Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 23 - Mahes: Ragu

Chapter 23 - Mahes: Ragu

Andai ketika waktu bisa diputar balikkan sesuai keinginan kita.

Mungkin ada banyak pembelajaran cinta dan cerita yang bisa kita tuai dengan indah.

Banyak sekali hal yang bisa aku jadikan sebagai pembelajaran.

Selain ingin mengenal setiap sikap dari masing-masing manusia, aku juga terus dan masih tetap ingin mengejar suatu hal yang belum bisa aku gapai saat ini.

Aku menanti setiap pengharapan yang ada. Tiada rasa takut ataupun khawatir tatkala aku, menengadah ke langit sambil terus meminta kepada-Nya tentang segala rasa ataupun keluh kesah.

Karena kalau tidak kepada Allah, kemana lagi aku harus meminta?

Telah banyak ujian yang aku hadapi sampai sejauh ini. Kedekatan dengan-Nya, membuatku semakin lebih bersyukur tentang apa dan bagaimana caranya aku bisa terlihat kuat sampai sejauh ini.

Banyak.

Ada banyak yang telah aku sesalkan.

Salah satunya..., aku terlalu sibuk dengan dunia hingga terkadang lupa mensyukuri segala nikmat yang sudah Dia berikan.

Tak terbendung.

Tak terhingga.

Tak terhitung.

Semuanya benar-benar mampu membuatku berdecak kagum.

Kali ini, aku kembali melihat pemandangan yang tak biasa.

Ada banyak sekali burung-burung yang melewati rumah pohon. Mereka semua berdecit riang kesana kemari bersama kumpulan teman-temannya.

Aku hanya duduk terpaku sambil memperhatikan itu semua. Ciptaan Dia begitu indah dan menenangkan. Tiada siapapun yang bisa menandingi keindahan ciptaan Allah.

"Mahes, kamu lagi liat apa?" tanya Balqis kemudian ikut duduk bersamaku.

Aku menunjuk burung-burung itu.

"Masya Allah..., bagus banget. Sejak kapan mereka ada di sini?"

"A u." ¹

"Oh...." Balqis manggut-manggut. "Tadi sebelum aku ke sini, aku juga ngeliat ada banyak burung di  langit. Warna bulunya cokelat. Burungnya nggak terlalu gede. Aku juga nggak tahu sih itu burung apa, tapi bagus banget. Mereka benar-benar kayak menikmati keindahan alam gitu. Engga aku aja. Orang-orang yang ada di jalan pun banyak yang ngeliat bahkan ada beberapa yang video burungnya."

Aku tersenyum.

"Jujur Mahes, sebenarnya aku khawatir banget sama kamu. Makin sini cobaan hidup kamu itu makin berat. Rasanya orang-orang itu kayak, nggak suka sama kamu. Aku nggak tahu siapa orang yang udah buat ulah sampai kamu kayak gini. Tapi aku bener-bener kesel karena mereka. Kenapa sih yang jadi korban itu harus kamu? Kenapa enggak orang-orang yang jahat aja? Aku takut nanti kamu malah lebih takut buat melang-"

"Mahes bukan tipikal anak seperti itu, Qis." Zaid tiba-tiba ikut datang dan duduk bersama kami. "Dia anak yang kuat dan enggak pernah dengerin ucapan orang lain. Dia memang suka mengeluh. Tapi hal itu nggak pernah bisa buat Mahes sampai nyerah. Dia anak yang kuat Qis. Dia engga bakal nyerah gitu aja."

"Tapi aku tetep aja khawatir sama dia, Zaid. Dia enggak bebas beraktivitas kayak kita. Andai saja di sekolah itu nggak ada aku, aku nggak tahu nasib Mahes kayak apa. Memang banyak di sekolah juga orang yang pengen temenan sama Mahesa. Tapi mereka terlalu takut karena ada Dito. Dito ini penghancur segalanya. Dia bener-bener cowok yang enggak punya hati nurani. Aku jadi takut kalau misalnya semua hal yang menimpa Mahes ini, karena dia."

Aku melihat Zaid terdiam. Tanpa perlu berlama-lama, aku lantas mengambil papan tulis kemudian menuliskan sesuatu di dalamnya.

"Kita emang nggak boleh suuzon sama orang lain. Tapi kalau untuk sekedar jaga-jaga, aku rasa itu nggak masalah, Zaid. Mahesa ini harus kita jaga dan Dia pria yang aktif dan ingin sekali bangkit dan menunjukkan dirinya pada dunia. Kita di sini tidak bisa berbuat apa-apa selain mendukung dia dari belakang dan menjaganya juga. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?"

Aku lantas memberikan papan tulis kepada Balqis. Aku juga meminta dia untuk mengatakannya dengan keras agar Zaid juga bisa mendengarnya dengan jelas.

"Aku memang sedikit takut terhadap orang-orang yang ada di sekitarku. Tapi kalian enggak usah terlalu mengkhawatirkan aku. Karena selagi aku masih berharap, berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Allah, maka semua hal itu tidak akan sia-sia. Percayalah padaku, Balqis, Zaid. Aku bisa menjaga diri. Kalaupun aku mendapat ujian seperti ini, itu artinya aku harus lebih bisa menjadi sosok yang kuat karena orang yang sukses tidak memiliki proses yang mudah."

Mata Balqis berkaca-kaca saat dia telah selesai membacakan tulisanku. Dia terdiam sambil terus menatap papan tulisku selama beberapa saat.

Kami terdiam sejenak. Hanya ada iringan isak, dari seorang Balqis yang baru kali ini memerlihatkan kerapuhan dirinya.

"Aku benar-benar beruntung bisa berteman dan bertemu dengan kalian semua." ucapnya dengan suara gemetar. "Aku, aku harus lebih bersyukur lagi karena bisa mengenal kalian hingga sampai berada di titik ini. Jujur Zaid, Mahes. Aku sama sekali nggak pernah menangis hanya karena hal sepele. Dan ternyata..., Allah masih sayang sama aku. Allah ingin lihat aku berubah menjadi pribadi yang lebih baik setelah mengenal kalian. Kenapa hati kalian begitu mulia sekali? Apa ada sedikit saja rasa iri ataupun perasaan buruk terhadap orang lain?"

Aku melirik ke arah Zaid. Dia menatapku sesaat seperti merekam apa yang sedang aku sampaikan kepada dia lewat tatapan mata.

Sebenarnya kami berdua ini sedikit berbeda. Maksudku, kami bisa saling memahami perasaan satu sama lain tanpa perlu mengatakannya dengan lantang.

Kata hatiku lebih sensitif dan bisa merasakan perasaan orang lain seperti apa.

Dia juga bisa memahami apa yang aku rasakan tanpa perlu aku jelaskan lebih. Mungkin karena kita sudah berteman lama, jadi Zaid bisa dengan mudah memahami perasaanku.

"Mahes orangnya nggak pernah memikirkan atau peduli dengan masalah yang sedang menimpanya. Dia menganggap semuanya itu sebagai cobaan karena tidak ada manusia di dunia ini yang hidup tanpa cobaan. Aku dan Mahes tidak pernah mempermasalahkan itu semua, Qis. Kita udah biasa mendengar semua hinaan dan cacian dari orang-orang."

"Memangnya cacian apa yang pernah kamu terima, Zaid?" tanya Balqis. "Aku kira nggak ada orang yang menghina kamu."

Zaid tersenyum kecil. "Sama seperti Mahes. Dulu aku masih ingat saat kita ke pasar malam, di sana kita main banyak sekali permainan. Tapi yang paling membuat aku sakit, ketika ada salah satu orang yang menatapku dengan tatapan yang tidak enak dilihat. Meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung, tapi aku bisa mendengar samar-samar kalau dia mengatakan hal-hal buruk tentangku."

"Hal-hal seperti apa?" sahutnya lagi.

"Mereka bilang kalau aku ini anak yang nggak ada orang tua lah, nyusahin pada pengurus panti lah, nggak mandiri, maunya dimanja terus, banyak pokoknya Qis. Tapi untungnya aku nggak terlalu memermasalahkan itu semua. Aku udah ikhlas dan memaafkan kesalahan mereka semua. Lagipula semua manusia pasti memiliki kesalahan. Dan kita juga sebagai manusia harus bisa saling memaafkan."

"Tapi kenapa hati kamu begitu lapang dada?"

"Prinsipku itu hanya satu, Balqis. Kalau Allah saja Maha Pemaaf, lalu kenapa aku nggak?"

...