Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 31 - Nasihat Bu Anita

Chapter 31 - Nasihat Bu Anita

"Ya sudah. Tak masalah kalau kamu ingin seperti itu. Ibu nggak bisa apa-apa selain berdoa yang terbaik buat kamu, Mahes. Ibu juga bakalan seneng banget kalo suatu saat nanti, kamu datang kesini dan ngasih kabar membahagiakan itu."

"Aamiin, Bu. Mahes minta doanya saja ya."

Bu Anita tersenyum hangat.

Beliau memang tipikal ibu yang menyenangkan dan tak pernah menjatuhkan pendapat anaknya.

Aku pun tentunya merasa senang dan bangga memiliki Ibu angkat seperti dia.

Walau memang sampai saat ini aku juga tidak tahu keberadaan orang tuaku yang sebenarnya di mana, tapi setidaknya dengan mengenal beliau membuat hati rinduku terobati.

"Tapi, Nak. Kamu sudah tahu belum?" tanyanya kemudian.

"Apa Bu?"

"Seusai perpisahan, Balqis pernah kemari."

Aku tertegun dan membisu beberapa saat tatkala Bu Anita mengucapkan nama itu.

Iya.

Entah kenapa nama dia jika tersebut oleh orang lain, tanganku selalu gemetar dan mengeluarkan keringat.

"B-balqis? K-ke sini Bu?" tanyaku meyakinkan.

"Iya. Dia ke sini pas dua tahun yang lalu. Karena ada cuti, jadi dia memutuskan buat pulang dulu ke Indonesia. Masya Allah, Mahes. Ibu waktu itu lihat Balqis cantik banget. Dia anggun dan sangat sopan. Ibu juga nggak nyangka ternyata dia masih ingat dengan kita. Bahkan enggak hanya itu. Dia pun nanyain kamu."

Aku seketika menatap Bu Anita. "Balqis bertanya tentangku?"

"Iya. Dia nanyain kamu di mana. Keliatan sih dari raut wajahnya dia pengen ketemu kamu. Cuma karena Ibu bilang kamu lagi ada di luar kota, jadi ya udah."

"Terus dia ngapain aja di sini?"

"Dia jalan-jalan, nyapa anak-anak sambil ngasih coklat, terus kita ngobrol di sini. Persis banget ibu duduk di sini dan Balqis duduk di tempat kamu sekarang. Dia bilang katanya..., dia rindu Mahes."

Lagi-lagi hatiku berdegup kencang.

"Dia pengen banget ketemu sama kamu. Bahkan selama tiga hari berturut-turut dia ke sini karena berharap kamu datang. Cuman karena kamu waktu itu susah banget dihubungin karena sibuk, Jadi ibu nggak bisa bilang kalau Balqis pengen ketemu sama kamu."

Argh!

Andai waktu bisa diputar kembali.

Mungkin aku tak akan membiarkan Balqis sampai menungguku tiga hari di sini.

Bagiku, tiga hari itu adalah waktu yang paling berharga karena seharusnya aku bisa bertemu dengan dia.

Aku mengucek kepalaku kasar.

Entah kapan lagi dia akan kemari dan kami bisa saling berujar.

Aku sungguh menyesali hal itu, dan benar-benar menyesalinya.

"Kalau boleh tahu, apa Balqis akan kesini lagi Bu?" tanyaku.

"Ibu juga kurang tahu. Tapi dia waktu itu bilang katanya mau ke sini lagi cuman nggak tahu kapan. Ibu juga nggak punya kontak nomornya jadi nggak bisa saling tukar kabar. Mungkin kita tunggu aja dia mau ke sini kapan."

"Tapi pas Balqis ke sini, apa dia bawa seseorang?"

"Cowok ya?" tanya Bu Anita.

Aku tersenyum kecil.

"Engga, kok." jawab Bu Anita yang membuat hatiku sedikit lega. "Waktu itu dia ke sini sendiri. Bahkan Ibu juga nanya ke dia, apa dia udah nikah atau belum."

"Terus jawabannya?"

"Engga tahu. Dia engga jawab." lanjutnya. "Dia belum ada pikiran sampai sana. Dia pengen ngejar karir dulu dan pengen bahagiain orang tua. Balqis juga bilang kalau suatu saat nanti dia pengen ikut andil di Yayasan kita. Dia ingin ngurus anak-anak yang ada di sini.  Dia juga pengen mempererat keluarga dengan Yayasan Bunda Kasih."

"Alhamdulillah, Bu. Mahes ikut seneng."

"Kamu lagi nunggu Balqis buat ke sini ya?" ucapan Bu Anita seketika membuatku diam membeku.

Kenapa ibu selalu tahu apa yang aku pikirkan?

Mau berusaha mengelak pun rasanya percuma karena aku tak pernah bisa membohongi bu Anita.

"Dia kangen banget sama kamu. Ibu udah berusaha beberapa kali nelpon kamu, tapi kamu enggak jawab. Ibu nelpon Zaid juga engga ada sinyal. Emang waktu itu kenapa kamu nggak bisa dihubungi?"

"Di yayasan sana emang agak susah sinyal, Bu. Aku juga nggak sadar ternyata ibu udah telepon aku. Aku mau telepon lagi tapi enggak nyambung ke sana."

Bu Anita memegang tanganku dan mengelusnya. "Ibu nggak bisa dibohongi sama kamu, nak. Meskipun kamu bukan anak kandung ibu, tapi ibu udah tau sikap kamu itu paling mudah buat ditebak. Ibu tahu kamu suka sama Balqis sejak kalian berdua masih sekolah. Bahkan, ibu juga suka ngeliat tatapan kamu ke dia itu tulus banget."

"Ah engga bu. Biasa aja." jawabku sambil terkekeh.

"Kamu suka sama Balqis dan kamu jangan ngelak lagi. Memangnya Ibu nggak tahu, kamu ninggalin catatan kecil pas mau pergi ke sana?"

"Hah? Catatan?" aku masih tak mengingat hal itu.

Bu Anita merogoh saku kemudian menunjukkannya kepada aku. Sebuah diary kecil bersampul biru tua yang sontak membuat aku terbelalak.

Ya Allah!

Diary itu, pantas saja aku mencarinya kemana-mana dan tidak ada. Aku lupa membawanya.

"Gimana? Kamu inget kan?" seperti biasa, Bu Anita selalu menggodaku dan ingin sekali melihatku tersipu malu.

"I-bu sudah baca semua?" tanyaku malu.

"Maaf ya Mahes. Ibu udah baca semuanya sampai beres. Dan ternyata feeling Ibu benar kalau kamu udah nyimpen rasa sama Balqis sejak sekolah. Udah sekarang kamu nggak boleh lagi bohong sama ibu. Sekarang bilang. Apa kamu punya kontak Balqis?"

Aku melemparkan pandangan ke segala arah. Rasa maluku sekarang sudah tak bisa lagi tertahankan. Sudahlah.

Lagipula untuk apa lagi aku menutupi semuanya dari Bu Anita? Karena percuma.

Beliau sudah tahu semuanya dan di sini aku yang harus menyerah.

"Sayang, cinta itu penuh teka-teki. Ketika kamu benar-benar berjuang untuk cinta kamu setulus mungkin, maka Allah pasti akan mendengar cinta kamu. Di situ ada dua hal yang nanti, akan kamu terima."

"Apa Bu?"

"Allah memiliki jalan terbaik untuk kamu. Kamu mungkin cinta kamu yang akan membawa Balqis kembali, itu artinya Allah meridhoi kalian berdua. Tapi kalau sebaliknya, itu bukan artinya Allah nggak meridhoi kalian. Hanya saja, Allah sudah menyiapkan rencana terindah untuk kamu dan Balqis. Jadi kamu nggak usah takut. Tetap berjuang untuk cinta kamu, karena suatu saat nanti akan ada balasannya. Jika cinta kamu tidak terbalas maka bisa saja ada orang lain yang mencintai kamu seperti kamu mencintai Balqis."

"Aku nggak punya nomor dia Bu." jawabku jujur. "Aku juga nggak terlalu berharap karena, umurku saja sekarang udah dua puluh delapan tahun. Balqis pasti sudah menikah dengan orang lain."

"Kata siapa? Balqis pernah bilang sama ibu, kalau dia enggak akan menikah sebelum bisa ketemu sama kamu dulu."

"Iya Bu. Tapi kan umurku udah dewasa dan umur dia juga udah dewasa. Mungkin orang tuanya nggak bakal ngebiarin anak satu-satunya seperti Balqis nikah di umurnya yang tua."

Bu Anita terdiam sejenak.

"Iya juga sih kata kamu. Andai kalau ibu punya anak perempuan pun, Ibu nggak akan biarin dia jika di umur dua puluh lima tahun ke atas. Tapi nak," beliau mengelus pundak kananku. "Kamu sabar saja ya. Semoga suatu saat nanti kamu bisa menemukan wanita yang lebih baik dari Balqis. Ibu sangat berharap, tahun ini kamu bisa menikah."

Aku tersenyum kecil.

...