Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 33 - Bersama Zaid

Chapter 33 - Bersama Zaid

Lagi-lagi aku terhenyak tatkala mendengar Zaid mengatakan hal selantang itu.

Entah kenapa ketika ada seseorang menyebut nama Balqis, jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang.

Nama itu seperti ada makna tersendiri yang tak bisa aku jelaskan.

Tentunya aku pun tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada diriku ini.

Tapi ketika aku membaca salah satu buku yang pernah aku temukan di perpustakaan yayasan, tiba-tiba tertulis nama 'Cinta' atas jawaban dari pertanyaanku selama ini.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, apa iya aku bener-bener menyimpan rasa kepada wanita itu?

Aku tidak bisa menentukan nya karena aku belum pernah merasakan indahnya seperti apa.

Lagipula rasanya percuma kalau aku mencintai dia untuk saat ini.

Karena aku yakin..., hatiku nanti tanpa sengaja akan terpatahkan ketika melihat dia menggandeng seseorang yang akan membersamainya sampai nanti.

Entah.

Aku juga tak tahu sampai kapan.

Tapi yang ku tahu jika umurnya panjang, mungkin pria itu yang akan menemani Balqis ketika tua.

Sedih memang.

Tapi apa daya? Aku hanyalah seorang anak panti yang tidak diketahui keberadaan keluarganya sama sekali.

Aku seperti anak yang dibuang dan sampai sekarang tidak diketahui siapa ayahnya, di mana saudaranya, bahkan rumah keluarganya pun sampai sekarang dia tidak tahu.

Aku sudah terlalu tak percaya diri jika harus berhadapan dengan seorang wanita kaya seperti dia.

Lagipula kriteria Balqis tentunya bukan seperti aku. Dia pasti lebih memilih orang yang memiliki jabatan setara dengan dia, atau minimal orang yang berpendidikan tinggi atau memiliki jabatan tinggi di suatu perusahaan.

Bagiku seperti itu.

"Aku dulu masih ingat Balqis suka banget ngasih coklat ke Tiara. Aku juga masih ingat dulu Balqis suka ngasih coklat ke kita berdua. Dulu kita seneng banget dikasih coklat sama dia. Ya mungkin karena kita anak kampung, jadi makan coklat rasanya kayak makan apa gitu ya." tambah Zaid sambil tertawa kecil. "Kalau dipikir-pikir sih aku lebih suka pas kecil. Ya memang keadaan sekarang sama dulu itu masih sama, cuma orang-orangnya aja yang berubah. Kamu ada niatan enggak bisa ketemu lagi sama Balqis?"

Aku mengangguk. "Banget, Za. Khususnya aku mau bilang makasih banyak sama dia karena udah ngebantu aku sampai kayak gini. Dia dan keluarganya yang udah ngebiayain aku biar bisa kembali berbicara seperti ini. Dan tentunya..., hal itu sama sekali nggak akan pernah aku lupain. Kebaikan dia akan selalu aku ingat sampai kapanpun."

Zaid menepuk pundakku. "Kalau aku ada di posisi kamu, aku pun pasti akan melakukan hal yang sama. Aku bakal berusaha mencari informasi tentang dia, nyari alamat dia, atau nyari sekarang dia di mana, aku pasti bakal ngelakuin hal itu. Cuman aku juga turut menyayangkan keberadaan Balqis saat ini yang enggak diketahui sama siapapun. Tapi, Mahes. Kenapa kamu engga coba aja buat datang ke rumah orang tuanya Balqis? Kamu tahu nggak rumahnya?"

"Tahu. Waktu itu kan kita pernah diajak sama dia ke rumahnya."

"Nah ya udah berarti kamu kesana aja, terus tanyain ke orang tuanya sekarang Balqis ada di mana."

Aku seketika menggelengkan kepala.

Tak tahu kenapa dulu juga aku pernah berpikiran hal yang sama seperti Zaid. Tapi aku terlalu malu dan takut untuk bisa mengutarakan semuanya.

Aku takut jika nanti orang tuanya malah heran dan tidak mengenaliku.

Aku juga takut kalau nanti kehadiranku ini, malah membuat kerusakan di dalamnya.

Lagi pula aku yakin tentunya Balqis sudah tidak lagi sendiri sekarang.

Akan ada hati yang harus aku jaga agar hubungan mereka masih tetap bersama dan abadi, entah sampai kapan.

"Aku engga berani buat ke sana." gumamku pelan.

"Kenapa?"

"Apa dulu kamu nggak ingat gimana terpukaunya kita lihat rumah Balqis yang gede kayak istana? Apa dulu kamu nggak ingat gimana senangnya kita main air di kolam renang belakang rumahnya Balqis? Dan apa dulu kamu nggak gimana takutnya kamu pas megang gelas yang dikasih sama Balqis karena takut pecah, saking mewah dan mahalnya gelas itu?"

Zaid tiba-tiba tertawa sambil menepuk keningnya sendiri. Hal itu memang hal yang paling memalukan dan kampungan menurut dia.

Ya bukan karena apa-apa.

Lagipula Zaid dari kecil dididik sebagai anak yang terlahir dari keluarga biasa-biasa. Dibesarkan di panti pun dengan keadaan yang biasa dan sederhana.

Ketika dirinya diajak pergi suatu rumah asing yang besarnya seperti istana, maka tentu hal itu akan membuat dirinya gemetaran karena takut berbuat kesalahan di dalamnya.

Secara..., barang-barang antik yang ada di rumah Zaid harganya pasti mahal.

Ya takut kalau barangnya tersenggol kemudian jatuh dan harus diganti rugi.

Jadi ketika dirinya diajak main oleh Balqis, tunggu Zaid benar-benar dingin dan tangannya keringatan.

Dia berjalan naik tangga pun kakinya bergetar hebat. Takut kalau kakinya ini malah melukai keramik mahal yang ada di sana.

Aku sampai ingat alasan-alasan yang diutarakan oleh dia dulu seperti itu.

Maklum kami memang anak kampung. Jadi ketika kami diajak ke sebuah tempat yang terlihat modern, maka tentu wajah kami tidak akan sama seperti sifat kami yang ada.

"Ya Allah dulu aku malu-maluin banget ya? ya Allah nggak nyangka ternyata aku bisa sekampungan itu."

"Bahkan yang paling buat lucu, pas kamu dikasih roti tapi enggak mau." tambahku.

"Hahaha! Iya bener." serunya. "Aku waktu itu takut kalau rapinya nanti disuruh dibayar di akhir. Soalnya dari merek roti dan selai nya pun aku yakin pasti mahal banget. Iya dulu aku mikirnya mana mungkin bagus mau ngasih itu cuma cuma buat kita. Jadi awalnya aku nggak mau karena takut pas kita mau pulang, dia malah nagih semua uangnya berapa."

Aku benar-benar tak bisa menahan tawa. Meskipun tahu aku ini masih terbatas karena suara, tapi tetap saja aku bersyukur karena Allah masih bisa memberiku kesempatan untuk mengekspresikan diri.

Aku suka sikap kepolosan gaib saat itu ketika kami berada di rumah Balqis.

Bahkan kalau mungkin saat ini dia ada di sini, dia pun akan ikut tertawa melihat sikap Zaid yang begitu lucu.

"Bener-bener ya. Pengalaman pas kecil itu natural banget. Kayak nggak ada sandiwara. Semuanya mengalir air bebas. Bahkan ketika kita ketawa, nangis, teriak, itu semuanya berasal dari keinginan hati sendiri."

"Iya, Mahes. Aku juga mikirnya gitu." tambah Zaid. "Dan yang paling aku suka dari masa kecil itu, adalah kita yang belum dan tidak terhalangi oleh batasan-batasan tertentu. Kita bisa mencari banyak teman sebanyak mungkin. Tapi pas kita beranjak besar, teman-teman tuh kayak menyusut. Entah sikap kita yang berubah atau mereka yang ingin pergi, atau mungkin takdirnya sudah begitu aku nggak tahu. Cuma ya sayang aja. Ingat nya pas kita dulu masih kecil suka main bareng-bareng, eh sekarang pas ketemu kayak orang yang gak kenal lagi. Sedih ya? Teman-teman aku juga rata-rata gitu semua. Tapi ya..., it's oke lah. Toh itu keinginan mereka. Aku cuma sekedar teman dan nggak ada hak buat menuntut lebih. Yang penting kita mendoakan aja yang terbaik. semoga suatu saat nanti kita dipertemukan dalam keadaan ramahnya sama seperti pas kecil. Aku bener-bener ngebayangin hal itu bisa terjadi di suatu saat nanti."

...