Hari yang begitu cerah.
Aku bersiap pergi sepagi mungkin untuk berolahraga sekaligus pergi ke yayasan Bunda Kasih.
Untung saja cuaca di luar terlihat indah. Jadi aku dengan mudah bisa ke sana tanpa perlu repot-repot mengambil payung ataupun kipas kecil.
"Qis, kamu mau ke mana?" tanya ayah.
Aku tersenyum kemudian mendatanginya. "Mau ke yayasan, yah."
"Yayasan?"
"Iya. Yayasan Bunda Kasih."
"Oh itu." dia manggut-manggut. "Tumben banget kamu mau ke sana. Ada apa?"
"Ada banyak pembelajaran baru, yah. Aku bisa bertemu dengan banyak orang yang tentunya..., rasa syukur mereka melebihi aku. Aku sadar ternyata aku yang memiliki fisik sempurna ini, terkadang tak pernah merasakan nikmat dan indahnya hidup. Justru mereka yang memiliki kekurangan fisik, rasa syukurnya sangat tinggi terhadap apa yang mereka miliki. Mereka tak mengeluh, mereka tak pernah takut untuk berdiri. Aku salut sama mereka, yah."
"Oh jadi karena itu kamu berubah, ya?" ujarnya sambil mengelus kepalaku.
Aku mengangguk. "Tapi aku belum bisa mengatakan semuanya."
"Kenapa?"
"Nanti saja." jawabku sambil terkekeh. "Ya sudah kalau begitu. Balqis pamit dulu ya."
"Iya. Hati-hati, nak. Kalau ada sesuatu telepon saja ayah."
"Siap!"
...
"Zaid, tumben kamu udah ada di sini? Mana Mahes?" tanyaku saat dia sedang duduk di depan pintu rumah pohon.
Dia terenyak. "Eh, Balqis? Sejak kapan kamu di sini?"
"Baru saja."
"Oh aku tak lihat." Zaid manggut-manggut.
"Mana Mahes?"
"Dia ikut Bu Anita ke pasar." jawabnya kemudian.
Aku mengangguk lantas duduk di tangga sambil melihat pemandangan. "Oh begitu."
Beberapa saat kami terdiam. Menikmati aroma alam yang kian membelaiku pada kenikmatan dunia.
Apalagi ditambah..., posisiku saat ini yang sedang merasakan nikmatnya kesendirian.
Mentari belum muncul dari arah sana. Kicauan burung perkutut dan samar-samar suara burung hantu semakin menambahkan indahnya suasana pagi di tempat ini.
Sungguh.
Aku benar-benar baru menemukan ketenangan hidup ketika menginjakan kaki di sini. Semua masalah yang sedang menerpa pikiran, rasanya terhenti untuk sementara waktu.
Pantas saja rumah pohon ini dijadikan tempat favorit bagi anak-anak untuk sekedar diam atau termenung.
Seperti contoh, keberadaan aku dan Zaid sekarang.
Ketika dengan santainya aku menikmati kenyamanan, tiba-tiba aku mendengar satu isakan yang sumbernya berada di atasku.
Ya. Suara itu berasal dari Zaid.
Aku seketika menengadahkan kepala padanya.
"Ya Allah, Zaid. Kamu nangis? Kenapa?" tanyaku khawatir. "Apa ada yang sakit?"
Dia menggelengkan kepala. "Aku engga apa-apa."
"Kamu jangan bohong. Ayo cerita kepadaku ada apa?"
"Engga apa-apa kok, Qis. Aku cuma rindu keluargaku." ujarnya yang seketika membuat hatiku terharu.
"Memangnya kalau boleh tahu, keluargamu di mana?"
"Mereka ada. Tapi aku engga bisa ke sana."
Aku mengerutkan kening. "Lho, kenapa?"
Dia menghela napasnya dengan berat kemudian mengalihkan pandangan ke pepohonan yang sedang bergelayut mengikuti angin.
"Dulu aku disimpan di sini. Keadaan ekonomi keluargaku begitu sulit sehingga mereka membawaku kemari atas tawaran Bu Anita. Awalnya aku tak mau karena belum bisa beradaptasi dengan orang-orang baru. Tapi di sisi lain, aku juga tak mau merepotkan keluargaku dengan kehadiranku in-"
"Shuttt!!!" tukasku dengan cepat. "Kamu jangan bilang kaya gitu. Semua anak di dunia ini adalah anugerah terindah dari orang tuanya. Kehadiran mereka sangat dinanti bahkan tak sedikit orang tua di luar sana yang menantikan kehadiran bayi kecil dengan berbagai cara. Kamu harus bersyukur karena orang tua kamu sudah menyimpan kamu di sini. Itu artinya mereka sayang kamu dan ingin melihat masa depan kamu cerah di tempat ini. Dari pada orang tua di luar sana yang nyuruh anaknya buat ngamen sama ngemis dijalanan. Kan?"
Dia mengangguk cepat sambil masih terisak. "Iya ya. Aku bersyukur bisa dikenalkan dengan yayasan ini. Tapi kamu engga tahu, Qis. Sebenarnya setelah aku disimpan di sini, ibu dan ayahku pindah rumah entah ke mana. Aku dan Bu Anita sejak dulu terus mencari keberadaan mereka tapi sampai sekarang, aku belum bertemu lagi. Aku bener-bener rindu sama mereka. Terkadang terbesit dalam hati, apa mereka masih sayang sama aku atau engga."
Mataku tiba-tiba memanas saat mendengar Zaid bercerita seperti itu.
Lagi-lagi aku merasa tertampar oleh kenyataan. Ada banyak hal yang belum aku syukuri di dunia ini, atas apa yang aku miliki.
Aku baru mengerti betapa berharganya kehidupan yang aku hadapi saat ini di samping melihat cerita orang-orang, yang ujian kesakitannya ternyata melebihi aku.
Dulu aku sering sekali mengeluh kepada Allah saat aku merasa lelah terhadap sikap orang-orang terdekat yang menurutku tak adil.
Namun ternyata aku keliru.
Justru aku sendiri yang terlalu memaksa mereka untuk berbuat sesuatu, yang tak sesuai dengan jati dirinya sendiri.
"Aku memang sudah berusaha tegar atas takdir yang telah menimpaku. Lagipula kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu ketika aku masih kecil. Tapi yang namanya anak, Qis. Seberusaha apa pun mereka melupakan masa lalu, tetap saja dia tidak akan bisa melupakan keluarganya sendiri. Keluarga, yang telah memberi kasih sayang kepada dia dan merawatnya sampai seperti itu. Sebenarnya sampai sekarang aku masih berharap orang tuaku datang kemudian menjemputku. Walau kelihatannya mustahil terjadi, tapi aku tahu bahwa keajaiban Allah itu nyata." jelasnya dengan suara gemetar.
"Iya, Zaid. Aku sangat mengerti bagaimana rindunya seorang anak ketika menanti kedatangan orang tuanya. Aku paham posisi kamu saat ini itu seperti apa." aku berusaha meredam emosionalnya.
"Sakit memang. Awalnya aku sempat mencaci-maki kehidupanku yang tak adil seperti ini. Tapi dulu saat aku mengenal Mahes, aku merasa tertampar dan menelan ludah aku sendiri. Aku benar-benar menyesali atas apa yang telah aku lakukan. Ternyata masih ada orang yang masalahnya melebihi aku. Mahes itu anak yang tegar dan kuat. Selain kondisi dia yang tak sempurna, sampai saat ini juga keberadaan orang tuanya sama sekali tidak ia ketahui."
Aku terperanjat kaget saat mendengar hal itu.
"Benarkah?"
Zaid mengangguk. "Sejak kecil Mahes diasuh oleh Bu Anita. Aku yang sampai sekarang masih mengingat dengan jelas bagaimana rupa dari ayah dan ibu aku, ternyata hal itu tak sama dialami oleh Mahes sebab dari kecil dia tidak mengetahui keberadaan ayah dan ibunya di mana. Apakah sekarang masih hidup atau tidak, kami semua tidak ada yang tahu."
"Ya Allah. Aku baru tahu cerita ini. L-lalu, kenapa Bu Anita bisa bertemu sama Mahesa?"
"Kata Bu Anita, dulu beberapa belas tahun yang lalu," dia menghela napas. "Yayasan Bunda Kasih yang masih rumah kecil, engga sebesar sekarang, suatu malam tiba-tiba terdengar suara bayi yang sedang menangis. Padahal kondisinya saat itu hujan deras. Bu Anita dengan segera mencari sumber suara dan ternyata beliau dikejutkan karena mendapati seorang bayi laki-laki tepat sekali di depan pintu rumahnya. Karena tidak ada siapapun yang mengaku anak siapa, maka Bu Anita yang mengasuh Mahes sampai sekarang."
...