Hari ini, aku bersama Zaid ada acara untuk merayakan hari ulang tahun yayasan Bunda Kasih.
Atas permintaan Bu Anita, maka kami semua berangkat ke pusat yayasan yang dulu aku dan Zaid tempati di sana.
Kami semua berangkat pukul tujuh pagi. Sengaja aku dan para pengurus lainnya merencanakan jam pagi agar tidak terkena macet atau menghindari anak-anaknya kepanasan saat di jalan nanti.
"Baik anak-anak, kita berangkat sekarang ya." seru Zaid dengan ramah.
Seperti biasa, aku duduk di kursi paling depan dekat dengan supir bis.
Sementara itu, ada sebagian pengurus lainnya yang duduk di paling belakang agar bisa melihat kondisi anak-anak ketika di perjalanan.
Jaraknya memang tidak terlalu jauh.
Hanya saja yang namanya anak-anak, terkadang kondisi mereka belum stabil.
Ada yang gampang muntah, ada yang gampang masuk angin, Bahkan tak sedikit juga ada yang kuat ketika sampai di tempat tujuan.
"Mahes, kamu mau minum engga?" tanya Zaid.
Aku menggelengkan kepala. "Nanti aja."
"Oke." dia mengambil air minum botol kemudian duduk di sampingku.
"Kamu udah ngobrol sama dokter?"
"Udah."
"Gimana perkembangannya?"
"Alhamdulillah. Cuma jangan terlalu dipaksakan. Kalau misalnya tenggorokan sakit, ya udah biarkan aja dulu."
"Oh begitu." Zaid manggut-manggut. "Tapi kalo keseringan ngobrol, gimana?"
"Engga tahu. Cuma katanya jangan teriak atau bicara tinggi."
Temanku ini menepuk pundakku. "Sesuatu yang enggak mungkin, kalau kata Allah jadilah. Maka jadilah. Banyak orang yang berpikir kalau orang-orang yang cacat dari lahir itu nggak bakalan bisa sembuh. Nah, pendapat mereka itu sepenuhnya nggak bener. Karena apapun yang terjadi di dunia ini semua kehendak Allah. Allah pengen lihat kamu bisa bicara seperti orang lain. Dan keinginan kamu sejak dulu, udah dikabulkan sama Allah."
Rasa haruku semakin mencuat.
Tidak ada yang bisa menggantikan rasa kebahagiaanku selain rasa syukur yang dikaruniakan oleh Dia kepadaku.
Aku begitu bangga menjadi diriku saat ini.
Bahkan untuk aku yang masih dilumuri oleh dosa seperti ini, merasa tak pantas bahkan malu saat mengingat kebaikan yang telah Allah berikan untukku.
Malu sekali rasanya.
Aku yang kadang masih terkuasai oleh keegoisanku sendiri, selalu tertampar oleh hadiah nyata yang sama sekali tak pernah kuduga dari-Nya.
"Bu Anita ngabarin lagi engga?" tanyaku kemudian.
"Iya. Katanya di sana udah siap semua tinggal nunggu kedatangan kita."
"Oh gitu. Bagus."
Perjalanan hari ini begitu asyik dan menyenangkan. Anak-anak dengan riuhnya saling berbicara satu sama lain main-main menunjuk beberapa hal yang terlihat unik di jalanan.
Apalagi yang aku tahu, anak-anak di sini sangat suka sekali dengan badut. Mereka seketika bahagia melihat badut-badut yang bertebaran di jalan.
Ada banyak karakter yang terlihat. Seperti badut Upin Ipin, Marsha, Boboi boy banyak lagi.
"Kakak Zaid." tiba-tiba seorang anak berusia tujuh tahun, datang menemui temanku.
"Iya kenapa?"
"Aldi muntah." serunya yang seketika membuat aku dan Zaid berdiri kemudian menghampiri anak itu.
"Ya Allah. Maaf Mahes. Tolong ambilkan kayu putih ya."
Aku lantas mengambil kotak obat dan mencari benda yang diinginkan Zaid itu.
Anak-anak ada yang penasaran untuk beringsut dari kursinya, tapi para pengurus yang lain meminta anak-anak untuk kembali duduk.
"Mana Mahes? Ada engga?"
"Engga ada." jawabku sambil menemuinya. "Abis."
"Ya Allah."
Aku melihat wajah Aldi pucat pasi. Dia seperti sudah kelelahan untuk memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam plastik hitam.
"Ya udah bentar." bergegas aku pergi menemui pak supir untuk menepikan busnya.
Setelah itu, aku membuka pintu kemudian berlari ke salah satu mini market yang untungnya, letak dari bis ke sana tak terlalu jauh.
"Mbak. Minyak kayu putihnya satu."
"Baik." jawab mbaknya dengan ramah lalu dengan cekatan ia mengambilkan pesananku.
"Ada lagi?"
"Engga."
"Baik mas. Totalnya dua puluh lima ribu."
Aku memberikan uang itu kepadanya kemudian berlari ke bis untuk memberikan minyak kayu putih ini kepada Zaid.
Badanku sampai keringatan bukan main.
Berlari di saat situasi genting, cukup mampu membuatku merasakan adrenalin yang tinggi.
"Ini udah di mana?" tanya Tiara yang saat kecil selalu bermain dengan Balqis. Tapi saat ini, dia sudah beranjak dewasa dan memasuki umur enam belas tahun.
"Bentar lagi sampai." jawab Zaid sambil membalurkan minyak kayu putih pada perut Aldi.
Aku melihat jalanan dan baru sadar. Kalau letak kami saat ini sudah sangat dekat dengan letak yayasan Bunda Kasih.
Aku juga baru sadar kalau mini market tadi, adalah mini market yang sering aku dan Balqis kunjungi sewaktu SMA untuk membeli eskrim cone.
"Kamu mau kemana lagi?" sergah Zaid ketika dia melihatku akan pergi.
"Kalian duluan aja pokoknya. Aku mau turun."
"Eh kenapa?"
"Engga apa-apa. Pokoknya kita ketemu lagi di yayasan nanti, ya."
"Tap-"
"Bentar lagi nyampe kok Zaid. Aku mau ada urusan dulu bentar."
Karena tak bisa apa-apa lagi, akhirnya Zaid menyetujui apa permintaanku.
Aku segera pergi dan meminta pak supir untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah melihat bus itu pergi, aku menghirup udara penuh kenangan di tempat ini.
Mataku bermain untuk mencari tempat duduk, sambil sesekali kembali mengingat kejadian demi kejadian yang pernah aku dan teman-teman lainnya lewati di sini.
Umurku sudah tak lagi dibilang remaja. Malah saat ini sudah mau menginjak dua puluh delapan tahun.
Tapi..., kenangan sepuluh tahun yang lalu masih membekas di dalam hati seperti baru kemarin aku merasakannya.
Ada banyak perubahan di tempat ini.
Dimulai dari dulu saat terakhir aku kesini, masih banyak tempat-tempat kosong yang hanya diisi oleh ilalang dan semak belukar yang menjulang tinggi.
Tapi setelah sepuluh tahun itu, aku melihat tempat-tempat kosong itu diganti dengan rumah-rumah penduduk yang sudah lumayan padat.
Aku berjalan pergi dari sana mengikuti kemana kaki ini akan melangkah. Setiap pijak yang aku jejakkan pada tanah ini, seketika mengingatkanku bahwa ternyata..., masa-masa sekolah jauh lebih menyenangkan daripada masa-masa dewasa sepertiku saat ini.
Tak jarang juga aku mendengar pertanyaan langsung dari para ibu-ibu tentang keadaanku, dan yang paling utama kapan aku akan menikah.
Cukup sulit dan bingung juga aku harus menjawab apa sebab aku sendiri belum terlalu memikirkan hal itu sampai sana.
Pikiranku hanya seputar anak-anak, bagaimana cara membahagiakan mereka dan bagaimana cara membuat agar masa depan mereka cerah.
Entah jawaban apa pula yang harus aku terima nanti ketika Bu Anita menanyaiku hal yang sama. Apalagi, setelah sepuluh tahun itu, aku belum pernah lagi menginjakkan kaki ke sini dan tentunya aku pun belum pernah lagi bertemu dengan beliau.
Aku sangat merindukan tempat ini.
Rasanya..., meskipun tempat ini sudah berubah, tapi kenangan di dalamnya tak akan pernah hilang di dalam ingatanku.
Dia menjadi saksi atas perjalanan hidupku yang dimulai saat Bu Anita mengasuhku menjadi anak angkatnya di yayasan Bunda Kasih.
Semuanya berubah.
Tapi cinta Bu Anita, akan tetap sama dalam benakku.
...