Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 25 - Balqis: Menetapkan Hati

Chapter 25 - Balqis: Menetapkan Hati

Hidup telah memberikan banyak pelajaran dan cinta yang terkadang tidak bisa kita terjemahkan satu sama lain.

Banyak hal yang perlu kita pelajari lagi tentang bagaimana caranya untuk menahan diri pada situasi yang sama.

Aku tidak terlalu pandai menebak hati seseorang seperti apa. Tapi setidaknya..., aku bisa mengerti apa saja yang ingin orang ketahui selain dirinya sendiri. Termasuk aku.

Mahes adalah seorang pria yang tidak bisa kita tebak hatinya seperti apa. Terkadang dia menangis, padahal sebenarnya tangisan itu tidak bisa kita artikan dengan apa pun alasannya.

Mahes telah mengenalkanku arti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya. Kedekatan antara aku dengan dia, membuatku semakin paham bahwa tiada yang lebih penting dari keluarga.

Dia mengenalkanku bagaimana caranya melepas hati pada keadaan yang tak disangka kembali.

Takdir telah membawaku pada dirinya yang tak bisa menerjemahkan cinta pada cerita yang tak berkisah.

Memendam perasaan pada jalinan asmara tak bertuan.

Aku menepuk rindu pada pilar-pilar kebiadaban realita yang terhempas masuk ke ruang yang kosong.

Perlahan aku mengerti.

Semakin lama biduk ini bertahan, tetap saja akan berakhir pada kenyataan yang tak sesuai dengan ekspektasi.

Pernah aku berpikir beberapa saat sebelum mengenal dia. Apakah bisa aku bertemu dengan seorang pria yang mampu mengubah kehidupan ku menjadi pribadi yang lumrah diterima oleh semua wanita?

Aku terlalu menutup diri pada siapapun. Apalagi bersangkutan dengan pria, dulu aku terlalu sungkan untuk mendekatinya hanya karena tidak mau menambah beban pikiran saja.

Berteman dengan banyak orang yang menguras energi dan hati.

Kita yang sudah terbiasa sendiri, terkadang merasa diri jika ada orang yang mendekati hanya untuk suatu hal.

Aku terlalu takut memang. Apalagi jika sampai menaruh hati, rasanya aku seperti bukan seorang Balqis pada umumnya.

"Ada orang yang cinta sama kamu."

Masih terekam jelas di memori, ketika ada seorang teman yang mengatakan hal itu kepadaku.

Aku bergidik ngeri ketika mendengar cinta karena sejatinya aku belum pernah merasakan bagaimana caranya mencintai seseorang.

Pernah ada beberapa orang yang dengan beraninya menyatakan perasaan mereka kepadaku. Aku yang terlalu kaku akan dunia cinta, hanya bisa terdiam dan tak memberikan reaksi berlebih.

Aku terlalu takut untuk memutuskan keputusan yang hanya diinginkan oleh sepihak, padahal aku merasa tertekan oleh itu semua.

Sebenarnya aku ingin menghargai mereka yang mencintaiku. Namun terkadang aku sendiri tidak mau memahami keadaan yang sama sekali menyimpan rasa kepada mereka.

Dan kali ini, secara gamblang aku harus katakan bahwa....

Kehadirannya telah mengubah segala yang aku nanti dalam kehidupan.

Ternyata seseorang itu berada pada diri Mahes.

Entah perasaan apa yang aku rasakan tatkala berdekatan dengannya. Tak tahu nyaman, bingung, bahkan aku sendiri tidak mampu menerjemahkan kata-katanya seperti apa.

Tidak ada yang tidak mungkin.

Tapi iya.

Aku telah mencintai seseorang yang bernama Mahesa. Tak peduli apa pun kritikan orang lain. Karena bagiku cinta tak membutuhkan alasan.

"Hei."

Aku tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran Zaid.

"Lagi nulis apa itu? Kayanya serius banget."

Dengan segera aku menutup diri kemudian menyimpannya pada tas. Seketika aku gugup tak tau mau jawab apa. Karena semuanya berdasarkan atas cinta.

"Kok diem?" tanyanya penasaran.

"Ah e-engga. Tadi cuma..., bingung aja mau ngapain. Jadi ya udah aku nulis diary." jawabku sekenanya.

"Ohh...." dia manggut-manggut. "Memangnya fungsi diary itu untuk apa? Maaf kalau pertanyaanku ini terlalu aneh. Maklum. Aku tidak tahu apa-apa tentang diary. Bahkan diary saja aku tidak tahu bentuknya kayak gimana."

"Oh ya?" aku terbelalak. "Beneran?"

Dia mengangguk. "Iya."

"Aduh Zaid." aku tak bisa menahan ketawa sambil membuka kembali tasku. "Nah diary itu kayak gini." tunjukku padanya. "Bentuknya seperti buku. Malah hampir sama sih. Ada garis-garis gitu di dalamnya."

"Ohh." dia terkekeh. "Bedanya buku sama diary itu apa?"

Aku berpikir sejenak. "Entah. Aku juga kurang tahu. Mungkin kalau menurut fungsi, buku itu lebih afdol nya buat belajar. Nulis ilmu, ataupun hal-hal lain yang bersangkutan. Nah kalau diary itu biasanya buat nulis curahan hati, kesan dan pesan, visi misi, cita-cita, atau perjalanan hidup juga bisa."

"Oh jadi kayak formal dan informal gitu?"

Aku mengangguk. "Bisa jadi."

"Kalau nulis tentang cinta, bisa enggak?"

Aku terdiam sesaat tatkala Zain mengatakan hal itu.

Ya Allah. Betapa malunya aku ini. Andai kamu tahu. Aku sengaja membeli diary hanya untuk menuliskan seluruh catatan cinta yang terkesumat di dalam hati.

Tak lain dan tak bukan.

Semuanya karena Mahes.

"Ya em..., b-bisa aja sih. Sesuai keperluan aja. Lagipula bukan sebagai patokan kok pernyataan aku tadi. Diary bisa dipakai untuk apa pun. Tapi menurutku rasanya sayang kalau buat belajar. Soalnya harganya mahal. Bahkan bisa berkali-kali lipat dibanding buku tulis."

"Iya-iya aku paham." jawabnya. "Makasih banyak udah menjelaskan."

"Sama-sama." seruku antusias. "Ngomong-ngomong kenapa kamu kesini?"

"Aku diminta Bu Anita buat nyusul kamu."

Aku mengerutkan kening. "Ha? Nyusul? Ada apa?"

"Katanya disuruh makan siang bareng-bareng."

"Aduh enggak ah. Engga enak. Aku bisa pulang terus makan di rumah aja."

"Ih enggak apa-apa." tukasnya. "Justru kamu harus nyobain masakan Bu Anita. Beliau tadi udah masak cah kangkung sama goreng telur. Wah pokoknya masakan itu, adalah masakan favorit anak yayasan ini. Terkadang kalau misalnya ada menu daging ayam terus ada cah kangkung juga, anak-anak lebih milihnya cah kangkung."

Aku tertawa. "Kok bisa?"

Dia mengendikkan bahu. "Aku juga nggak tahu. makan aku juga aneh sama dilakukan sendiri kenapa masakan Bu Anita itu benar-benar enak dan bikin nagih. Pokoknya aku nggak mau tahu kamu harus nyobain masakan Bu Anita dan aku jamin kamu pasti ketagihan juga. Gimana?"

Tanpa berpikir panjang, aku lantas menyetujui permintaan Zaid.

Dia tampak senang ketika aku setuju untuk bisa makan bersama dengan mereka.

"Eh bentar ya." ujarku sambil membereskan peralatan untuk kemudian dimasukkan ke dalam tas.

Setelah semuanya selesai, aku dan Zaid turun dari rumah pohon lalu menuju ke tempat anak-anak yang kini sedang riuh riangnya menyambut makan siang.

Aku sampai terpana sesaat melihat kejadian ini. Menu makannya memang tak terlalu istimewa.

Tapi anak-anak ini mensyukuri dengan apa yang mereka miliki tanpa ingin menuntut lebih.

"Seru ya liat anak-anak?"

Aku mengangguk. "Seru banget. Seneng juga."

Zaid tersenyum. "Mereka memang gitu."

"Eh tapi, apa kamu lihat Mahes tadi?"

"Enggak sih." jawabnya ragu. "Tapi kayaknya dia lagi di kamar."

"Oh oke."

"Ya udah ayo masuk." ajaknya ke dalam ruangan yang sudah disuguhi banyak menu makanan yang sederhana. "Kamu tunggu dulu di sini ya. Jangan kemana-mana. Aku mau cari Mahes dulu buat makan juga bareng kita."

"Ah iya silakan."

...