Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 26 - Sebuah Perubahan

Chapter 26 - Sebuah Perubahan

10 TAHUN KEMUDIAN....

...

Hidup tak bisa kita atur semaunya sendiri. Apalagi jika hal itu berhubungan dengan keadaan yang kita miliki, mungkin apa yang tidak bisa kita kerahkan akan mampu menjadikan kita sebagai pribadi yang kuat.

Aku telah menjelma menjadi sosok yang tidak bisa kuutarakan dengan apa pun lagi.

Titik terendah yang pernah aku rasakan dulu, sudah mampu menjadikanku sebagai pribadi yang kebal terhadap segala cercaan dan hinaan yang pernah dulu aku hadapi.

Sekarang aku harus belajar lagi tentang bagaimana caranya memperjuangkan hidup dan membahagiakan orang terkasih yang selama ini telah setia mendukungku.

Mendapati cerita yang begitu indah, membuatku semakin sadar bahwa hakikat cinta yang sebenarnya adalah ketika kita mampu memahami makna itu sendiri.

Ketiadaan belas kasih yang kuterima dulu dari teman-temanku, telah menjadikanku pelajaran utama bahwa manusia akan selalu menyayangi seseorang menurut kehendak akal.

Hati terkadang sulit diikutsertakan dalam itu semua.

Sakit memang.

Tapi yang namanya hidup, mana mungkin aku akan memakan hal-hal yang manis saja?

Sama halnya buah.

Tidak selamanya kita menuntut agar mereka harus berbuah indah dan manis. Ada beberapa alasan mereka bisa berbuah kecut, asam bahkan pahit.

Semuanya wajar.

Hanya tentang bagaimana kita menghadapi itu semua.

"Mahes?" Zaid menghampiriku sambil membawa beberapa berkas. "Kata Bu Anita tolong lihat lagi, ya. Barang kali ada yang keliru."

Aku mengangguk.

"Sekalian nanti periksa juga proposal yayasan ini, ya. Aku lagi banyak urusan sama anak-anak."

Aku memberi satu jempol padanya tanda mengiyakan.

Setelah itu, Zaid pergi menuju tempat yang dia inginkan tadi.

Berkas-berkas yang diberikan Zaid aku buka satu persatu. Aku periksa sedetail mungkin tentang hal-hal yang ada di dalamnya untuk kemudian disamakan dengan data yang ada di layar komputer.

Aku merogoh pulpen pada saku bajuku. Karena tidak ditemukan, aku lantas membuka laci meja dan mendapati ada satu buah pulpen di sana.

Plukk!

Sebuah kertas tiba-tiba jatuh.

Aku membungkuk kemudian melihat ada beberapa kertas yang terbungkus plastik.

Karena penasaran, aku lantas membuka kertas itu.

Suasana yang hening tadi, entah kenapa semuanya seketika berubah.

Hatiku berderu begitu kencang hingga keringat tiba-tiba membasahi pelipis. Sesaat aku terpaku dengan tangan gemetar yang masih memegang kertas ini.

Angin rasanya berhenti. Hawa dingin perlahan tergantikan oleh hawa panas yang menyelimuti ruangan hingga membuat buliran hangat jatuh membasahi pipi.

"Balqis?" suara itu tanpa sengaja kuucapkan tatkala melihat wajah seorang wanita di dalam foto ini.

Raut riang dari anak-anak panti saat itu bersama dirinya, membuatku teringat kembali atas kisah-kisah yang pernah kita arungi kala itu bersama Zaid.

"Mahes?"

Tanpa kusadari datangnya sejak kapan, Zaid sudah ada di sampingku.

"Ayo kita ke dokter buat periksa suara kamu."

Aku masih tak bergeming dan memilih untuk terus memperhatikan foto ini.

"Kamu kenapa?"

Aku menunjuk foto Balqis kepadanya.

Zaid terdiam sesaat.

"Udah sepuluh tahun semenjak kejadian itu, sampai sekarang kita masih belum bisa bertemu dengan dia."

"Benar sekali, Mahes." ujarnya. "Takdir tidak berpihak pada kita. Kedekatan Balqis dengan anak-anak panti, membuat kami merasakan kesan yang lebih tatkala mengingat dia. Entah kapan dia kembali."

Aku menundukkan kepala sambil mengusap air mata.

Penantianku sampai saat ini masih belum berakhir juga.

Setelah adanya acara perpisahan sekolah saat itu, aku mendapat kabar dari Balqis bahwa dirinya akan dikirim oleh sang ayah untuk kuliah di luar negeri.

Patah.

Memang hal itu yang kurasakan tatkala mendengar kabar darinya. Balqis yang memang sangat mencintai anak-anak panti, membuatnya bersedih bahkan sampai sakit beberapa hari karena memikirkan soalan itu.

Sejujurnya dia tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya. Tapi di sisi lain, Balqis juga ingin tetap bersama kami.

Aku tidak bisa apa-apa.

Setelah dia dan ayahnya mengantarku ke seorang dokter yang ahli dalam bidang..., entah aku juga kurang terlalu mendengar. Tapi yang pasti dokter itu bisa menangani orang-orang yang bisa sepertiku untuk bisa bersuara lagi.

Walau memang tidak menjamin seratus persen, tapi masih bisa diusahakan oleh beberapa cara.

Dan alhamdulillah. Setelah lima tahun dari pertemuan aku dengan dokter itu, kini aku sudah bisa bicara dan terdengar jelas kosakatanya oleh orang-orang.

Alhamdulillah. Aku sangat bersyukur karena bisa menjadi sosok seorang Mahesa yang utuh. Walau di sana sudah ada pahlawan di balik ini semua, tapi tetap saja semua aku kembalikan kepada Allah.

Sampai saat ini aku belum pernah lagi bertemu atau pun saling membagi pesan dengan Balqis. Bahkan dia sendiri tidak tahu perkembanganku yang kini sudah bisa bicara. Apalagi kalau tahu, aku yakin dia pasti bahagia saat melihatku sekarang sudah bisa diajak ngobrol, bercanda dan menjadi ketua yayasan Bunda Kasih.

Kehadiran dirinya membuatku lebih percaya diri.  Tapi setelah aku menjadi diriku sendiri, kehadiran Balqis yang aku butuhkan sudah tidak ada lagi.

Entah sedang apa atau bagaimana keadaan dia sekarang. Yang pasti, aku akan terus menunggunya untuk memastikan keadaan dan memberi tahu juga sekaligus berterima kasih atas pengorbanan yang sudah dia berikan kepadaku hingga aku mampu menjadi Mahes yang dikenal orang-orang sekarang.

Kami memang sudah berpisah beberapa tahun. Bahkan posisiku saja saat ini bukan lagi di tempat dulu. Karena yayasan Bunda Kasih semakin terkenal hingga menampung banyak anak-anak, membuat para pengurus di sana membuat proposal yang diajukan kepada donatur untuk membuat cabang.

Nah ketika disetujui, aku diminta Bu Anita untuk menjadi salah satu pengurus di cabang itu. Karena aku tak bisa menolak, ya sudah. Selama bertahun-tahun itu aku berada di sini bersama Zaid dan beberapa anak lainnya.

Kami berusaha melakukan segala yang terbaik agar nanti, yayasan Bunda Kasih bisa semakin maju dan mampu membuat beberapa cabang di luar kota lainnya.

Karena tujuan kami hanya satu. Yaitu tidak mau melihat anak-anak bekerja keras di jalanan hanya untuk mencari uang.

Padahal tugas anak-anak sendiri bukanlah seperti itu.

Aku dan Zaid berusaha sekuat mungkin untuk menampung anak-anak jalanan itu ke sini, dan memberi mereka ilmu dunia juga akhirat agar mereka menikmati keindahan masa kanak-kanak.

Bahkan alhamdulillah.

Ada beberapa anak yang sudah bisa kami ubah sikapnya.

Dulu ketika baru datang ke sini, dia anaknya sangat brutal dan suka mencuri uang masjid. Untungnya karena kesabaran para pengurus di sini, akhirnya anak itu berubah dan bahkan sekarang bisa menonton teman-teman lainnya untuk bersikap lebih baik dan melaksanakan ibadah tepat waktu.

Aku sangat bahagia atas pencapaian yang sudah sampai aku rasakan saat ini. Walau memang beberapa tujuanku ada yang belum terpenuhi, tapi tetap saja aku bersyukur kepada Allah atas semua yang telah Dia berikan kepadaku lewat perantara Balqis.

Semoga saja...,

Kami bisa di pertemukan lagi dalam suatu hal yang tak terduga.

...