Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 38 - Mengajak ke Panti

Chapter 38 - Mengajak ke Panti

Aku dan Zaid saling bertatapan sesaat tatkala mendengar informasi bahwa Balqis akan kemari dalam waktu satu atau dua minggu kemudian.

Seketika ada rasa lega sekaligus rasa yang campur aduk dan tak bisa aku utarakan terlalu jauh.

Ingin sekali aku bahagia dan berjingkrak-jingkrak di sini. Tapi ketika aku berpikir dua kali, apakah nanti kita bertemu Balqis akan bersikap sama seperti dia bersikap dulu kepadaku?

"Mahes." Pak Nanda menepuk pundakku. "Waktu itu Balqis pernah bilang ke bapak, katanya dia nanyain kamu sama Zaid. Soalnya dia pernah ke yayasan itu cuman nggak ada kalian di sana. Padahal Balqis waktu itu pulang ke sini liburnya lama. Ada sekitar dua bulan. Kalian itu kayak orang ilang aja. Balqis sampai hampir setiap hari dia ke sana buat mastiin kalian udah pulang atau belum. Tapi kalian nggak ada juga. Ditelepon enggak diangkat, dikirim pesan engga dibales. Emangnya kalian ke mana waktu itu?"

Aku kembali menjelaskan ulang kepada Pak Nanda tentang kenapa aku dan Zaid tidak bisa memberi kabar kepada Yayasan di sini khususnya kepada Bu Anita.

Sebenarnya bukan karena kami lupa ataupun tidak mau memberi kabar. Justru keterpaksaan yang membuat aku seperti itu.

Aku juga jelaskan semuanya kepada pak Nanda tentang betapa susahnya mencari sinyal di sana. Mau berusaha menghubungi pun rasanya susah. Pernah ada niat aku Ingin menyusul pergi ke sini. Tapi ketika melihat tugas yang tiba-tiba mendadak banyak dan aku tidak tega membiarkan Zaid mengerjakan semuanya sendiri, maka akhirnya aku mengurungkan niat itu.

Mungkin waktu ini yang paling tepat untukku bisa kemari.

Walau memang ada rasa menyesal dalam hati kenapa waktu itu Balqis kemari aku tidak ikut kemari juga, tapi tak apa.

Aku aku bisa memahami semuanya bahwa kita sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. setidaknya aku juga harus bisa memahami keadaan dia dan dia juga pasti memahami keadaan aku sekarang.

Jika ditakdirkan maka kita pasti akan dipertemukan suatu saat nanti. Entah itu karena kesengajaan ataupun ketidaksengajaan.

Tapi sampai sekarang yakinlah.

Aku masih banyak berdoa kepada Allah agar kamu bisa disatukan kembali.

Maksudku bukan disatukan dalam sebuah hubungan.

Tapi aku ingin kita kembali bertemu dan saling mengenang kisah-kisah yang pernah kita rajut bersama di masa lalu.

Karena jujur pengalaman bersama dia adalah pengalaman termanis yang aku rasakan.

Rasanya indah sekali.

Dari awal aku mengenal dia sampai dia membantuku untuk mengembalikan suara ini, aku terus takjub dan bangga memiliki teman wanita yang baik dan perhatian seperti Balqis.

Bahkan yang paling aku salut dari keluarganya, adalah sikap dermawan dari Pak Nanda dan Balqis yang rela memberikan sebagian uangnya untuk mengobati aku yang bukan siapa-siapanya mereka.

Lagipula untuk masalah keuangan dari biaya suara ini, aku yakin pak Nanda bisa menghabiskan uang sampai puluhan juta.

Masya Allah.

Kebalikannya benar-benar harus aku tiru. Beliau orang yang sangat dermawan dan tak pernah pelit terhadap siapapun.

Maka dari itu aku juga terus berdoa kepada Allah agar rezeki beliau ditambah, dan rasa pedulinya semakin meningkat kepada orang-orang.

Jujur.

Di zaman saat ini, orang yang baik dan tulus seperti pak Nanda juga Balqis sangat langka aku temukan.

Setelah beberapa saat kami mengobrol di pinggir jalan, akhirnya aku meminta kepada Pak Nanda agar bisa datang ke yayasan Bunda Kasih.

Tak tahu sejak kapan aku ingin sekali mengajak beliau mengenal lebih dalam anak-anak di sana. Tak ada niat sedikitpun bagi aku untuk menghasut pak Nanda agar bisa menjadi donatur di Yayasan kami.

Lagi pula aku sudah terlalu banyak berhutang budi pada beliau. Jadi rasanya aku tak pantas jika menginginkan lebih dari kebaikan yang sudah beliau beri untukku.

Untungnya Pak Nanda menginginkan tawaran itu.

Aku bersama Zaid membawa beliau pergi ke yayasan kami sambil berjalan kaki.

Dan kebetulan tempatnya tidak terlalu jauh dari kami berdiri. Lalu mobil yang dinaiki oleh beliau, sengaja diparkirkan di salah satu lahan kosong.

"Bapak senang banget lihat kalian bertanggung jawab seperti ini. Kalian anak yang baik dan perhatian. Bagaimana?"

Aku dan Zaid saling berpandangan sesaat. "Maksud bapak?"

"Apa nanti dia yang akan kalian bakal ngenalin istri-istrinya ke bapak?"

Aku terkejut bukan main tatkala mendengar Pak Nanda berkata seperti itu. Bahkan pertanyaan yang dilontarkan oleh beliau, sama sekali tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Zaid tertawa kecil. Sengaja.

Dia paling pandai mencairkan suasana.

"Aduh pak. Kita belum punya."

"Oh belum punya?" tanya beliau sedikit terkejut. "Maaf banget ya. Bapak kira kalian tadi sudah...."

"Enggak apa-apa, Pak." sahutku. "Hal biasa kok. Tapi sebenarnya Zaid sudah punya. Namun kita masih mengulur waktu."

"Oh begitu...."

Perlu aku utarakan lebih, kalau sebenarnya saat ini Zaid sedang menyimpan rasa kepada Afni.

Keduanya sudah saling tahu dan memahami perasaan masing-masing.

Dan yang paling aku senang, adalah Afni yang ternyata sama-sama menyimpan perasaan juga kepada Zaid.

Insyaallah mereka memutuskan untuk menikah.

Tapi tidak akan bulan-bulan sekarang.

Mungkin sekitar akhir bulan atau tahun depan. Karena tentunya pernikahan harus kita rencanakan matang-matang entah dari segi mental, fisik ataupun materi.

Semuanya perlu diperhitungkan lagi. Lagipula ketika kita menikah, maka sebenarnya kita menyatukan dua keluarga.

Jadi setidaknya kita harus bisa mempererat tali silaturahmi antara keluarga satu dengan keluarga yang lain.

Zaid juga sekarang masih terus mempersiapkan materi untuk bisa melamar dan memberi mas kawin kepada Afni.

Sebenarnya sebelum kejadian itu, aku pernah diberi tahu lebih dulu oleh seorang pengurus yang ada dan ikut bersama kita di cabang Yayasan Bunda Kasih.

Dia, orang yang biasa aku panggil dengan nama Abil, memberitahuku bahwa Afni menyimpan rasa kepadaku sejak lama.

Untuk sekadar informasi, Afni sering mengunjungi yayasanku untuk memberikan beberapa file yang rahasia dan tak boleh diambil alih tangankan.

Jujur aku kaget bukan kepalang ketika mendengar pernyataan yang sama sekali tak ku duga.

Karena aku tipikal orang yang tidak mau memberi harapan lebih kepada orang lain sementara aku tidak mengharapkan penantian itu, maka dengan pelan dan yakin aku mengutarakan seluruh alasannya kepada Afni.

Aku tahu mungkin apa yang aku katakan ini membuatnya patah.

Tapi setidaknya, aku tidak akan membuat dia patah di akhir cerita yang mana kesakitannya akan melebihi rasa sakit yang dia rasakan saat ini.

Biarkan aku yang lebih dulu mengakhiri itu semua agar nanti, dia bisa lebih memahami bahwa aku tidak memberi kepastian atau harapan pada orang lain termasuk dirinya sendiri.

Untungnya dia bisa menerima semua itu dengan tabah.

Tapi aku tidak tahu bagaimana perasaan di dalam hatinya ketika mendengar semua itu.

Tapi aku juga mendengar langsung dari telinga sendiri, kalau ternyata Zaid sudah mencintai Afni sejak lama.

Bagiku kesempatan ini adalah kesempatan langkah yang harus aku manfaatkan dengan baik.

Agar hati Afni tidak dilabuhkan pada orang yang salah, maka akhirnya aku mendekatkan mereka berdua agar bisa saling mengenal pribadi masing-masing dan akhirnya..., perjuanganku selama berbulan-bulan sudah berhasil.

Afni kini sudah mencintai seorang Zaid.

...