Aku mendengarkan dengan saksama cerita yang disampaikan oleh Zaid. Ada beberapa saat di mana aku, merasa terharu atas perjuangan yang anak-anak ini hadapi saat kedua orang tuanya tak bersama mereka.
Walaupun masih kecil, tapi patut aku akui bahwa kedewasaan mereka sungguh luar biasa.
"Aku masih menantikan kehadiran ibu dan ayahku, Qis. Walau aku sendiri tak tahu kapan mereka datang, tapi aku akan tetap menunggu dan berdoa agar mereka selalu diberi keselamatan."
"Memangnya kalau suatu saat nanti kamu bisa bertemu dengan kedua orang tuamu, apa kamu akan meninggalkan yayasan ini? Yayasan yang telah merawat kamu dari kecil sampai sekarang?"
Zaid terdiam sejenak.
Matanya menerawang jauh, seperti tengah memikirkan apa yang aku tanyakan tadi.
Mungkin hal terberat bagi dirinya jika harus menghadapi dua pilihan.
Aku tahu di samping lain dia sangat mencintai keluarganya. Tapi di samping lain, dia juga tak bisa lepas dari keluarga yayasan Bunda Kasih yang telah menerima dirinya sampai saat ini.
"Aku tentunya sangat bahagia jika nanti ayah dan ibuku datang. Tapi, untuk meninggalkan yayasan ini rasanya aku tak bisa, Qis."
Ternyata benar dugaanku.
"Aku sangat mencintai Bu Anita, Mahes, Tiara dan seluruh anak-anak yang ada di sini. Aku tak bisa meninggalkan mereka dengan mudah karena kenangan di dalamnya begitu erat dan tak bisa aku lupakan sama sekali."
"Tapi setidaknya aku bersyukur karena kamu, sudah menjadi pribadi yang kuat seperti Mahes. Kamu tak pernah takut untuk menjadikan dirimu lebih baik. Aku sangat salut dengan orang-orang yang ada di sini karena mereka begitu hebat dan tak pernah menyerah ketika menghadapi cobaan yang begitu berat. Aku tidak pernah menyesal bisa bertemu dengan orang-orang seperti kalian."
Selama beberapa menit kami terus berbalas pernyataan hingga di suatu waktu, Bu Anita tiba-tiba datang menghampiri kami dengan raut yang gusar.
"Eh, ada Balqis?" ujarnya.
Aku segera turun dari tangga kemudian mencium punggung tangannya.
"Ada apa, Bu?"tanya Zaid.
"Ini gawat sekali."
Kami berdua keheranan. "Memangnya kenapa?" sahutku.
"Tadi, ketika ibu dan Mahes berada di pasar, tiba-tiba ada dua orang lelaki berjaket hitam yang kemudian melemparkan batu pada Mahes."
"Ya Allah. Terus?"
"Otomatis pelipisnya berdarah." seru Bu Anita dengan suara gemetar.
Tanpa ba-bi-bu lagi.
Aku, Zaid dan Bu Anita segera pergi menemui Mahes di kamarnya.
Hatiku benar-benar kalut sekali saat mendengar perkataan itu.
Apalagi jika sesuatunya hubungan dengan Mahes, hatiku rasanya bergetar sekali dan ingin memukuli orang-orang yang telah memperlakukannya sampai seperti itu.
Aku melihat mahesh sedang terbujur lemah di atas kasur.
Para pengasuh yang lain, sedang sibuk membersihkan darah yang masih berceceran di pelipisnya.
Air mataku seketika jatuh.
Aku benar-benar sudah menjadi wanita yang lemah dan mudah sekali menangis.
Tak bisa sama sekali aku melihat orang yang aku sayangi menderita hingga sampai seperti itu.
"Mahes, apa kamu tahu siapa orang yang telah membuat kamu sampai kayak gini?" tanyaku sambil membantu memberikan obat pada lukanya.
Dia menggelengkan kepala. Kelopak matanya sedikit bengkak.
Sesekali dia juga menunjukkan raut kesakitan saat aku menempelkan sedikit alkohol pada lukanya.
"Ibu benar-benar tidak tahu, siapa orang yang tega-teganya berbuat seperti itu sama Mahesa." kata Bu Anita sambil menangis. "Padahal dia tidak salah apa-apa. Tapi pria itu tiba-tiba datang kemudian melemparkan batunya pada pelipis Mahes. Ibu jadi merasa berdosa sekali karena sudah mengizinkannya untuk ikut bersama ibu."
Aku mendekati beliau dan mengusap punggungnya.
"Ibu jangan merasa bersalah atas apa yang telah terjadi. Semua sudah kehendak Allah dan tidak ada manusia satupun yang boleh menyalahkan hal ini. Semua sudah berjalan sesuai takdir, Bu. Jadi kita harus bisa menerima semuanya dengan lapang dada dan tidak boleh saling menyalahkan siapapun."
Bu Anita tersenyum lalu memelukku.
"Kamu anak yang sangat baik, nak. Kamu selalu berusaha untuk memberi kesan lebih pada ibu ataupun pada Mahes. Kenapa kamu bisa begitu peduli pada kami?"
Seperti ada angin lembut yang membuat hatiku tiba-tiba luluh tatkala mendengar apa yang dikatakan oleh Bu Anita.
Ternyata setelah mengenal mereka, membuat hatiku semakin sini semakin sensitif dan tidak bisa lagi diajak keras.
Air mataku tidak bisa lagi terbendung.
Sebuah rintikan hujan yang membasahi pipi dan membuat semua orang tiba-tiba merasakan suasana yang haru.
"Kondisi kalian yang telah membuat aku seperti ini. Aku jadi semakin bersyukur terhadap apa yang aku miliki dan tidak akan lagi mengulang kesalahan yang sama di masa sekarang ataupun masa depan. Ibu telah memberiku banyak pelajaran yang baru. Tak hanya itu. Mahes, Zaid, Tiara, juga semua anak-anak yang ada di sini, mereka telah menyadarkanku tentang betapa pentingnya kehidupan. Aku jadi semakin nyaman berada di lingkaran keluarga ini. Aku sama sekali tidak pernah menyesal karena telah mengenal ibu dan dan teman-teman yang ada di sini."
Dari ujung mata, aku melihat Mahes sedang memperhatikanku dari samping.
Dia menyunggingkan senyuman kecil yang penuh makna.
Seperti ada sesuatu yang tersirat, namun dia sama sekali dia tak mau mengutarakannya lewat apa pun.
"Aku senang karena sudah mengenal kamu, Balqis. Terima kasih." ujar Zaid kemudian. "Karena kamu, aku bisa jadi lebih tenang saat melihat Mahes ingin pergi ke dunia luar yang sebenarnya. Kamu telah melindungi dia dari orang-orang yang berbahaya."
Aku tersenyum. "Tidak masalah. Kita saling melengkapi saja."
Setelah dipastikan semuanya mulai mereda, aku kembali mengajak Mahes untuk pergi ke rumah pohon dan duduk di sana.
Tak hanya itu.
Aku juga mengajak Tiara dan Zaid untuk ikut bersamaku.
"Semalam Tiara mimpi sesuatu, kak." ujar Tiara saat kami sudah berada di tempat tujuan.
Aku mengerutkan kening. "Mimpi sesuatu? Memangnya apa?"
Wajah Tiara yang sedari tadi memperlihatkan rautnya yang ceria, tiba-tiba ia murung kemudian menundukkan kepala.
"Kamu kenapa?" seruku kemudian.
"Tiara mimpi bertemu dengan orang tua Tiara. Di sana, Tiara bisa melihat wajah ibu yang begitu cerah dan bercahaya sekali. Wajahnya tak pernah lepas dari senyum. Dia melambaikan tangan seolah memberikan pangkuan hangat meskipun tak sama sekali Tiara rasakan secara nyata." meskipun dia masih kecil, tapi pola bicaranya sudah sangat aku mengerti.
Dia memang anak yang polos.
Tapi di setiap pembahasan, dia mampu menyesuaikan sesuai kondisi.
Ada kalanya dia bisa menjadi anak-anak, dan ada kalanya pula dia harus bisa menjadi seseorang yang dewasa walau sebenarnya umur dia memang belum pantas untuk dikatakan dewasa.
"Lalu, bagaimana lagi?" aku penasaran.
"Aku melihat mereka dari kejauhan. Aku berusaha untuk berlari, tapi mereka semakin menjauh dan akhirnya sama sekali tidak bisa aku gapai." Tiara mendongakkan kepalanya kepadaku. "Apa benar, aku tidak bisa lagi bertemu dengan ayah dan ibuku?"
...