2 minggu setelah kejadian pertengkarannya dengan Laura, Revan tak pernah lagi bertemu dengannya dan Laura pun tak pernah lagi menemuinya.
Revan tak berniat untuk menemuinya karena Revan masih tak bisa menerima dengan semua keadaannya.
"Revan, kamu mau kemana"
"keluar sebentar mah, Revan pusing di rumah terus"
Riska tersenyum mendengar jawaban Revan, itulah yang Riska tunggu sejak 1 bulan lalu.
Revan telah lama mengurung diri didalam kamarnya dan kini Revan telah bisa untuk kembali menikmati angin luar.
"kamu belum sarapan, mamah bawain makan dulu"
"gak usah nanti aja Revan cari makan di luar, siapa tahu ada yang bikin Revan lapar"
"baiklah, hati-hati dijalan ya dan cepat pulang kalau udah selesai"
"iya"
Revan memeluk Riska sejenak sampai akhirnya pergi menghilang dari pandangan Riska.
"apa mereka belum baikan ya, lama sekali bertengkarnya, kasian Revan lagi-lagi harus seperti itu"
Riska menggeleng dan kembali melanjutkan menonton acara televisi favoritnya.
---
Revan menghentikan mobilnya diparkiran pemakaman umum, sudah begitu lama Revan tidak mendatangi tempat ini.
Revan melangkahkan kakinya menuju nisan yang dulu selalu menjadi tempat favoritnya.
Revan berjongkok dan mengusap nisan Liora, makamnya terawat dengan baik meski Revan lama tak mengunjunginya tapi makam tetap bersih.
"hallo Liora, aku datang lagi setelah sekian lama melupakan mu"
Revan menunduk dan membacakan doa untuk Liora, Revan berfikir mungkin Revan telah mengbaikannya selama ini.
"Liora, kamu tahu apa yang sedang aku alami sekarang, kamu tahu apa yang terjadi sama aku belakangan ini"
Revan tersenyum tapi matanya memerah, air matanya menggenang dipelupuk matanya.
Revan kembali ke masa rapuhnya.
"kenapa Liora, kenapa aku harus kembali mengalami ini, kebahagiaan seperti apa yang kamu maksud jika seperti ini keadaannya"
Ingatan Revan kembali pada Laura dan Gilang tentang Laura yang ternyata bisa berbicara, mengingat semua kebohongan yang didapatkannya dari Laura.
Terakhir Revan mengingat suara Liora yang didengarnya sebelum akhirnya Revan mengenal Laura.
"apa Liora, kamu yang bilang kan jika dia adalah bahagia untuk hidup ku, lalu apa sekarang semua sia-sia, apa salah aku sama dia sampai dia harus bohongi aku seperti ini"
Revan kembali kelevel terendah dalam hidupnya, Revan rapuh dan kembali menjadi sosok lemah.
Revan tak pernah membayangkan semua hal pahit itu, Revan hanya mengharapkan segala yang terbaik untuk hidupnya.
"aku sudah bilang, aku membutuhkan mu dihidup ku, cuma kamu yang bisa membalas semua perasaan aku Liora kenapa kamu harus pergi seperti ini"
Revan kembali menjatuhkan air matanya di hadapan makan Liora, hal yang telah lama tak pernah terjadi kini terulang lagi.
"aku adalah laki-laki tapi kenapa aku harus selemah ini Liora, ayo jawab kenapa aku harus seperti Liora jawab"
Revan meremas tanah makan Liora, meluapkan segala beban yang ditahannya selama ini, Revan akan merasa puas setelah hal ini.
Revan mengernyit saat seseorang menyentuh pundaknya, Revan melirik sosok itu dan melihat Laura disana.
Revan sama sekali tak peduli dan kembali menghadap makam.
"Revan"
Revan terdiam, jantungnya berdetak hebat mendengar namanya disebut oleh Laura, itu adalah yang Revan harapkan 2 minggu lalu disaat pertengkaran mereka berdua.
"Revan"
"apa lagi, aku belum menemui mu untuk apa kamu kesini"
Revan bangkit dan berbalik menghadap Laura, Revan mengusap wajahnya kasar, kekesalannya pada Laura kini kembali muncul.
"aku.....
"aku ingin mendengar ini dihari itu, kenapa Laura apa kamu tak bisa mengerti dengan perasaan aku"
"bukan, aku cuma.....
"cuma khilap, gak sadar atau lupa atau apa, cuma apa"
Laura mengernyit mendengar suara Revan yang meninggi, Laura melihat sekitar dipandangannya yang ada hanyalah banyak makam dan gak mungkin mereka harus bertengkar ditempat seperti itu.
"kenapa diam, aku kesini untuk Liora bukan untuk mu"
"aku tahu"
"lalu untuk apa kesini"
"kita perlu bicara"
Revan tersenyum acuh, setelah apa yang dirasakannya Revan masih tak dapat menerima semuanya.
Jika kini Laura bisa membohonginya entah apa lagi nanti selanjutnya.
"Revan, apa kita bisa pergi dari sini"
"pergi kemana, mau bawa aku kemana"
"yang jelas bukan disini, masih banyak tempat untuk kita berbicara"
"pergi saja, aku akan menemui mu nanti kalau aku sudah selesai dengan Liora"
"baiklah, aku tunggu kamu di cafe depan sana yang tak jauh dari sini"
"pergi saja"
Laura tersenyum dan berlalu meninggalkan Revan yang tampak sangat kesal terhadapnya.
"hal bodoh apa lagi ini, masih bisa kamu tersenyum setelah semuanya"
---
Laura berlari menyebrangi jalan menghampiri Gilang, Laura tersenyum padanya menandakan apa yang menjadi harapannya telah sesuai.
"syukurlah"
Ucap Gilang mengerti dengan senyuman Laura.
"sekarang mana"
"katanya dia akan menyusul nanti setelah puas berada disana"
"beruntunglah, bu Riska masih baik pada mu dan masih bisa mempercayai mu kalau tidak kamu akan kehilangan semuanya"
"Tuhan masih mendukung hubungan itu"
"yakinlah, cinta Revan tak akan hilang begitu saja hanya karena masalah ini"
"semoga saja, kalau tidak pasti aku menyesal dengan semuanya"
Gilang tersenyum dan mengusap lembut kepala Laura, Laura mengangguk dan percaya dengan ucapan Gilang.
"baiklah, kalau gitu aku harus balik ke kantor, kamu gak masalah kan sendirian"
"gak masalah, makasih udah mau nemenin sampai sini"
"gak masalah, kalau ada apa-apa telpon saja, aku akan langsung datang"
Laura mengangguk, setelah Gilang pergi dari hadapannya Laura langsung memasuki cafe dan mencari tempat yang pas untuk nanti bicara dengan Revan.
Laura duduk dan memesan minuman sambil menunggu kedatangan Revan, Laura berharap semua bisa selesai hari ini dan hubungan yang sempat buruk bisa kembali membaik seperti sebelumnya.
"silahkan, selamat menikmati"
"terimakasih"
Laura menikmati minumannya dengan tenang, meski sebenarnya dia gelisah tentang apa yang akan terjadi saat pembicaraannya dengan Revan nanti.
Jika saat ditemui di makam Revan masih saja emosi terhadapnya apa lagi yang akan terjadi jika Revan memakinya ditempat ini nanti.
"nggak, itu gak mungkin sama sekali gak mungkin, Revan gak mungkin tega melakukan hal itu, mungkin waktu itu karena dikamarnya saja makanya Revan berani membentak seperti itu"
Laura mengangguk meyakinkan dirinya sendiri untuk menepis segala pemikiran buruk yang mengganggu fikirannya.
"baiklah Laura seperti perkataan Gilang, semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan"
Laura melambaikan tangan saat malihat Revan yang mencari keberadaannya, Laura masih melihat jelas ekspresi kekesalan Revan terhadapnya tapi mau bagaimana lagi semua gak akan membaik jika tidak cepat diperbaiki dan hari ini mau bagaimana pun keadaannya Laura harus tetap dan harus bisa berbicara dengan Revan untuk menjelaskan semua permasalahan yang terjadi dalam hubungannya.