Aku melihat ayah memperhatikanku di ruang tamu.
Wajahnya seperti memberikan kesan berbeda saat aku melihatnya.
Entahlah.
Tapi aku benar-benar merasakan hal itu.
Aku lantas menemuinya dan duduk di sampingnya.
"Apa, Qis? Kamu butuh sesuatu?"
"Aku heran kenapa ayah memperhatikanku dari tadi?"
Dia terkekeh. "Sejak beberapa hari ini, ayah dan ibu melihat seperti ada sesuatu yang berubah dari kamu."
Aku mengerutkan kening. "Berubah? Maksud ayah?"
"Iya. Ayah lebih melihat kamu seperti anak yang tidak manja lagi, lebih pendiam, tidak banyak bicara, bahkan dari pemikiran kamu, ayah bisa melihat kamu mulai dewasa." Ayah menelisik wajahku dengan tatapan yang terlihat menganalisa. "Ada apa? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan dan tidak terpenuhi oleh kami?"
Aku menggelengkan kepala.
"Lalu apa? Masa kamu bisa berubah secepat itu?"
"Oh..., jadi ayah tidak mau melihat aku berubah dan menjadi wanita yang lebih baik? Ayah tidak mau aku menjadi seorang wanita dewasa yang tidak menuntut orang lain untuk mengikuti apa yang aku inginkan? Dan apa ayah juga tidak mau melihat aku mandiri seperti wanita-wanita di luar sana yang tangguh dan kuat?"
Ayah merangkul pundakku.
"Bukan seperti itu, Nak." dia tertawa kecil. "Iya kami justru sangat senang sekali mendengar dan melihat dengan jelas bahwa ternyata seorang Balqis bisa berubah seperti itu. Balqis yang keras kepala, manja, tak mau mandiri, kekanakan, ternyata bisa menjadi sarang Balqis yang diinginkan oleh kami sejak dulu. Jujur, Nak. Ayah sangat bangga memiliki gadis kecil seperti kamu."
"Ayah...." aku cemberut.
"Kenapa?" tanyanya.
"Aku bukan gadis kecil lagi. Aku udah dewasa. Umurku udah belasan tahun jadi cukup jangan panggil Balqis gadis kecil lagi."
"Mungkin iya. Bagi kamu ataupun orang lain, Kamu ini sudah dewasa dan tidak mau dimanja manja lagi. Tapi bagi seorang ayah, gadis kecilnya akan tetap menjadi gadis kecil meskipun anak perempuannya itu sudah dewasa atau bahkan memiliki anak. Cinta seorang ayah itu sangat besar kepada anak perempuannya. Dia akan selalu menganggap anak perempuannya sebagai sosok gadis kecil yang periang, ingin dimanja, kekanakan dan mudah menangis. Lagi pula ayah tidak tahu bagaimana jadinya kalau suatu saat nanti..., anak perempuan satu-satunya ayah menikah dan dibawa oleh suaminya pergi dari rumah ini."
Tak terasa, mataku mulai memanas saat ayah mengatakan hal itu.
Karena jujur,
Jika ada saja seseorang yang membahas tentang kehilangan, maka hal itu adalah hal yang paling sensitif untuk aku dengar.
Aku tidak bisa terlihat kuat atau pura-pura kuat apalagi di depan orang tua.
Meskipun dulu aku anak yang keras kepala dan tidak mau diperintah, tapi tetap saja jika berhadapan dengan orang tua aku adalah anak yang lemah dan sangat layu.
Air mataku mudah jatuh.
Hatiku mudah rapuh.
Apalagi..., saat melihat Ibuku menitikan air matanya karena sikapku dulu yang terlalu keras seperti itu.
Aku memang mengakui bahwa apa yang telah aku lakukan kepada mereka adalah sebuah kesalahan yang besar.
Tapi karena keegoisan ku sendiri, aku sama sekali tak berani mengutarakan kesalahan itu kepada ayah atau Ibu.
"Ayah jangan bilang seperti itu." ucapku.
Dia mengusap air mata yang hampir jatuh di ekor matanya. "Ayah tidak apa-apa. Ayah hanya ingin bertanya kepadamu tentang satu hal. Boleh?"
Aku mengangguk. "Memangnya apa?"
"Siapa orang yang telah membuat kamu berubah drastis sampai seperti ini?"
Aku seketika diam. "Maksud ayah?"
"Kamu jangan berusaha ngelak, Balqis. Semua orang bisa berubah karena ada sebab. Dan sekarang ayah tanya sama kamu. Siapa orang yang telah membuat kamu sampai berubah?"
Wajah Mahesa tiba-tiba terngiang di kepalaku.
Senyumannya, ketangguhannya, bahkan suara yang baru pertama kali aku dengar dari mulutnya tadi, pun tak bisa aku bohongi karena suaranya terus saja berada di isi pikiranku.
"Kamu mau berusaha berbohong kepada ayah atau mau menutupi?"
"Sebenarnya ada seseorang yang telah membuat aku sampai seperti ini, yah." senyumku. "Tapi maaf aku belum bisa mengatakan semuanya secara jujur untuk sekarang."
Ayah menunjukkan raut bahagia. "Ayah akan menunggu waktu di mana kamu bisa mengatakan dengan jujur siapa seseorang itu. Ayah akan berterima kasih kepada dia, karena dia mampu merubah Balqis yang keras kepala menjadi sosok yang lemah lembut seperti wanita-wanita di luar sana."
Aku tertawa kemudian mencubit pipi ayah.
"Tapi, yah. Aku ingin bertanya sesuatu, boleh?"
"Silakan. Kamu mau bertanya berapa pun itu, Ayah akan menjawabnya."
"Apa..., orang yang tidak bisa bicara sejak lahir, dia bisa bicara engga? Ya misalnya pakai pengobatan, operasi, obat, kemoterapi, atau apalah itu. Apa bisa?" tanyaku sejurusnya.
Ayah tiba-tiba mengerutkan kening. "Kenapa kamu bisa bertanya sampai sana? Ada apa?"
"Balqis hanya bertanya saja. Apa bisa?"
Kulihat ayah sedang diam seperti berpikir sejenak. "Entahlah. Tapi sepertinya bisa. Tapi entah. Nanti ayah tanyakan lagi sama teman ayah yang dokter itu."
Aku seketika membulatkan mata. "Serius, yah. Bisa?"
"Sepertinya sih. Tapi ayah belum bisa memastikan. Soalnya kan itu cacat dari lahir."
Aku meloncat kegirangan kemudian memeluk ayah. "Terima kasih, yah. Ayahku memang hebat sekali. Ya sudah. Balqis pergi ke kamar dulu ya."
Ayah mengangguk sesaat sebelum dia mencium keningku.
...
Benar-benar suatu hal yang tidak bisa aku pikirkan sejak dulu.
Semoga saja jawaban yang aku dapat dari teman ayah yang dokter itu adalah 'iya'.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti bahagianya seorang Mahes dan seluruh anak yayasan ketika melihat dia bisa berbicara seperti orang-orang pada umumnya.
Apalagi Bu Anita dan Zaid.
Aku tahu.
Kedua orang itu, adalah orang terdekat bagi Mahes dan selalu ada ketika Mahes membutuhkan sesuatu.
Aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya mereka jika Mahes bisa bicara jika melakukan pengobatan.
Tak hanya itu.
Aku juga ingin membuat malu orang-orang yang telah menghina Mahesa hanya karena kekurangan fisik yang dia miliki.
Apalagi satu-satunya incaran yang sedang aku tujukan itu adalah Dito dan kawan-kawannya.
Aku ingin melihat mereka malu, kemudian meminta maaf kepada Mahes.
Karena sejatinya orang-orang yang jahat seperti itu, mereka tidak boleh dibalas lagi dengan kejahatan.
Tunjukkan saja suatu hal yang dulu mereka hina, kemudian kita mampu menghilangkan semua hinaan itu.
Apa yang aku harapkan semoga bisa menjadi kenyataan.
Sebab aku juga benar-benar muak sekali dengan Dito atas sikap dia yang seperti itu.
Dia bukan lagi anak yang jahil.
Dia adalah seorang kriminal yang jahat dan harus diberi hukuman atas semua perbuatan yang telah dia lakukan kepada orang-orang yang dianggapnya rendah seperti Mahes.
Aku bisa.
Aku harus bisa membuat dia meminta maaf kepada Mahes.
Mulai detik ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga dan melindungi Mahes semampuku.
Aku tidak akan pernah membiarkan satu hinaan buruk, terdengar oleh dia lagi.
Akan aku usahakan itu.
...