Sedari tadi saat aku bersama Zaid, aku melihat Balqis dengar seriusnya terus bercerita bersama Tiara.
Entah apa yang mereka ceritakan sehingga keduanya nampak serius dan tidak bisa diganggu oleh siapapun.
Sesekali aku juga melihat Tiara tertawa. Lalu di lain waktu, aku juga melihat Tiara mengangguk-anggukan kepalanya seperti mengerti dengan apa yang dikatakan Balqis.
Mereka berdua tampak asyik sekali. Dan di sini..., tentunya aku juga merasa sangat bahagia melihat orang-orang yang ada di sini juga bahagia. Rasanya..., kesakitan yang sedang aku rasakan sekarang sudah tidak ada apa-apanya lagi karena terobati oleh senyuman mereka.
"Aku rasa kamu seperti ada sesuatu saat melihat Balqis." ujar Zaid tiba-tiba yang seketika membuatku mengerutkan kening.
"Au mu¹?" tanyaku.
"Maksudku, aku melihat kamu seperti ada suatu hal yang berbeda saat melihat Balqis. Tatapan itu adalah tetapan yang tidak sama seperti kamu melihat wanita-wanita yang sering kita temui. Entah anak wanita di yayasan ini, ataupun anak wanita yang seringkali kita temukan di luar yayasan."
Aku terdiam. Masih berusaha mencerna apa yang tadi dia katakan.
"Apa..., kamu suka sama Balqis?" tanpa sama sekali aku bayangkan sebelumnya, Zaid kemudian mengatakan hal itu.
Aku seketika membuatkan mata.
"Aku pikir kamu sedang menyimpan rasa sama wanita itu." ujarnya sambil menunjuk Balqis yang kini sedang asyik ngobrol berdua dengan Tiara. "Meskipun aku belum merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, tapi sedikitnya aku tahu ciri-ciri orang yang sedang merasakan hal itu. Dan kini..., aku melihatnya dari mata kamu."
Dengan cepat dan gugup, aku mencari papan tulis kemudian mulai menuliskan pendapatku di sana.
Sementara itu, Zaid masih terus mengutarakan pendapatnya sambil bercanda.
"Selain dengan tatapan, aku juga melihat orang yang sedang jatuh cinta itu sikapnya tiba-tiba malu ataupun gugup apalagi saat di ceritakan tentang orang yang sedang ia cintai. Sikapnya kalangkabut. Berusaha menutupi semuanya padahal orang lain juga sudah tahu kalau dia sedang merasakan hal itu." dia terus saja terkekeh. "Sudahlah Mahes. Kamu jangan membohongi diri kamu sendiri kalau-"
Aku segera memberikan papan tulis itu kepadanya.
"Aku sama sekali tak pernah berpikir sampai sana, Zaid. Lagi pula..., aku belum pernah merasakan hal itu dan sama sekali tidak tahu bagaimana caranya mencintai. Sudahlah.
Kamu jangan terlalu banyak ngarang. Apa yang kamu katakan itu sama sekali tidak."
Aku masih melihat Zaid cengengesan. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang aku tulis.
Lagi pula aku menuliskan hal itu sesuai dengan kenyataannya. Aku sama sekali tak pernah merasa menyimpan hati pada seorang wanita seperti Balqis.
Karena aku juga sadar diri.
Pria sepertiku ini tidak pantas untuk wanita baik seperti dia.
"Kalian ini sebenarnya lagi ngobrol apa sih? Kayaknya serius banget." selang beberapa waktu, Balqis dan Tiara datang menghampiri kami berdua.
Aku tersenyum.
"Sebelum kamu bertanya pada aku dan Mahes, sebenarnya dari tadi kalian lagi ngomongin apa sih? Kayak yang serius banget."
Tiara tertawa.
"Kak Balqis, kak Zaid orangnya emang gitu. Dia suka balik nanya kalau misalnya kita nanya ke dia."
Aku ikut tertawa. "Sebenarnya tadi kita cuma ngomong biasa-biasa aja kok. Balqis nanya tentang suatu hal, ya udah aku jawab menurut sepengetahuan aku sendiri. Gitu. Tapi sejujurnya kita nggak ngomongin kalian tentang hal-hal yang buruk, kok. Tenang aja. Iya kan Ti?"
Tiara mengangguk cepat.
"Oh...." Zaid manggut-manggut. "Kalian berdua ini kelihatannya dekat banget ya. Kayak akrab gitu. Emang udah kenal lama?"
"Nggak juga sih." jawab Balqis. "Aku kenal Tiara itu sama kayak aku kenal Mahes, kamu dan orang-orang yang ada di sini."
"Oh gitu. Tapi kayak yang udah akrab banget." sahut Zaid.
"Justru itu aku sangat salut dengan anak-anak yayasan Bunda Kasih ini. Mereka semua ramah-ramah. Nggak ada yang sombong ataupun merasa dirinya paling baik. Aku sangat suka berteman dengan kalian karena kalian ini apa adanya. Kalian nggak berusaha menunjukkan diri kalian agar terlihat bagus di depan orang lain. Aku mengenal orang-orang yang ada di sini sebagai anak yang pendiam, tidak banyak tingkah, penurut, ceria dan apa adanya. Itu salah satu yang menjadi poin utama kenapa aku bisa nyaman berada di lingkungan yayasan ini."
"Wah Alhamdulillah." Zaid menunjukkan raut bahagianya. "Aku sangat senang mendengar ucapan kamu seperti itu. Sebenarnya kita juga baru pertama kali ini bertemu dengan orang yang bersikap baik sekali terhadap anak-anak yang di sini. Khususnya..., orang-orang seumuran kamu."
Jujur.
Sebenarnya kalau boleh aku utarakan,
Di sini aku benar-benar ingin sekali bisa bicara dengan normal layaknya teman-temanku ini.
Balqis, Tiara, Zaid, mereka semua tampak bersahut-sahutan tatkala sedang mengobrol dan bercerita satu sama lain.
Tidak harus menunggu lama untuk menulis di papan tulis.
Selalu saja ada terkesumat di dalam hati rasa ingin menjadi mereka.
Namun ketika aku mengingat anak-anak yang ada di sini, aku kembali bersyukur atas apa yang aku punya saat ini.
Jika harus aku jabarkan, sebenarnya anak-anak di yayasan Bunda Kasih ini ada banyak sekali orang-orang yang istimewa.
Ada yang tuna wicara sepertiku, ada yang tuna rungu, ada yang tuna netra, dan ada juga sebagian orang yang tuna daksa.
Mereka berjalan tertatih dan dengan susah payahnya berpindah tempat dari satu posisi ke posisi yang lain.
Tapi ketika aku melihat mereka, tak pernah sama sekali aku melihat rasa sedih ataupun mengeluh pada raut wajahnya.
Mereka sangat ceria.
Mereka selalu tertawa, dan berusaha membuat orang-orang yang ada di sekitarnya bahagia.
Iya memang. Orang-orang itu bisa berbicara dengan sempurna. Tapi atas keterbatasan tunadaksa yang mereka miliki, mereka tidak bisa banyak berjalan ataupun melakukan banyak hal.
Di sini aku sangat bersyukur sekali karena Allah masih memberi aku tangan dan kaki untuk berjalan seperti orang-orang pada umumnya.
Aku benar-benar harus bisa bersyukur atas apa yang aku dapatkan.
Karena manusia itu, selamanya tidak akan merasa cukup kalau mereka tidak bersyukur.
"Mahes, kenapa diam saja? Apa lukanya terasa sakit?" tanya Balqis.
Aku menggelengkan kepala.
"Kalian sebenarnya udah makan belum sih?" sahut dia lagi.
Kami bertiga menganggukkan kepala bersamaan.
"Sebenarnya niat aku itu mau olahraga. Hirup udara segar." katanya. "Tapi saat aku bertemu dan mengobrol dengan kalian, aku jadi lupa itu semua."
Zaid tertawa. "Ya sudah kalau begitu kamu olahraga saja."
"Aduh olahraga apa? Ini sudah jam sembilan. Mana cuaca udah mulai panas lagi. Males." dia berdiri kemudian pergi ke balkon luar.
Aku masih duduk memperhatikan ketiga orang ini yang nampak antusias. Meskipun aku tidak bisa berbicara, tapi tetap saja hatiku saling bersahut-sahutan tatkala mereka mengobrol.
Hanya ada beberapa orang yang bisa memahami kata hati.
Dan tentunya..., hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memahami seseorang tanpa perlu mereka utarakan dengan lantang seperti apa.
...
¹= Maksudmu?