Chereads / Tunawicara Itu Kekasih Ku / Chapter 24 - Palembang demi Laura

Chapter 24 - Palembang demi Laura

"pah, Revan perlu bicara"

"masuk saja, gak di kunci"

Revan membuka ruang kerja Angga, malam ini sejak 3 hari terakhir Angga memang sibuk di ruang kerjanya, Angga menyelesaikan semuanya di rumah.

"ada apa Revan, ayo sini"

"papah lagi sibuk"

"tidak masalah, bisa dilanjut lagi nanti"

Revan duduk di kursi yang telah tersedia, Revan terdiam untuk beberapa saat mencari alasan untuk apa yang akan menjadi tujuannya.

"kenapa Revan"

"Revan mau bilang kalau Revan mau izin gak urus pekerjaan untuk beberapa hari kedepan"

"kabar macam apa ini, dari sebulan lalu kamu udah gak urus kerjaan, sekarang kamu bicara seperti ini apa maksudnya"

"Revan ada urusan yang harus diselesaikan pah, Revan minta izin untuk itu"

"urusan apa, gadis bisu itu lagi, kamu masih urus dia setelah apa yang dia lakukan"

Revan mengernyit mendengar ucapan Angga, ya jelas saja papahnya tahu pasti mamahnya menceritakan semuanya.

"masa depan tidak ditentukan olehnya, kamu urus saja hidup kamu jangan pedulikan orang yang jelas tidak mempedulikan mu"

"pah, bukan itu, Revan harus...

"harus mencari waktu untuk bisa berbicara berdua sama dia"

Revan memejamkan matanya sesaat, Revan harus sabar dengan debatan papahnya agar Revan bisa mendapat izin untuk keinginannya saat ini.

"papah sudah bilang cari wanita lain diluar sana masih banyak yang lebih layak kamu cintai dan kamu perjuangkan dan mungkin mereka tidak akan menyakiti mu"

"Revan kesini bukan untuk berdebat pah, Revan bicara baik-baik untuk meminta izin"

"papah akan izinkan kamu tapi hanya untuk urusan penting bukan mengurusi gadis itu"

"biar saja pah, itu salah satu kepentingan Revan"

Riska tiba-tiba masuk dan menyela pembicaraan papah dan anak itu, Revan sedikit tersenyum melihat kedatangan Riska.

"pah, lebih cepat lebih baik, sebulan Revan murung dan sekarang Revan udah bisa sedikit ceria papah harusnya dukung dong"

"iya, tapi Revan akan kembali murung jika dia meneruskan hubungannya dengan gadis....

"Laura namanya"

Riska memotong kalimat suaminya, Riska tahu apa yang akan dikatakan Angga dan jika itu terucap terus menerus pasti akan membuat Revan tersinggung.

"boleh sajalah pah, kan cuma beberapa hari saja nanti kalau selesai Revan pasti kembali dengan urusan kantornya, iya kan Revan"

Revan mengangguk menatap Angga, berharap bujukan Riska bisa membantunya untuk bisa mendapatkan izinnya.

Angga menghembuskan nafasnya kesal, dua orang didekatnya memang selalu kompak jika membujuk sifat keras dirinya.

"paah....

"iya iya, ya udah tapi 3 hari saja lebih dari itu papah gak mau denger alasan apa pun lagi, selesai atau gak selesai urusan kamu itu kamu tetap harus kembali sama urusan kantor"

Revan dan Riska saling tatap dan saling lempar senyuman, tentu saja hal itu membuat Angga semakin jengkel.

Revan bangkit dan menarik tangan Angga, mengucapkan terimakasih atas izinnya kali ini.

Revan juga melakukan hal yang sama pada Riska, berkat bantuan Riska Revan bisa mendapatkan izin dari Angga.

---

keesokan harinya, Revan terbangun akibat panggilan dari Gilang.

Revan menyadari dirinya terlambat datang menemui Gilang, dengan terburu-buru Revan mempersiapkan diri dan segala keperluannya nanti saat jauh dari rumah.

"Revan, ada Gilang didepan"

"iya mah sebentar lagi, suruh tunggu sebentar Revan baru selesai mandi"

Teriak Revan menjawab panggilan Riska, Riska menggeleng karena ternyata Revan yang terkenal rajin dan selalu tepat waktu ternyata bisa terlambat juga.

"Revan baru selesai mandi, mari masuk dulu biar tante buatkan minuman"

"gak usah tante disini saja lagian juga buru-buru harus pergi"

"baiklah kalau gitu tante bawa kesini saja ya minumannya"

Gilang mengangguk kemudian duduk dikursi menunggu Revan, Riska membuatkan segelas teh hangat karena hari masih pagi Gilang pasti membutuhkan minuman hangat.

"mah, dimana Gilang"

"di depan disuruh masuk gak mau"

Riska menghampiri dengan segelas teh hangat ditangannya.

"kamu mau ke depan kan ini sambil berikan ini buat Gilang, mamah harus mengantar teh hangat untuk papah"

Revan menerima gelasnya dan segera berlalu untuk menemui Gilang, Gilang tampak kesal saat melihat kedatangan Revan.

"janjian jam berapa"

"iya sorry, kesiangan, nih minum"

Revan memberikan gelasnya dan diterima Gilang, tanpa buang waktu Gilang meneguknya dan menyimpannya dimeja.

"secepat itu, itu panas loh"

"kaya bukan laki aja, udah ayo berangkat"

Gilang bangkit dan berlalu memasuki mobilnya, Revan menggeleng melihat tingkah Gilang semangatnya tak kalah dari semangat Revan sendiri.

"maah Revan berangkat ya, udah telat sampai ketemu lagi nanti"

Teriak Revan yang kemudian menyusul Gilang memasuki mobil.

"ga cium tangan dulu"

"bukannya bapak Gilang sudah kesal dengan keterlambatan saya"

Gilang tersenyum kemudian melajukan mobilnya tanpa berkata apa pun lagi.

Revan juga ikut terdiam menikmati perjalanannya, fikirannya melayang akan bagaimana nanti Revan memulai pembicaraannya saat di depan Laura.

"apa semua ini benar"

"kenapa tidak, tapi itu semua tergantung keyakinan masing-masing"

Revan mengangguk, itu benar segala sesuatu memang tergantung pada keyakinan masing-masing baru semua akan percaya.

"bagaimana bisa kota Palembang"

"memangnya kenapa, bebas kan hak sendiri-sendiri, semuanya punya hak untuk itu"

"tentu saja, itu benar, lupakan itu pertanya tak penting"

"lalu untuk apa dipertanyakan"

"mengisi keheningan saja"

Gilang menggeleng, Revan hanya mengganggu fokusnya menyetir saja.

"tidur saja kalau masih ngantuk, perjalanan masih jauh"

"kasian pak sopir nanti ngantuk dibiarkan sendiri, mengurangi resiko buruk menyetir tidak boleh sendiri harus ada yang menemani, bukan begitu"

"ya ya ya"

Gilang manggut-manggut mendengar penuturan Revan, ada benarnya juga Gilang memang sering ngantuk saat menyetir jarak jauh seperti saat ini.

"gimana kerjaan"

"gak masalah sudah ada yang urus"

"baguslah berarti bisa pergi dengan tenang"

"pergi dengan tenang, mau kemana, mau mati emangnya"

Revan tersenyum dan menggeleng, apa harus kesana arah pembicaraannya.

Revan kembali diam bergelut dengan fikirannya, Revan sudah terlalu banyak membuang waktu selama ini.

Emosi terlalu kuat menguasai dirinya sampai Revan tidak bisa melihat kebenarannya.

"apa semua kesalahan ku"

"tidak, kalian sama-sama salah"

"tapi ini akhir yang ku buat sendiri"

"sudahlah, lupakan saja, sekarang tinggal perbaiki semuanya, yang lalu jangan diingat lagi gak akan ada gunanya juga"

"mungkin iya"

"mulai sekarang harus lebih percaya lagi dengan segalanya, kalau belum jelas gak usah banyak bicara apa lagi marah-marah"

"siap pak jendral, akan saya laksanakan"

Gilang mengangguk mempercayai ucapan Revan, itu memang sudah seharusnya.

Semua ga akan berguna jika mengedepankan emosi saja.

Revan menatap jalanan, berharap mereka bisa sampai lebih cepat dari yang dihitungkan.

Revan tak sabar dengan perjalanannya, pilihan kota yang cukup jauh dan akan menghabiskan waktu cukup lama.