kalian paham?"
Keduanya tampak semangat mengangguk. Mungkin dalam diri mereka, sudah ada semangat yang membara untuk tetap memperjuangkan apa yang dia miliki dan mengevaluasinya agar lebih baik lagi di masa depan.
"Pokoknya kalian jangan takut buat terus belajar sama belajar, ya?" tambahku untuk menambah kembali semangat yang mereka punya. "Tapi jangan lupa diiringi juga sama doa. Ingat pesan pak Nanda. Jangan sombong. Oke?"
"Siap!" mereka berdiri tegak kemudian memberi hormat kepada kami selalu meminta izin untuk pergi.
Aku tak bisa menahan tawa melihat sikap mereka yang begitu lucu. Yaa namanya juga anak kecil. Pasti selalu ada sikap yang terkadang..., membuat kita merasa ingin lagi kembali menjadi mereka.
"Ya udah pak. Kalau gitu ikut kami lagi." seru Zaid setelahnya.
"Memangnya kita mau ke mana?"
Sebenarnya aku dari Zaid sudah berniat untuk mengajak beliau ke Bu Anita.
Aku sangat ingin mengenalkan sosok yang sudah banyak berjasa di kehidupanku ini.
Aku sama sekali tak berharap apa pun. Justru aku ingin mengenalkan Pak Nanda pada orang-orang yang ada di yayasan ini, bahwa beliau lah orang penting yang telah membantuku untuk memulihkan keadaan yang sebelumnya bisu.
"Ada. Kami mau mengajak bapak ke salah satu orang." jawabku.
Kebetulan sekitar dua puluh meter dari posisi kami berdiri, aku mendapat Ibu Anita sedang duduk disalah satu bangku sambil mengobrol bersama anak-anak.
Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.
Ketika Bu Anita melihat Pak Nanda, beliau terkejut lalu seketika menelungkupkan kedua tangannya sambil tersenyum.
"Ya Allah. Bapak ke sini? Kenapa nggak bilang-bilang sama kami?" tanya Bu Anita.
Aku dan Zaid saling berpandangan. Dalam hati, kenapa Bu Anita bisa mengenal ayahnya Balqis.
"Engga apa-apa, Bu. Mereka berdua yang ajak saya ke mari."
"Oh, ibu sudah kenal pak Nanda?" tanyaku.
Bu Anita tertawa kecil. "Tentu saja. Beliau kan donatur tetap yang sering Ibu bilang ke kamu di Yayasan kita."
...