"Hal apa yang ada di dalam diriku sehingga bisa membuat kamu berubah sampai seperti ini?" aku membaca tulisan indah yang dituliskan dengan penuh hati oleh seorang Mahes.
Aku tersenyum.
"Dulu, aku selalu menggunakan mulutku untuk mencerca dan menyakiti hati orang lain. Aku tak pernah mau mengerti atau sedikit saja merasakan bagaimana reaksi hati mereka saat mendengar ucapanku itu. Aku tak peduli dengan semuanya karena apa? Yang terpenting aku bisa hidup atas kemauan aku sendiri." aku terkekeh. "Iya sih. Dulu aku jahat sekali. bahkan banyak orang-orang yang tidak berani mendekati aku hanya karena sikapku yang kasar dan pernah mau mendengar pendapat orang lain. Aku terlalu banyak menuntut sedangkan aku sendiri tidak mau dituntut. Aku hidup atas dasar kemauan ku sendiri, yang mana tiada satu orang pun yang bisa untuk mengatur hidupku sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tidak ada. Tidak ada, Mahes."
Entah kenapa, buliran air mataku tiba-tiba jatuh saat menceritakan semuanya kepada Mahes.
"Aku memang seorang wanita yang tak tahu diri. Aku selalu menuntut suatu hal yang terkadang tak bisa dipikirkan dengan logis. Aku juga seringkali mengabaikan perasaan orang lain seperti apa. Aku tak pernah mau mengerti tentang apa-apa dari mereka, Mahes. Dulu aku benar-benar wanita yang jahat dan sangat jahat sampai Dito pun takut kepadaku."
Mahes mengerutkan kening.
"Iya. Aku dan Dito dulu satu SMP. Kami sekarang bertemu lagi di satu sekolah yang sama dan kelas yang sama. Tapi mungkin Allah tidak ingin melihat aku seperti ini. Saat melihat kamu, perlahan aku menyadari semuanya bahwa apa yang telah aku lakukan ini adalah sebuah kesalahan besar yang tak bisa dimaafkan oleh diriku sendiri. Aku sungguh tak bisa mengerti dengan keadaan yang sedang aku alami saat itu, Mahes. Saat mengenalmu, aku jadi lebih tahu tentang betapa pentingnya menghargai apa yang kita miliki dan tak menggunakannya dengan sesuatu yang buruk. Aku sadar. Ternyata mulutku ini terlihat begitu rendah dibanding orang yang tak bisa bicara."
Mahes menyadarkanku sambil menggelengkan kepala. Dia memintaku untuk diam sejenak sembari menunggunya menuliskan sesuatu.
"Kamu jangan berkata seperti itu. Kamu harus mensyukuri apa yang kamu miliki saat ini, Balqis. Suaramu itu masih bisa kamu ubah menjadi suatu hal yang tidak sia-sia. Kamu tidak sama seperti aku. Seberusaha apa pun aku ingin merubah diri, tetap tidak akan merubah takdir bahwa aku akan selalu menjadi Mahes, seorang penyandang disabilitas sensorik sejak lahir."
Hatiku benar-benar tertampar sekali saat dirinya mengatakan hal itu. Bisa-bisanya seorang Mahes memiliki pemikiran yang legowo dan dewasa.
Tanpa sedikitpun memperlihatkan raut sedih, justru aku melihat Mahes tegar dan terus memberikan senyum penuh lapang kepadaku.
Dia benar-benar sosok yang kuat dan perlu untuk diteladani.
"Aku ingin bertanya suatu hal sama kamu." ujarku kemudian.
Dia melihat ke arahku sambil menaikkan satu alis sebagai isyarat. "Apa?"
"Apa..., kamu ingin bisa bicara?"
Tanpa kupikirkan lagi dari sebelumnya, apa yang telah aku katakan ini seketika membuat rautnya berubah.
Alisnya mengkerut, matanya terlihat sayu dan kemudian menundukan kepala.
"Mahes, m-maaf. Maaf kalau apa yang tadi aku tanyakan sudah membuat kamu tersinggung. A-aku tidak bermaksud. Tapi tak apa. Tak diusah dijawab. Mungkin aku terlalu lancang karena sudah mengatakan hal tadi kepadamu."
Dia terdiam sejenak lalu tak berselang lama, dirinya menggelengkan kepala.
"Aku tahu kamu pasti merasa sedih. Maafkan aku. Aku sama sekali tak berniat untuk membuat kamu seperti itu. Maafkan aku, Mahes. Lupakan saja hal yang tadi, ya. Aku sudah terlalu lancang."
Dia meraih papan tulis yang berada di depanku kemudian mulai menulis.
Aku menunggunya beberapa saat sebelum dia memberikan papan tulis itu kepadaku.
"Kamu tak usah meminta maaf kepadaku, Balqis. Aku merasa tak tersinggung mendengar pertanyaanmu tadi. Dan kalau kamu ingin mendengar jawabanku, maka tentu akan aku jawab 'iya.' Aku benar-benar ingin sekali merasakan bagaimana nikmatnya bersuara seperti orang lain. Aku ingin menyahut dengan cepat ketika ada seseorang yang bertanya kepadaku tanpa perlu memberikan isyarat atau menuliskannya di papan tulis ini."
Aku tersenyum penuh haru saat dia menuliskan hal ini.
"Au ii ca mo aya au."
Jujur. Aku mengerutkan kening ketika dengan tiba-tibanya Mahes bersuara.
Entah kagum, kaget dan tak percaya saat mendengar dia dengan lantangnya berbicara walau sebenarnya..., aku kurang mengerti dengan apa yang dia maksud.
Dia tersenyum manis kemudian membawa papan tulis yang sedang aku pegang.
Tapi menahannya.
"Biar aku menebak apa yang kamu katakan tadi."
Mahes seketika menunjukan raut bahagia.
"A?"
"Mungkin ini juga ya. Tadi kamu bilang..., aku, ingin bisa ngomong kayak kamu. Iya engga?"
Dia tersenyum lebar kemudian menganggukan kepalanya dengan cepat berulang kali.
Sungguh, melihat dia bahagia seperti itu, aku juga jadi ikut bahagia. Apalagi sekilas aku melihat mata Mahes berkaca-kaca saking terharunya dia.
"Ema au ca u?"
"Kenapa kamu bisa tahu?" jelasku. "Ya karena kan aku teman kamu. Aku bisa tahu apa yang kamu katakan ataupun rasakan tanpa kamu mengatakannya secara langsung kepadaku." lanjutku lagi sambil tertawa kecil.
Jujur.
Aku baru melihat Mahes benar-benar bahagia sampai seperti ini. Dia turun dari bangku kemudian meloncat-loncat kegirangan. Seperti ada sebuah angin, yang mampu membuat perasaannya baik dan tak bisa digantikan dengan apa pun.
Tak terasa bibirku menyunggingkan senyum.
Dan aku juga baru tahu, kalau bahagianya seseorang itu sederhana.
Kita tidak bisa menyamakan level kebahagiaan kita dengan level kebahagiaan orang lain karena masing-masing memiliki caranya sendiri untuk bahagia.
Salah satunya, seperti apa yang sedang aku lihat saat ini.
Ya aku tahu.
Mungkin bagi orang-orang yang bisa bicara sepertiku, melihat orang lain bisa bicara adalah suatu hal yang lumrah dan biasa saja malah.
Tapi bagi seorang Mahes,
Ada seseorang yang mampu mengerti apa yang dia katakan saja sudah mampu membuatnya bahagia sampai kegirangan seperti ini.
Sungguh.
Apa yang kulihat sekarang, adalah suatu hal langka yang baru kali ini aku temui selama belasan tahun menjalani kehidupan.
Benar-benar suatu hal yang asing.
Andai saja.
Sejak dulu aku bisa bertemu dengan seorang teman seperti Mahes.
Karena apa?
Dengan dia, kehidupan ternyata telah memberiku banyak hal.
Dari tentang perjuangan, cinta maupun kehebatan dan kekuatan seseorang.
Kita harus bisa mensyukuri apa yang kita miliki saat ini.
Sebab apa yang kita miliki, itu belum tentu dimiliki pula oleh orang lain.
Ada yang bisa bicara tapi tak mampu mendengar, ada yang bisa mendengar tapi tak bisa melihat, bahkan ada yang bisa mendengar, bicara dan bisa melihat, tapi mereka tak memiliki kaki untuk berjalan.
Semua memiliki porsi tersendiri untuk bahagia.
Maka dari itu,
Bahagialah kita dengan apa yang kita miliki saat ini.
Karena sekali lagi aku tekankan.
Tak semua orang bisa mendapatkan apa yang kita miliki.
...