Aku terus berjalan hingga kakiku tiba-tiba terdiam tatkala mendapati sebuah tempat, yang begitu aku rindukan selama ini.
Iya.
Tempat itu tak lain dan tak bukan adalah sekolah.
Sekolah yang telah memberiku banyak pelajaran hidup dari mulai masa pengenalan, masa perundungan hingga sekolah juga yang telah mengajarkanku untuk menjadi seorang pribadi yang kuat.
Rasa rinduku semakin mencuat tatkala melihat nama sekolah yang masih terpampang indah meskipun sudah banyak perubahan di dalamnya.
Aku melangkah mendekatinya dan menyentuh setiap sisi dari depan bangunan itu.
"Mahes ya?" ada seorang pria yang mendatangiku.
Aku tersenyum lalu mencium punggung tangannya. Dia adalah satpam penjaga sekolah yang selalu membantuku ketika saat itu, Dito selalu menggangguku di sekitaran sini.
"Ya Allah, bapak engga nyangka banget kamu ada di sini. Sebentar." beliau berjalan ke pos kemudian membawakanku papan tulis kecil yang selalu aku bawa saat ke sekolah dulu.
"Ini nak. Coba tuliskan ke bapak, sekarang kegiatan kamu ngapain aja?"
Aku mengambilnya lalu menuliskan, 'Alhamdulillah, pak. Saya diamanahi buat ngurus yayasan.'
"Masya Allah. Bapak ikut seneng. Ayo ayo sini, duduk dulu." beliau mengajakku masuk ke dalam sekolah.
Kebetulan, sekolah sepi karena anak-anak sedang libur kenaikan kelas.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya kemudian. "Bapak rindu banget sama kamu. Setelah perpisahan waktu itu, bapak engga lihat kamu lagi."
Aku tersenyum. "Saya mau ke yayasan, pak."
Beliau terbelalak.
"Memang setelah perpisahan itu, saya engga ke sini lagi. Jadi saya kembali setelah sepuluh tahun."
"M-mahes?" bapak satpamnya terkejut bukan main tatkala aku berbicara seperti ini. Mungkin dia sama sekali tidak menyangka, aku yang terkenal sebagai Mahes si bisu saat sekolah kini sudah bisa berbicara seperti orang-orang pada umumnya.
"Ya Allah. Serius kamu udah bisa bicara?"
Aku tersenyum. "Alhamdulillah, Pak."
"Masya Allah." beliau seketika memelukku dengan erat. "Bapak sama sekali enggak nyangka kamu bisa kayak gini. Sejak kapan kamu bisa bicara, Nak?"
"Alhamdulillah, pak. Sudah lama."
"Karena apa?"
"Semuanya terjadi atas kuasa Allah. Dan atas kuasa Allah itu, Allah telah mengirimkan seseorang yang sangat baik kepada saya untuk menolong saya hingga sembuh."
"Bapak sama sekali nggak nyangka sekaligus seneng sama kamu. Hebat kamu, Mahes. Tetap semangat dan terus rendah hati ya."
Aku mengangguk. "Insya Allah, pak."
Setelah itu, kami berdua saling mengobrol tentang banyak hal yang terjadi di sini ataupun yang terjadi ketika aku masih sekolah.
Bapak itu juga masih menanyakanku tentang Dito. Seorang pria yang sudah memberiku banyak pelajaran tentang bagaimana caranya kuat ketika ada orang-orang yang menghina.
Dia memang sudah jahat kepadaku. Tapi aku tidak lagi memikirkan kejahatannya karena, di setiap perilaku seseorang pasti ada hikmah yang bisa kita petik.
Kejahatannya telah membuatku sadar betapa pentingnya bersabar dalam menghadapi ujian.
Namun sayangnya sejak kami perpisahan wisuda dulu, sampai saat ini aku tidak lagi melihat atau bertemu dengan Dito.
Tak tahu sikap dia masih sama seperti dulu atau tidak.
Tapi percayalah.
Di setiap doa, selalu kuselipkan nama dia agar dia bisa berguna bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Aku juga banyak berharap agar dia bisa berubah dan tidak lagi melakukan keburukan yang sama terhadap orang lain.
"Nanti kapan-kapan, angkatanmu adakan reuni lah." ujar pak Beni, satpam sekolah itu.
"Insya Allah, pak. Nanti kalau ada waktu."
"Tapi iya sih. Bapak belum pernah bertemu lagi dengan anak-anak alumni seangkatan kamu. Paling kamu, sama Balqis waktu itu."
Deg!
Nama itu benar-benar merubah keadaanku saat ini.
"Pas Bapak tanya dia, katanya mau main gitu ke yayasan Bunda Kasih. Dia juga nanyain kamu sih. Cuman karena bapak nggak tahu keberadaan kamu sekarang di mana, ya akhirnya gitu."
"Akhirnya gimana?"
"Iya. Dia cuma bilang oh aja."
"Terus sekarang Balqis ke mana? Bapak tahu engga?" tanyaku penuh harap.
"Engga. Tapi dia bilang katanya mau pergi ke luar negeri. Mau pulang lagi ke Indonesia tapi nggak tahu kapan."
Aku manggut-manggut kemudian tak sengaja melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan.
Aku menepuk kening. "Ya Allah."
Karena keasikan mengobrol, aku sampai lupa untuk menghadiri perayaan ulang tahun Yayasan Bunda.
Untungnya ada sekitar sepuluh menit lagi agar aku bisa ke sana. Dengan segera, aku meminta izin kepada Pak Beni untuk bisa pergi meninggalkan sekolah karena ada urusan di Yayasan.
Setelah disetujui, aku berlari sekuat mungkin agar bisa sampai tepat waktu di sana.
Untungnya saat aku sampai, orang-orang tidak ada yang memarahiku. Mereka tampak lega dan sedikit khawatir karena menanyaiku dari mana saja.
"Tadi abis dari sekolah dulu. Ngobrol sama pak satpam." jawabku pada Zaid.
"Oh gitu. Udah sana temuin Bu Anita. Dia dari tadi nanyain kamu terus."
"Ya Allah. Memangnya di mana Bu Anita?"
"Di kamar kamu dulu."
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku lantas pergi menemui beliau yang sudah lama sangat aku rindukan.
Mataku seketika memanas. Padahal belum bertemu dengan beliau, hatiku sudah merasakan kegelisahan yang teramat parah.
Kerinduanku akan terbayar sudah.
Bahkan ketika melihat Bu Anita, sama seperti aku melihat keluargaku sendiri.
"Assalamualaikum." sapaku sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumussalam." kudengar jawaban dari Bu Anita yang gemetar.
"Ibu." aku tak bisa lagi menahan tangis tatkala melihat beliau yang kini sudah terlihat tua. Kerutan wajah sudah tampak memenuhi raut cantiknya. Aku seketika memeluk beliau dengan erat.
Beliau juga menangis histeris di pelukanku karena tak menyangka kalau Mahes akan berubah secepat ini.
"Kamu sudah bisa bicara selancar ini?"
Aku mengangguk.
"Masya Allah, Nak. Ibu turut senang sekali."
"Maaf, Bu. Bukannya Mahes lupa sama ibu. Tapi di sana, masih ada banyak pekerjaan yang nggak bisa Mahes limpahkan semuanya kepada Zaid. Mahes juga kasihan ngelihat tugas dia yang banyak di samping harus ngurusin anak-anak. Bukan nggak mau Mahes datang ke sini setiap bulan. Tapi masih sendiri susah nyari waktunya, Bu."
"Engga apa-apa, Nak. Ibu paham kondisi kamu." beliau mengusap air mataku. "Lagipula lihat kamu udah sehat pun, ibu sudah sangat bahagia. Ibu sama sekali enggak pernah nuntut kamu buat kemari. Ibu pun tahu apa yang kamu lakukan di sana, untuk kemajuan Yayasan kita agar semakin luas. perilaku kamu dalam mendidik anak-anak yatim dan piatu itu sudah sangat mulia, Nak. Ibu nggak akan nuntut kamu. Justru Ibu bangga karena kamu udah bisa memajukan Yayasan kita."
"Alhamdulillah, Bu. Terima kasih banyak." lagi-lagi, aku tak bisa menahan rasa rinduku kepada Bu Anita. Dengan segera kupeluk lagi beliau yang kini sedang duduk di kasur, tempat aku selalu tidur saat dulu di sini.
"Ibu kenapa?" tanyaku kemudian.
Beliau tersenyum. "Biasa, Mahes. Ibu ini udah tua. Udah sering kerasa segala."
"Ya Allah, Bu. A-"
"Tapi kamu jangan khawatir, Nak." tukasnya. "Alhamdulillah di sini masih banyak orang yang peduli sama ibu. Jadi kamu nggak usah cemas. Di sini ibu baik-baik aja."
...